Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
MILF yang dianggap juga akan memberontak, seperti halnya MNLF. Penulis menjawab, tidak dapat melakukan hal itu, karena tidak akan didengar oleh tentara Philipina; sedangkan Presiden Gloria Macapagal Arroyo saja tidak didengar oleh tentara Phili pina. Apalagi orang luar yang melakukan hal itu.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tentara Phili pina, atau oknumoknum dalam kepemimpinan formalnya, cen derung untuk melanggar kebijakan pemerintah untuk berunding. Hal ini patut disayangkan, tetapi demikianlah kenyataan yang ada dan sikap seperti itu juga dijalankan oleh oknumoknum mi literistik dalam lingkungan tentara Thailand dan Indonesia. Di Thailand, mereka cenderung mencurigai orangorang Islam di selatan, timur dan utara negeri itu. Diabaikan kenyataan, bahwa komunitas kaum muslimin kini sudah mencapai antara 2025% dari total penduduk negeri itu. Demikian juga Indonesia, ada sikap menolak berunding dengan pihak GAM dan pihak Hasan Tiro untuk merumuskan batasanbatasan otonomi khusus di Aceh, dengan menembak mati orangorang GAM yang diang gap sebagai pengacau keamanan yang harus ditumpas dengan kekerasan bersenjata oleh aparat keamanan.
Akibat kekerasan di kawankawasan itu, unsurunsur yang tadinya menolak separatisme, mau tak mau akhirnya menjadi kaum separatis. Sedangkan pihak moderat (kaum yang tidak keras), akhirnya dikalahkan oleh kelompokkelompok garis keras (kaum ekstrimis atau fundamentalis kalangan kaum mudanya). Kaum moderat itu digambarkan oleh saingansaingan mereka sebagai yang berhati lemah dan tunduk pada pemerintah. Selan jutnya keadaan akan dikuasai oleh mereka yang berhaluan keras, hingga menimbulkan kesan seolaholah seluruh kaum muslimin di kawasankawasan itu benarbenar telah menjadi kaum sepa ratis secara keseluruhan.
Dengan demikian, terjadi eskalasi antara perlawanan mere ka dan pembalasan bersenjata oleh aparat pemerintah, yang belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Di Aceh, misalnya, proyek DOM (Daerah Operasi Militer) berjalan bertahunta hun tanpa ada penyelesaian, dan akhirnya dunia internasional menyalahkan negara kita sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kalau Belanda saja tidak dapat menyelesaikan penye lenggaraan pemerintahan pendudukan/kolonial selama lebih da ri 350 tahun, apakah kita juga akan bermusuhan dengan rakyat
sendiri di kawasan Aceh untuk masa yang sama?
Karenanya, jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah pertentangan pemerintah dan kaum beragama di Philipina, Thai land dan Aceh, sebaiknya dilakukan secara berunding, agar tidak menjadi semakin berlarutlarut. Perundingan seperti itu meng haruskan adanya kesediaan oknumoknum militer untuk men dengarkan dan menghormati pendapat pemerintah, dan bukan sebaliknya.
eg
Dengan demikian, penyelesaian yang diharapkan bukanlah penyelesaian militer, melainkan penyelesaian politis. Kenyataan yang demikian sederhana, memang tampak seperti mengalah kepada mereka yang berhaluan keras (kaum ekstrimis atau fun damentalis). Namun, yang kita utamakan bukanlah mereka, tapi rakyat banyak yang menginginkan otonomi khusus melalui pe rundingan damai. Dalam kenyataannya, tidak sedemikian benar yang terjadi, karena toh pada akhirnya kaum ekstrimis itu akan diserap oleh masyarakat yang memang berjiwa moderat. Hal ini lah yang mendorong Bung Karno menyelesaikan masalah Tengku Daud Beureueh3 di Aceh, yang dikenal sebagai pemimpin pem
berontakan Darul Islam di tahuntahun 50an dengan penyele saian secara politis. Demikian pula, diselesaikannya pemberon takan PRRI Permesta secara politis setelah penyerbuan oleh TNI ke kawasan Sumatera Barat dan Tomohon di Sulawesi Utara.
Kalau penyelesaian politis ini tidak dilakukan, maka rak yat kebanyakan akan dimanipulir oleh kaum muda yang ber garis keras. Mereka tinggal menunjuk kepada kenyataan adanya represi dan penembakan oleh tentara atas penduduk yang tidak bersalah, yang nantinya akan membuat perlawanan rakyat men jadi semakin nyata. Kalau ini terjadi, oknumoknum militer itu akan menyerahkan persoalan kepada pemerintah yang dengan susah payah harus mengulang kembali dari awal perundingan dengan mereka yang menginginkan otonomi khusus bagi ka
3 Tengku Muhammad Daud Beureueh (w. 1987) adalah salah seorang
pahlawan kemerdekaan Indonesia dan Gubernur pertama Propinsi Aceh. Tapi karena kecewa dengan pemerintah pusat dan Soekarno, dia mendukung proklamasi NII (Negara Islam Indonesia) dan PRRI yang memberontak kepada kepemimpinan pusat RI. Ia lalu terkenal dengan pemimpin pemberontak.
Islam, nEGaRa dan kEPEmImPInan umat
wasan yang bersangkutan, dalam jumlah orang yang lebih se dikit dari semula.
Karena itu, jelas bagi pihak militer yang ingin mengguna kan kekerasan di Philipina Selatan, Thailand Selatan maupun di Aceh, hendaknya segera menghentikan langkahlangkah mereka itu. Biarkan pemerintah mencari penyelesaian damai melalui perundingan dengan kaum moderat yang masih berjumlah be sar. Kalau terlambat, perundingan itu akan menjadi lebih su lit, dan hasilnya tidak dapat dipastikan. Demikian pula, dalam proses yang terjadi wibawa pemerintah masih akan tetap besar kalau penyelesaian dicapai melalui perundingan sekarang. Dan sebaliknya, wibawa itu tentu semakin berkurang, kalau eskalasi pertentangan bersenjata tetap berjalan. Benarkah para jenderal itu berpikir hanya untuk kepentingan bangsa dan bukannya ke pentingan sendiri? h
S
elama beberapa tahun terakhir ini, ada suarasuara untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara, yaitu sebagai pengganti Pancasila. Menurut pandangan penulis, hal itu terjadi akibat terjadi penyempitan pandangan mengenai Panca sila itu sendiri, yaitu pengertian Pancasila hanya menurut mere ka yang berkuasa. Ini berarti pemahaman Pancasila melalui satu jurusan belaka, yaitu jurusan melestarikan kekuasan. Pandangan lain yang menyatakan Pancasila harus dipahami lebih longgar, di larang sama sekali. Dengan demikian, sebenarnya yang terjadi bukanlah pertentangan mengenai Pancasila itu sendiri, melain kan soal pengertian Pancasila tersebut.Menurut pandangan kekuasaan, penafsiran yang benar ten tang Pancasila adalah apa yang disepakati pemerintah, bukannya kritik terhadap pendekatan yang terasa monolit bagi rakyat itu. Karena dalam pandangan mereka penafsiran pemerintah hanya lah satu dari penafsiran yang ada. Untuk menetapkan mana yang benar, Mahkamah Agung (MA) harus mengemukakan pe nafsiran legal berdasarkan Undangundang (UU) yang ada. Jadi, penafsiran yang tidak sejalan dengan pemerintah, belum tentu salah. Penafsiran legallah yang dijadikan ukuran, bukan penaf siran pemerintah.
Ketika yang dianggap benar hanyalah penafsiran kekuasa an dan MA takut membuat penafsiran legal yang mengikat, maka masyarakat tidak memiliki pilihan lain, kecuali mencarikan alter natif bagi Pancasila yang telah dikebiri itu. Muncullah Islam sebagai alternatif penafsiran, bukannya alternatif ideologis. Na mun, karena kurangnya kecanggihan, maka Islam dikemukakan