• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ideologis ataukah kultural? (04)

adalah penolakan terhadap langkanya moralitas dalam kehidup­ an politik kita dewasa ini. Jadi dengan demikian, kalau dalam masyarakat sekuler di Barat ada moralitas non­agama dalam ke­ hidupan politik, di negara­negara berkembang yang belum me­ miliki tradisi yang mapan, moralitas ditegakkan melalui dasar­ dasar agama. Dalam pandangan penulis, ukuran­ukuran ideo­ logis­agama tetap tidak memperoleh tempat dalam kehidupan bernegara, karena sifatnya yang sesisi dan hanya khusus untuk kepentingan para pemeluk agama tersebut. Di sinilah terletak perbedaan antara moralitas dan ideologi, walaupun sama­sama berasal dari wahyu yang satu.

eg

Kita harus jeli membaca sejarah bangsa­bangsa di dunia, untuk mengambil pelajaran serta sikap yang diperlukan. Kita sering mendengar moralitas yang tinggi tanpa berdasarkan agama, seperti diperlihatkan Jiang Zemin dan Zhu Rongji di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sepenuhnya disandar­ kan pada moralitas sekuler yang bersifat materiil. Oleh karena itu, kita harus mampu mengembangkan moralitas politik yang di dasarkan pada ajaran­ajaran umum semua agama. Kejujuran, kesungguhan kerja dan pertanggungan­jawab secara jujur kepa­ da nasib bangsa di kemudian hari, merupakan sebagian morali­ tas umum agama­agama. Karenanya, pemakaian agama untuk menimbulkan moralitas seperti itu justru harus dihargai, dan bukannya dicurigai.

Antonio Gramsci1 mengemukakan gagasan sosialisme yang

penuh kemanusiaan, dan di dalamnya tentu terdapat peran be­ sar dari moralitas yang tinggi, sebagai sebuah koreksi atas Marx­ isme­Leninisme yang sarat dengan ketentuan­ketentuan organi­

1 Antonio Gramsci (1891­1937) adalah pendiri dan anggota Partai So­

sialis Italia/ the Italian Socialist Party (PSI). Seorang penulis, intelektual, wartawan dan aktivis yang sangat aktif dan terkenal sebelum akhirnya ditang­ kap oleh pemerintahan fasis Italia dan dimasukkan penjara hingga meninggal. Meski hidup di penjara lebih dari 20 tahun, ia meninggalkan berbagai catatan teori­teori politik dari refleksi dan surat­suratnya di dalam penjara yang kemu­ dian dikumpulkan dalam bentuk buku the Prison Notebooks. Melalui catatan­ catatan dan suratnya itulah lahir berbagai teori politik yang terkenal hingga sekarang. Beberapa istilah seperti “hegemony”, “organic intellectual” dan “his­ torical bloc” berasal dari tulisannya tersebut.

Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan

satoris belaka. Pandangannya saat itu (sebelum 1927) dianggap sebagai penyimpangan Komunisme di Italia, namun adanya ke­ bangkrutan dan kehancuran Uni­Soviet justru membenarkan­ nya. Demikian pula halnya dengan Alexander Dubcek2 di Praha

yang berani menawarkan Komunisme yang berwajah kemanu­ siaan. Namun, beberapa puluh tahun kemudian apa yang mere­ ka bawakan menjadi kenyataan: bahwa Komunisme pun harus melakukan koreksi atas peranannya dalam kebangunan ma­ nusia di akhir abad lalu dan sepanjang abad ini. Pengamatan ini sepenuhnya mengikuti apa yang diingatkan Vladimir Ilyich Lenin: “penyakit kiri ke­kanak­kanakan (leftism infantile disease)” yang dihadapi kaum revolusioner manapun, yaitu heroisme roman­ tis. Mereka menganggap revolusi akan rampung ketika aku yang berjuang. Aku­isme seperti inilah yang justru merusak revolusi, karena perjuangan jangka panjang harus ditundukkan kepada kebutuhan pribadi seorang pemimpin yang tidak lama jangka hidupnya.

Lawan dari aku­isme itu adalah budaya/kultur dan agama, termasuk manifestasi budayanya yang sangat penting dalam sejarah umat manusia. Kalau tidak kita pahami dengan benar, peranan agama tidak lagi berorientasi kultural, melainkan ber­ orientasi institusional. Kegagalan memahami hal ini berarti kegagalan pula dalam memahami proses demokratisasi, yang memang sejak semula sudah tidak ideal. Sir Winston Spencer Churchill3 pernah menyatakan, demokrasi banyak kelemahan

dan kekurangannya, tetapi ia tetap merupakan perwujudan ter­ baik dari upaya umat manusia menegakkan pemerintahan yang benar. Dengan menghiraukan hal­hal seperti ini, maka pandang­ an Mao Zedong4 di RRT menjadi sesuatu yang tidak sehat.

2 Alexander Dubcek (1921­ 1992), salah seorang pemimpin partai ko­

munis, pernah menduduki Sekretaris Jenderal di Slovakia yang mencanangkan pembaruan, pembebaskan media dari sensorship dan mengkritik pemerintah.

3 Sir Winston Leonard Spencer Churchill (1874­1965), adalah salah

seorang pemimpin terkemuka Kerajaan Inggris (United Kingdom). Pernah menjadi Perdana Menteri maupun anggota parlemen dan menduduki jabatan pen­ ting di berbagai bidang. Ia juga seorang penulis yang produktif dan terkenal.

4 Mao Zedong atauMao Tse­tung (1893–1976), adalah pendiri Negara

Republik Rakyat Cina/The People’s Republic of China. Pemimpin Cina dan

Komunis paling terkenal dengan pencanangan Revolusi Kebudayaan (Cultural Revolution).

eg

Demikianlah, terlihat betapa erat hubungan antara buda­ ya/kultur dan politik, paling tidak untuk menampilkan kesusilaan politik (political morality) yang diperlukan oleh sistem pemerin­ tahan manapun di dunia ini. Kata-kata Zhu Rongji5“sediakan se­

puluh buah peti mati, sembilan buah untuk para koruptor dan se­ buah lagi untuk diriku, kalau aku juga korup”, adalah ungkapan moralitas yang diingini. Karenanya, baik itu moralitas sekuler dari sebuah ideologi duniawi seperti Komunisme, maupun mo­ ralitas agama yang digunakan dalam pengembangan sistem poli­ tik, haruslah dibaca sebagai keniscayaan sebuah pemerintahan yang benar­benar bertanggung jawab pada rakyat.

Di sini, kita harus belajar dari para moralis dunia, dari Fir­ ’aun Akhnaton di Mesir kuno hingga Mahatma Gandhi di India dalam abad ke 20, membuat rambu­rambu yang harus diguna­ kan dalam mengemban amanat rakyat yang kita junjung tinggi. Kegagalan memahami hal ini, hanya akan membuat seorang pe­ nguasa mementingkan diri saja, seperti halnya Kaisar Nero6 yang

membakar kota Roma untuk mencari kesenangan. Juga Kaisar Wu Zetian7 yang curiga dan menganggap semua orang ingin me­

nyingkirkan dirinya dari pemerintahan, maupun Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Mataram yang bergembira dengan para dayang­dayangnya di atas Taman Sari dengan membuang dan menyaksikan lawan­lawan politiknya di makan buaya, karena ti­ dak dapat melawan binatang­binatang buas itu tanpa senjata.

Jadi benar menurut kaidah iqh: “tindakan dan kebijak­ sanaan seorang pemimpin mengenai rakyat yang dipimpin, ha­ rus terkait langsung dengan kesejahteraan mereka”, merupakan

5 Dia salah seorang Perdana Menteri Cina 1998­2003 ketika jabatan

presiden dipegang Jiang Zemin.

6 Nero Claudius Caesar Drusus Germanicus (37­68 C.E.) raja di kota

Roma. Terkenal dengan bakatnya sebagai penulis puisi dan penyanyi tetapi juga sangat ambisius. Ia membakar kota Roma konon untuk membangun ista­ na yang megah, karena kota Roma ketika itu tidak cukup untuk membangun istana yang menjadi cita­citanya.

7 Wu Zetian (625-705 AD) adalah Permaisuri Kaisar Kao Tsung pada

zaman Dinasti Tang. Setelah suaminya meninggal, dia menjalankan kekaisar­ an. Dalam mengamankan kekuasan, Wu membentuk pasukan khusus untuk memata­matai lawan politiknya. Dia tak segan membunuh kaum oposisi yang melawan kebijakannya.

Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan

sebuah rambu moral yang melarang seorang pemimpin untuk menumpuk kekayaan bagi dirinya sendiri. Tiap agama dan keya­ kinan memiliki sejumlah adagium/ketentuan seperti itu, karena itulah moralitas­agama sangat diperlukan dalam menciptakan sistem politik yang sehat. Karenanya, kita tidak perlu ragu­ragu bahwa moralitas­agama memberikan sumbangan bagi pemben­ tukan sistem politik yang sehat bagi sebuah bangsa. Pada tingkat inilah agama dan politik dapat dihubungkan, dan tidak pada tingkat ideologis. h

D

alam perjalanan menuju Banjarmasin, di pagi hari, penu­ lis mengikuti siaran warta berita televisi di ruang tunggu pesawat Mandala. Ditayangkan di televisi itu peringatan Tabot di Bengkulu, yang diselenggarakan untuk menghormati Syekh Burhanudin1 yang hidup di kawasan itu pada akhir abad

ke 17 dan awal abad ke 18 Masehi. Karena dijelaskan dalam pemberitaan tersebut, bahwa acara tersebut juga diikuti orang­ orang keturunan India, jelaslah bahwa orang-orang Syi’ah sekte Isma’illiyah2 adalah pembawa Islam ke Bengkulu saat itu. Sekte

Syi’ah Isma’iliyah inilah yang kemudian menurunkan para pe­ mimpin yang bernama Aga Khan di negeri India.

Walaupun kemudian ajaran Sunni tradisional menguasai Bengkulu, upacara Tabot itu tampaknya tidak juga kunjung hi­ lang, dan sekarang bahkan menjadi bagian dari adat setempat. Di permukaan tampak Syi’isme dalam baju adat atau kultur ma­ syarakat setempat, walaupun seluruh ajaran kaum muslimin —di kawasan itu, di “sunni”kan melalui iqh/hukum Islam. Ini berarti

1 Syekh Burhanuddin adalah seorang tokoh tarekat dari Ulakan, Paria­

man, Sumatera Barat. Dia murid Syekh Abdurrauf Singkel, ulama terkemuka Aceh yang juga seorang tokoh tarekat Syattariah, Qadiriyah dan Naqsabandiyah.

2 Syi’ah Ismailiyah merupakan salah satu sekte Syi’ah. Syi’ah sekte ini

muncul karena perbedaan pendapat tentang imam ke-7 pengganti Ja’far al- Shiddiq. Menurut kelompok ini, pengganti Ja’far al-Shiddiq adalah Ismail meskipun ia sudah meninggal. Namun kelompok lain (Syi’ah Imamiyah atau Syi’ah Dua Belas) berpendapat bahwa pengganti Ja’far al-Shiddiq adalah Musa

al­Kadzim, adik Ismail.

Islam: