• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ideologis ataukah kultural? (03)

Pakistan pada waktu ini, walaupun tidak sejalan dengan pikiran penulis.

eg

Kembali pada masalah asas Islam bagi partai politik mau­ pun perkumpulan. Karena yang beratribut Islam adalah partai politik dan/atau perkumpulan­perkumpulan, maka tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Kalau mereka memperjuang­ kan Piagam Jakarta, untuk dimasukkan ke dalam Undang­ Undang Dasar kita maka itu adalah hak mereka, juga untuk merubah konstitusi dan dasar negara. Ini adalah konsekuensi berdemokrasi, bahkan di Amerika Serikat pun ada orang yang ingin agar Undang­Undang Dasar­nya diubah menjadi Undang­ Undang Dasar berideologi komunis. Masalahnya tinggal, apakah dalam pemilu, rakyat mau menerimanya atau tidak?

Sikap membedakan kehidupan negara dari kehidupan per­ kumpulan yang seperti ini, adalah sikap yang sehat kalau kita ingin mengembangkan demokrasi di negara kita. Dasar dari si­ kap ini adalah keyakinan bahwa, rakyat banyak sudah tahu apa yang harus dilakukan, walaupun mayoritas mereka tidak ber­ pendidikan tinggi, dan bahkan masih besar prosentase yang buta huruf. Kalau dalam hal ini kita memiliki keberanian, maka mere­ ka yang bercita­cita mendirikan negara Islam tidak akan mem­ peroleh tempat untuk menyuarakan kehendak, dan mereka akan menempuh jalan pemberontakan bersenjata.

Karenanya, kita harus memberikan tempat bagi perbedaan pendapat dan kemerdekaan berbicara, artinya adalah kebebasan menyatakan pikiran tanpa dikekang sama sekali. Inilah yang men­ dasari pendapat penulis, bahwa TAP MPRS No. 25 tahun 19661

harus dicabut. Karena TAP itu melarang penyebaran paham Marxisme­Leninisme atau Komunisme. Sebagai sebuah paham, pikiran itu hanya dapat diperangi oleh pendidikan dan penerang­ an, bukan oleh sebuah Ketetapan MPR ataupun produk hukum

1 Meskipun UUD 1945 telah dilakukan amandemen setidaknya empat

kali dan secara hukum TAP MPR dan MPRS tidak berlaku lagi, tetapi TAP MPRS No. 25 tahun 1966 ini sampai sekarang masih menjadi inspirasi dan bahkan menjadi konsideran bagi berbagai UU, Peratuan atau regulasi di ber­ bagai tingkatan dan bahkan Peraturan Daerah (PERDA) di beberapa tempat untuk membatasi kebebasan berpolitik warga negara tertentu.

Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan

apapun. Lain halnya, kalau yang dilarang adalah lembaga atau institusi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Lembaga dapat dilarang oleh negara, seperti halnya kita melarang lembaga ber­ nama Freemason (lembaga yang berpikiran bebas tanpa agama)2.

Di sinilah diperlukan ketelitian kita, agar produk­produk kenega­ raan kita tidak merugikan diri sendiri.

eg

Mengetahui hal sekecil ini, yaitu perbedaan antara paham dan lembaga harus dilakukan dengan cermat. Tanpa kecermatan seperti itu, kita akan berjalan ke arah yang salah, yaitu menindak hal yang tidak perlu diperhatikan dan membiarkan sesuatu yang memerlukan tindakan. Prinsip ini penting diingat oleh lembaga lembaga yang mengutamakan perembugan/permusyawaratan, seperti yang dibuat oleh Undang­Undang Dasar kita: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang seringkali hanya diang­ gap sebagai ajang percaturan kekuasaan.

Walaupun banyak dijalankan oleh umat muslim, tetapi sistem politik nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi politik Jawa dalam menjaga keberlangsungan negara. Sering kontinuitas kekuasan diwariskan dari sebuah generasi kepada generasi selanjutnya. Joko Tingkir, umpamanya, mem­ punyai keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin3 dari Kajen,

Pati, yang sangat tunduk pada Amangkurat IV4 di Surakarta. Se­

dang Joko Tingkir alias Sultan Hadiwidjaya adalah penguasa Ke­ sultanan Demak (memerintah tahun 1550­1582) yang diguling­ kan oleh Sutawidjaya5, pendiri dinasti Mataram yang kemudian

bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayyidin Pana- tagama Kalifatullah Ing Tanah Jawi. Karena penulis masih

2 Beberapa sumber menyebut Freemason sebagai organisasi rahasia in­

ternasional yang anti agama. Bahkan Gereja Katolik pada masa Paus Leo XIII melalui Ensiklik berjudul Humanum Genus (1884), melarang semua umat Katolik bergabung dengan organisasi itu.

3 Mengenai KH. A. Mutamakkin, lihat pula Bab I bag. 9 berjudul Islam:

Apakah Bentuk Perlawanannya?

4 Amangkurat IV memerintah Kesultanan Surakarta tahun 1719­1726 M. 5 Sutawidjaya mengangkat diri sebagai raja dengan gelar Panembahan

Senapati setelah wafatnya Sultan Hadiwijaya 1582. Sutawijaya memerintah sampai kira­kira 1601 yang kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Mas Jolang yang kemudian terkenal dengan Panembahan Seda Krapyak.

keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin, berarti masih terkait dengan Sunan Benawa di Kendal, ayah Sunan Pakubuwana I, dengan sendirinya para penguasa Mataram masih menghormati penulis.

Karena sistem politik Jawa masih memiliki bekasnya yang mendalam atas sistem politik nasional kita sekarang, dengan sendirinya tali temali ini harus diperhatikan juga. Contoh tadi juga memperkuat pendapat penulis, bahwa kita tidak memiliki acuan negara Islam bagi sistem politik yang kita kembangkan. Menurut dugaan penulis, kurang dari 20 % pemilih akan mem­ berikan suara kepada partai­partai politik yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Benarkah apa yang disangkakan penulis itu? Pemilu adalah satu­satunya tempat untuk menguji kebenaran pendapat itu. Sejarahlah yang akan menjawab h

D

alam upacara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa untuk bidang humaniora di Universitas Soka Gak­ kai, Tokyo, baru­baru ini, penulis mengemukakan dalam sambutannya bahwa sebuah tradisi baru telah dimulai di Asia. Di samping PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang membawa moralitas keagamaan dalam kehidupan politik suatu bangsa, kita melihat hal yang sama dilakukan Partai Komeito, yang didukung oleh gerakan Buddha terbesar di dunia, Soka Gakkai di Jepang. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bharatiya Janata Party, yang dipimpin oleh Perdana Menteri India Atal Behari Vajpayee. Dan, didukung oleh oraganisasi Hindu kenamaan di negeri itu, Rash­ triya Swayamsevak Sangh (RSS), yang didirikan tahun 1925, se­ tahun sebelum NU lahir (tahun 1926).

Malam harinya, sebelum pemberian gelar tersebut, penu­ lis berkunjung ke rumah Prof. Mitsuo Nakamura, seorang ahli gerakan Islam di Indonesia, yang tinggal di Ito City (sekitar dua jam berkendaraan mobil dari kota Tokyo). Sebuah pertanyaan beliau menunjuk dengan tepat problematika yang dihadapi pe­ nulis: “Anda memisahkan ideologi agama dari kehidupan negara. Mengapakah sekarang Anda justru membawa agama dalam ke­ hidupan bernegara?” tanyanya. Mendengar pertanyaan tersebut, badan yang terasa kecapaian akibat berkendaraan mobil ke Ito City selama dua jam itu, hilang seketika. Inilah yang penulis cari selama beberapa tahun ini, tetapi tidak pernah dirumuskannya dalam bentuk pertanyaan seperti itu.

Penulis memberi jawaban, bahwa yang terjadi (dan terus terang saja, dikembangkan penulis di Indonesia melalui PKB),

Islam: