• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ras dan diskriminasi di negara In

Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa

Seorang pendengar, bahkan menolak bahwa ada diskri­ minasi golongan di negeri kita. Yang ada adalah diskriminasi perorangan atau diskriminasi oknum yang terjadi pada warga dengan ras yang berbeda. Penulis bertanya­tanya akan hal itu, bagaimana kita menjelaskan adanya semacam kuota yang terjadi di negeri kita, seperti orang keturunan Tionghoa hanya boleh mengisi 15% kursi mahasiswa baru di sebuah Perguruan Tinggi Negeri? Juga, bagaimana menerangkan bahwa dalam seluruh jajaran TNI, hanya ada dua orang Perwira Tinggi dari ras “non pribumi”, yaitu Mayjen Purnawirawan TNI Iskandar Kamil dan Brigjen Purnawirawan TNI Teddy Yusuf? Juga pertanyaan seba­ liknya, soal adanya “kuota halus” di kalangan masyarakat ketu­ runan Tionghoa sendiri, mengenai sangat langkanya manager dari “orang­orang pribumi asli” dalam perusahaan­perusahaan besar milik mereka.

Ada juga pendengar yang menyebutkan, bahwa di masa lampau bendera Merah Putih berkibar diatas sejumlah kapal laut milik Indonesia, yang menandakan kebesaran angkatan laut kita pada masa itu. Dalam kenyataan, sebenarnya angkatan laut kita waktu itu adalah bagian dari angkatan laut Tiongkok. Jika dibandingkan dengan keadaan sekarang, seperti kekuatan ang­ katan laut Australia dan Kanada, yang menjadi bagian dari se­ buah dominion angkatan laut dari angkatan perang Inggris Raya

(Great Britain). Jadi sebagai angkatan laut dominion, angkatan

laut kita pada era tersebut adalah bagian dari sebuah angkatan laut Tiongkok. Kenyataan sejarah ini harus kita akui, jika kita ingin mendirikan/mengembangkan sebuah entitas yang besar dan jaya.

eg

Sebelum masa ini, para warga negara keturunan Tionghoa harus mengganti namanya menjadi nama “pribumi”, tidak diper­ kenankan mendirikan sekolah­sekolah dan tidak diperbolehkan membuat surat kabar atau majalah umum berbahasa Mandarin. Terlebih parah lagi adalah mereka dilarang beragama Konghu­ cu1, karena keyakinan tersebut diasumsikan adalah sebuah il­

1 Ajaran Konghucu atau Konfusianisme (juga: Kong Fu Tze atau Konfu-

safat hidup, bukannya agama. Sebagai akibat, kita memiliki peng­ usaha bermata sipit yang bernama Mochammad Harun Musa. Padahal jelas sekali, dia bukan seorang muslim, atau pun bukan pula beragama Kristiani, melainkan ia “beragama” Budha dalam kartu identitasnya.

Dalam hal keyakinan ini, kita berhadapan dengan pihak­ pihak pejabat pemerintah yang beranggapan, negara dapat me­ nentukan mana agama dan mana yang bukan. Mereka sebenar­ nya memiliki motif lain, seperti dahulu sejumlah perwira BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Negara) yang beranggapan jika war­ ga “keturunan Tionghoa” dilarang beragama Khonghucu, maka para warga negara itu akan masuk ke dalam agama “resmi” yang diizinkan negara. Inilah bahaya penafsiran oleh negara, padahal sebenarnya yang menentukan sesuatu agama atau bukan, adalah pemeluknya sendiri. Karena itu, peranan negara sebaiknya diba­ tasi pada pemberian bantuan belaka. Karena hal itu pula lah penulis menyanggah niatan Kapolda Jawa Tengah, yang ingin menutup Pondok Pesantren Al­Mukmin di Ngruki, Solo. Biar­ kan masyarakat yang menolak peranannya dalam pembentukan sebuah negara Islam di negara ini!

Di sini harus jelas, mana yang menjadi batasan antara pe­ ranan negara dan peranan masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan beragama. Negara hanya bersifat membantu, justru masyarakat yang harus berperan menentukan hidup matinya

dari orang­orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Konghucu memang bukanlah pencipta agama ini melainkan beliau hanya menyempur­ nakan agama yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya seperti apa yang be­ liau sabdakan: “Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaran­ajar­ an kuno tersebut”. Meskipun orang kadang mengira bahwa Konghucu adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia. Sebenarnya kalau orang mau memahami secara benar dan utuh tentang Ru Jiao atau Agama Konghucu, maka orang akan tahu bahwa dalam agama Konghucu (Ru Jiao) juga terdapat Ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Agama Konghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubung­ an antar sesama manusia atau disebut “Ren Dao” dan bagaimana kita melaku­ kan hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah “Tian” atau “Shang Di”. Ajaran falsafah ini diasaskan oleh Konghucu yang dilahirkan pada tahun 551 SM. Seorang yang bijak sejak masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu­ilmu baru ketika berumur 32 tahun. Konghucu banyak menulis buku­buku moral, sejarah, kesusasteraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Beliau meninggal dunia pada tahun 479 SM.

Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa

agama tersebut di negeri ini. Di sinilah terletak arti irman Tuhan dalam kitab suci al-Qurân: “Tak ada paksaan dalam beragama, (karena) benar­benar telah jelas mana yang benar dan mana yang palsu (lâ ikrâha fî ad-dîn qadtabayyana ar-rusydu min

al-ghayyi)” (QS. Al­Baqarah [2]: 256). Jelas dalam ayat itu, tidak

ada peranan negara sama sekali melainkan yang ada hanyalah peranan masyarakat yang menentukan mana yang benar dan mana yang palsu. Jika semua agama itu bersikap saling meng­ hormati, maka setiap agama berhak hidup di negeri ini, terlepas dari senang atau tidaknya pejabat pemerintahan.

Sangat jelas dari uraian di atas, bahwa diskriminasi me­ mang ada di masa lampau, tetapi sekarang harus dikikis habis. Ini kalau kita ingin memiliki negara yang kuat dan bangsa yang besar. Perbedaan di antara kita, justru harus dianggap sebagai kekayaan bangsa. Berbeda, dalam pandangan Islam, wajar terja­ di dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi pada tingkat sebuah bangsa besar, seperti manusia Indonesia. Kitab suci al-Qurân menyebutkan: “Berpeganglah kalian kepada tali Tuhan dan se­ cara keseluruhan serta jangan terpecah­pecah dan saling berten­ tangan (wa’ tashimû bi habli Allah jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS. Ali Imran [3]:103). Ayat kitab suci tersebut jelas membe­ dakan perbedaan pendapat dengan pertentangan, yang memang nyata­nyata dilarang.

Walau telah lewat, tulisan ini dimaksudkan sebagai hadiah Tahun Baru Imlek yang harus kita hargai, seperti hari­hari besar agama yang lain. Tentu, hadiah berupa peletakkan dasar­dasar perbedaan di antara kita, sambil menolak pertentangan dan keterpecahbelahan di antara komponen­komponen bangsa kita, jauh lebih berharga daripada hadiah materi. Apalagi, jika pene­ rima hadiah itu telah berlimpah­limpah secara materi, sedang­ kan pemberi hadiah itu justru secara relatif lebih tidak berpunya. Memang mudah sekali mengatakan tidak boleh ada diskrimina­ si, tetapi justru upaya mengikis habis tindakan itu memerlukan waktu, yang mungkin memerlukan masa bergenerasi dalam ke­ hidupan kita sebagai bangsa. Memang selalu ada jarak waktu sangat panjang antara penetapan secara resmi dengan kenyata­ an empirik dalam kehidupan. Mudah dirumuskan, namun sulit dilaksanakan. h

M

inggu lalu, di bilangan Kramat V, Jakarta, penulis me­ resmikan sebuah panti jompo milik sebuah yayasan yang dipimpin orang­orang eks Tapol (Tahanan Poli­ tik) dan Napol (Narapidana Politik), kasarnya orang­orang PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sudah dibubarkan. Mereka mendirikan sebuah panti jompo di gedung bekas kantor Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), yang dianggap sebagai organisasi perempuan PKI. Peresmian yang diminta mereka secara apa adanya pada pagi yang cerah itu, disaksikan antara lain oleh SK Trimurti1, salah seorang pejuang kemerdekaan kita. Ini penulis

lakukan karena solidaritas terhadap nasib mereka, yang sampai sekarang pun masih mengalami tekanan­tekanan dan kehilang­ an segala­galanya. Puluhan ribu, mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan, karena dituduh “terlibat” dan bahkan memimpin PKI. Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat me­ nyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak me­ miliki hak­hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam pemilu. Rumah­rumah dan harta benda mereka yang dirampas. Dan stigma (cap) pengkhianat bangsa, tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini.

Dengan dipimpin oleh dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati2,

mereka membentuk PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru) yang memiliki cabang di mana­mana, walhasil gerakan mereka berskala nasional. Namun karena prikemanusiaan juga lah penu­

1 Soerastri Karma Trimurti begitu nama lengkapnya. Permpuan yang la­

hir pada 1912 ini adalah wartawan tiga zaman. Pernah mendapat penghargaan Bintang Mahaputera V yang disematkan langsung oleh Presiden Soekarno.

2 Penulis buku menggemparkan dengan judul Aku Bangga Jadi Anak

PKI, (Jakarta: Cipta Lestari, 2002).