• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ideologis ataukah kultural? (02)

bangkan lebih seragam. Keseragaman itu dilambangkan oleh sistem administrasi yang sama dan birokrasi yang tunggal di semua propinsi, mengikuti apa yang ditetapkan di ibu Kota Nan­ king maupun Beijing. Bahkan Tiongkok telah memiliki wadah tunggal pendidikan tenaga administrasi pemerintahan semenjak ratusan tahun yang lalu.1 Sementara APDN (Akademi Pemerin­

tahan Dalam Negeri) dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di negeri kita baru berlangsung puluhan tahun lamanya, itupun dengan hasil yang sudah sangat menggembirakan. Di Universi­ tas Tokyo, Jepang dan Ecole Superieur, Perancis yang berusia sedikit lebih tua juga mencatat hal yang sama.

eg

Perbedaan sangat mencolok antara kedua bangsa dapat ditelusuri pada sejarah masing­masing. Tiongkok sebagai nega­ ra daratan (land-based country) dan Indonesia sebagai negara maritim. Sudah tentu dengan lebih banyak keseragaman di China dan keragaman kerajaan­kerajaan di negeri kita. Kalau daratan Tiongkok terkenal dengan sistem agraris yang berintikan sawah dan padang rumput (lengkap dengan tradisi penggembalaan­ nya), maka perairan negeri kita justru menunjukkan ciri perbeda­ an sangat besar dalam cara hidup masing­masing daerah. Ada yang bergantung pada hasil hutan yang sangat besar, seperti di Jambi dan Pulau Kalimantan, ada pula yang lebih mengandalkan perdagangan laut antar pulau, seperti terdapat dalam kebudaya­ an Bugis dan Madura. Hanya di Jawa, Sultan Agung Hanyakra­ kusuma2 dapat menegakkan cara hidup agraris lengkap dengan

sistem kepegawaiannya.

Namun, pengenalan antropologis antara keduanya, dengan yang satu menggunakan konsep agraris dan yang kedua dengan konsep maritim, harus diimbangi dengan analisa sosiologis, yang

1 Dinasti T’ang (618-906) paling berjasa membangun sistem pemerin­

tahan Kerajaan Tiongkok yang solid. Dinasti ini juga membuat sistem perek­ rutan bagi pegawai negeri itu, yang biasanya diambil dari murid­murid yang belajar di kuil.

2 Ia juga bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman yang

sukses membawa puncak kejayaan Kerajaan Mataram dalam segala bidang, ke­ hidupan politik, militer, kesenian, kesusastraan, dan keagamaan. Sultan Agung menjadi penguasa Mataram tahun 1613 sampai 1645 M.

Islam dalam dIskuRsus IdEoloGI, kultuRal dan GERakan

juga akan menunjukkan perbedaan dan persamaan keduanya. Umpamannya saja, pada kuatnya kekuasaan pihak yang meme­ rintah (the ruling class).

Sebenarnya, nama Mandarin untuk bahasa nasional Tiong­ kok saat ini, diambil dari nama kelompok birokrat pemerintahan yang menguasai negeri itu sejak lebih dari 2000 tahun lampau. Kelompok birokrat ini sanggup bertahan, bahkan menghadapi tantangan kaum pendekar bersenjata yang menguasai pedalam­ an Tiongkok selama ratusan tahun terakhir ini. Sekarang pun, masih belum diketahui bagaimana keberadaan mereka dalam pemerintahan dan sistem politik yang ada, walaupun kekuasa­ an komite militer di lingkungan Partai Komunis Tiongkok ma­ sih sangat besar. Apakah kelas bersenjata itu diserap ke dalam komite militer tersebut dengan bawahan­bawahannya, juga ti­ dak kita ketahui.

Di negeri kita pun kekuasaan kaum priyayi dengan nilai­ nilainya sendiri terasa sangat besar di masa lampau. Hanya saja, dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kaum agamawan mus­ lim (dikenal dengan nama kaum santri) berhasil menyelusup ke dalam jantung kekuatan kaum priyayi tersebut. Jalan yang dilalui ada dua model, yaitu jalur kekuasaan politik dan jalur pengembangan profesi. Kalau ini kita lupakan, sama saja artinya dengan membiarkan diri hidup di masa lampau tanpa mengenal hidup masa kini dan masa mendatang.

eg

Jelas, kalau kita proyeksikan bayangan masa lalu itu, ber­ tambah nyata persamaan maupun perbedaan sistem­sistem poli­ tik yang dianut kedua negeri itu –di masa kini dan masa depan. Bagaimana masing­masing menjawab tantangan yang dihadapi, yang datang dari proses modernisasi yang penuh dengan per­ saingan, adalah pengenalan sebuah proses yangmenarik untuk dikaji. Di sinilah, terasa betapa pentingnya deskripsi historis sistem politik yang digunakan kedua bangsa itu (ethnograi, yang sangat dikuasai oleh administrasi pemerintahan kolonial Hindia­Belanda).

Mengingat hal itulah perlu kita sadari betapa pentingnya catatan­catatan historis yang dikenal oleh kedua belah pihak. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan

sejarah kedua bangsa. Bahwa ada perbedaan­perbedaan sejarah di dua orkestra­kamar (chamber orchestra) itu adalah hal yang wajar. Tetapi, membandingkan antar keduanya, untuk mencari pelajaran yang dapat kita gunakan untuk mengenal cara hidup kita sendiri, adalah sebuah hal yang wajar pula.

Karenanya, segala macam tulisan dan rekaman suara yang memberikan gambaran akan perjalanan sejarah kedua bangsa itu, jelas akan sangat menarik hati para pengamat. Akankah kita menjadi sebuah bangsa yang hanya mengandalkan dominasi masa lampau, terlepas sama sekali dari konteks historis yang se­ dang berjalan? Ataukah justru kita menjadi bangsa yang dapat menatap masa depan sendiri? Semuanya terpulang kepada kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mengenal kedua bangsa secara lebih mendalam sebagai bangsa yang sama­sama bukan negara agama, walaupun mempunyai perkembangan sejarah (historical development) yang berbeda. h

B

eberapa partai politik masih mencantumkan Islam sebagai asas/dasar organisasinya, begitu juga beberapa perkum­ pulan lain yang non­politis. Ketika hal itu ditanyakan pada penulis, maka jawabannya adalah biar saja, karena itu adalah ke­ hendak mereka. Si penanya mengemukakan: aneh sekali, Anda dari dahulu selalu menentang negara Islam, mengapakah partai politik yang berasaskan Islam tidak Anda tolak? Bukankah ini berarti Anda menerima pandangan mereka?

Jawabannya justru karena penulis menolak negara Islam Islam di Indonesia, tapi tidak di tempat lain yang penduduknya homogen (berpandangan tunggal). Karena bangsa kita beraneka ragam dalam pandangan hidup, dengan sendirinya negara tidak dapat hanya melayani mereka yang berpandangan negara Islam saja. Orang muslim pun, seperti penulis yang tidak menerima negara Islam di Indonesia, harus dihargai pendapat dan sikap hidup mereka. Apalagi yang tidak beragama Islam, yang jum­ lahnya melebihi 10% bangsa ini. Adalah tindakan gegabah untuk menganggap konsep negara Islam diterima seluruh kaum mus­ limin di negeri ini, hanya karena Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia.

Itulah yang membuat mengapa penulis menolak gagasan negara Islam di sini, karena penulis tidak ingin menyangkal ke­ benaran yang dibawakan oleh statistik tadi. Lain halnya dengan bangsa Pakistan, yang ingin mendirikan negara sendiri karena persamaan agama, dan untuk itu mereka berani berpindah tem­ pat ke kawasan tersebut dari daerah asal, dan di Pakistan mere­ ka membentuk kelompok kaum pendatang (muhajirin). Dapat dimengerti mengapa mereka menginginkan Republik Islam

Islam: