• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ideologis ataukah kultural? (05)

Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan

bahwa, Sayyidina Hasan dan Husain dimuliakan dalam “ajaran” Sunni, dengan dilepaskan dari sekte Syi’isme. Ini adalah kejadi­ an lumrah, seperti halnya pembacaan dziba’ oleh jutaan warga Nahdltul Ulama di berbagai kawasan di negeri kita.

Kedua hal tersebut di atas, yaitu munculnya Syi’isme dan pembacaan dziba’ dalam bentuk budaya adalah bentuk paling kongkrit dari penampilan Islam di masa lampau di negeri ini, yakni dalam bentuk kultural, bukannya ideologis. Hal ini harus kita perhatikan baik­baik, jika ingin memahami proses masuknya Islam ke Indonesia dan menyimak perkembangan agama terse­ but di kawasan Asia Tenggara. Ketidakmampuan memahaminya, hanya akan menghadapkan Islam pada paham­paham lain di negeri ini. Sesuatu yang jelas­jelas tidak diingini oleh mayoritas kaum muslimin Indonesia —bahkan mayoritas bangsa.

Inilah yang menjadi tema utama yang harus diperhati­ kan dalam mencermati perkembangan Islam di negeri ini, yang sering disebut sebagai “negerinya kaum muslim moderat.” Kega­ galan mengambil sikap ini, apapun alasannya (ideologis ataupun politis), jelas menjadi tantangan bagi kaum muslimin di negeri ini. Karena kedudukan Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslimin (sekitar 185 juta jiwa) terbesar di seluruh dunia. Dengan sendirinya siapa yang menang di negeri ini akan menentukan masa depan Islam; apakah ia berkembang sebagai ideologi ataukah secara kultural?

Tulisan­tulisan berikut akan mencoba menelusuri perkem­ bangan ini, tentu saja dengan memenangkan pendapat kaum moderat yang tidak mementingkan ideologi. Dalam pandangan mereka, Islam muncul dalam keseharian kultural, tanpa berbaju ideologi sama sekali. Dengan mencoba bersikap simpatik kepada pendekatan ideologis, penulis bermaksud menekankan penting­ nya saling pengertian antara kedua pendekatan tersebut.

eg

Kalau kita tidak menginginkan terorisme merajalela di negeri kita, dengan menggunakan nama Islam, tentu pendekat­ an ideologis ini harus benar­benar diperhatikan dengan cermat. Apapun sebab­sebab yang menimbulkannya, terorisme dengan menggunakan nama Islam lebih banyak disebabkan oleh ketidak­ pahaman mereka akan proses modernisasi yang dialami bangsa

kita mulai abad ke­19 masehi hingga saat ini. Ini bukan berarti, penulis meniadakan kemungkinan adanya asal­usul lain bagi ter­ orisme yang menggunakan nama Islam yang kini sudah meraja­ lela di mana­mana —seperti kita saksikan di berbagai kawasan di negeri ini dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai sebuah proses sejarah, hal itu adalah sesuatu yang biasa, betapapun sakit dan susah kita dibuatnya, akibat dari rumah­rumah, sekolah­sekolah dan tempat­tempat umum lain yang dirusakkan, maupun jiwa yang melayang karenanya. Namun dapat disimpulkan bahwa terorisme bukannya sebuah proses yang tidak dapat dihindari.

eg

Di samping itu ideologis, pendekatan institusional ini se­ ringkali ditunggangi oleh kepentingan politis. Ini terjadi terus­ menerus hingga tulisan ini dikirimkan ke meja redaksi untuk diterbitkan. Kepentingan politik sesaat, untuk merebut atau mempertahankan kepemimpinan negara, membuat sejumlah lingkaran kekuasaan di negeri ini —dalam beberapa tahun terak­ hir, untuk mendukung gerakan­gerakan ideologis Islam. Karena kepentingan politik mereka, dikombinasikan dengan ketakutan sebagian penguasa untuk menindak terorisme berbaju ideologis itu, jadilah toleransi kepada gerakan­gerakan mereka justru menjadi pendorong para teroris untuk menggunakan nama suci agama.

William Cleveland menuliskan dalam disertasinya3, bebe­

rapa waktu lalu. Ia menjelaskan ideologi Islamistik dari Syakib Arsalan, pemimpin sekte Druz di Lebanon yang juga kakek dari Kamal Jumlad ini, berasal dari penolakannya terhadap gagasan nasionalisme Arab. Hal itu timbul dari ambisi pribadi Syakib un­ tuk tetap menjadi anggota Parlemen Ottoman di Turki. Ambisi ini hanya dapat dicapai kalau keutuhan Islam di bawah pemerin­ tahan Ottoman dapat dipertahankan di seluruh kawasan Arab, juga di tempat­tempat lain dalam dunia Islam. Tentu saja, kita dapat menolak atau menerima pendapat ini, tapi yang terpenting adalah upaya untuk mencoba mengerti asal­usul historis mau­

3 Judul disertasi Profesor Sejarah di Universitas Simon Fraser, Canada

ini yaitu, Islam Against the West: Shakib Arslan and the Campaign for Is- lamic Nationalism.

Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan

pun idealistik dari gagasan itu sendiri.

Disertasi itu, yang ditulis oleh paman tua Paul Cleveland, ketua Lembaga Persahabatan Amerika Serikat­Indonesia (Usin­ do) saat ini, mencoba menggali alasan­alasan historis pemikiran utama yang dikembangkan Syakib Arsalan, yang tentu saja ber­ beda, atau mungkin bertentangan dengan sebab­sebab idealistik dari Syakib Arsalan, yang dikenal sebagai penganjur Islam ideo­ logis dengan bukunya “limâzâ ta’-akhkhara al-muslimûn wa

taqaddama ghairuhum (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan

Selain Mereka Maju?)”. Dari sinilah kita lalu mengerti mengapa harus diketahui sebab­sebab paham Islam ideologis itu, termasuk nantinya sebab­sebab sosiologis dan sebagainya. Kalau tujuan ini dapat dicapai, nama Islam dapat dijernihkan dan dipisahkan dari terorisme, serta dapat dikembangkan pegangan lebih pasti bagi kaum “muslimin moderat”. Mereka ini dalam pandangan penulis adalah mayoritas kaum muslimin yang tengah disalahpa­ hami orang —terutama oleh kaum non­muslim. h

K

etika menghadapi Hari Waisak 2546 pada 26 Mei 2002 penulis mendapat undangan dari KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia) untuk hadir dalam acara terse­ but di Balai Sidang Senayan Jakarta. Penulis menjawab akan hadir. Dan, rombongan KASI berlalu dengan hati lega. Setelah berjalan beberapa waktu, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri sebagai personiikasi kepala negara dan pemerin- tah akan datang pada peringatan yang sama di Candi Borobudur oleh Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia), pada waktu yang besamaan pula. Di saat itulah ada orang yang bertanya pada penulis, akan datangkah ke acara KASI?

Ketika penulis menjawab ya, segera disusul dengan perta­ nyaan berikut, hadirkah Anda dalam acara KASI itu yang ber­ beda dari pemerintah? Penulis menjawab, akan hadir. Apakah alasannya? Karena penulis yakin, KASI mewakili para bhiksu dan agamawan dalam agama Buddha di negeri kita. Sedangkan Walubi adalah organisasi yang dikendalikan bukan oleh agama­ wan. Dengan kata lain, Walubi adalah organisasi milik orang awam (laymen).1 Prinsip inilah yang penulis pakai sejak awal

dalam bersikap pada sebuah organisasi agama.

Pada Hari Raya Waisak itu, sebelum berangkat ke Balai Sidang, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri ter­

1 Baik pihak KASI maupun Walubi mengaku sebagai organisasi paling

sah yang memayungi seluruh umat Buddha Indonesia. Saat ini (2006), organi­ sasi KASI ditingkat nasional dijalankan oleh seorang Sekretaris Jenderal Bhik­ su Vidya Sasana Sthavira. Sedangkan DPP Walubi dipimpin oleh Ketua Umum Siti Hartati Murdaya.