• Tidak ada hasil yang ditemukan

ulil dengan liberalismenya

ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan hal itu. Segera penulis dimaki­maki oleh mereka yang tidak me­ ngerti maksud penulis sebenarnya. Seperti KH. Syukron Mak­ mun dari jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) yang mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang bershalat. Penulis, demikian kata kyai yang dahulu kondang itu, menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan “selamat pagi” dan “selamat sore”. Padahal penulis tahu deinisi shalat adalah sesuatu yang dimulai dengan “takbiratul al-ihram” dan disudahi dengan ucapan “salam”. Jadi, menurut paham Mazhab al-Syai’i, penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan pe­ rubahan salam sebagai ungkapan, baik ketika orang bertemu de­ ngan seorang muslim yang lain maupun dengan non­muslim. Di lingkungan Universitas Al­Azhar di Kairo misalnya, para syaikh/ kyai yang menjadi dosen juga sering merubah “tanda perkenal­ an“ tersebut, umpamanya saja dengan ungkapan “selamat pagi yang cerah (shabâh al-nûr).” Kurangnya pengetahuan kyai kita itu, mengakibatkan beliau berburuk sangka kepada penulis. Dan tentu reaksi terhadap pandangan Ulil sekarang, adalah akibat dari kekurangan pengetahuan itu.

eg

Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat be­ sar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis in­ gin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar­Abdalla adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia percaya akan batas­batas kemerdekaan itu, karena bagaimana­ pun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama ia percaya ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “Segala sesuatu mus­ nah kecuali Dzat Allah (kullu syai’in halikun illa wajhah)” (QS al­Qashash [28]:88), dan yakin akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. Seorang Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti­Muslim, akan terkena sabda Nabi Muhammad Saw: “Barang siapa yang mengkairkan saudara yang beragam Islam, justru ialah yang kair (man kaf-

fara akhâhu musliman fahuwa kâirun)."

Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa

Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd1 (Averoes)

yang membela habis­habisan kemerdekaan berpikir dalam Is­ lam. Sebagai akibat Averros juga di “kair” kan orang, tentu saja oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan­ perubahan. Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut paham sumber tertulis “ahl al-naql”, dan penganut paham serba akal “ahl al-aqli (kaum rasionalis)” dalam Islam memang sangat lebar. Kedua pendekatan ini pun, sekarang sedang ditantang oleh paham yang menerima “sumber intuisi (ahl al-dzauq),” seperti dikemukakan oleh al­Jabiri. Ketiga sumber ini, diusung oleh al­Imam al­Ghazali2 dalam magnum opus (karya besar),

Ihyâ’ulûm al-dîn”, yang saat ini masih diajarkan di pondok­ pondok pesantren dan perguruan­perguruan tinggi di seantero dunia Islam.

Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah karena ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci al-Qur’ân menya- takan “Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini

(al-yauma akmaltu lakum dînakum)” (QS al­Maidah [5]:3) dan

“Masuklah ke dalam Islam/ kedamaian secara menyeluruh (ud-

khulû fî al-silmi kâffah)” (QS al­Baqarah [2]:208), maka seo­ lah­olah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang dimaksudkan kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsip­ prinsip kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian ten­

1 Nama lengkapnya adalah Abu al­Walid Muhammad bin Ahmad bin

Muhammad, lahir di Cordoba pada 520 H./1126 M. dan wafat di Maghribi pada 1198 M. Di Barat ia dikenal dengan nama Averroes. Dia adalah seorang doktor, ahli hukum, dan tokoh filsafat yang paling populer pada periode perkembang­ an filsafat Islam (700­1200). Di samping sebagai seorang yang paling otoritatif dalam fungsi sebagai komentator atas karya­karya filasuf Yunani Aristoteles, Ibnu Rushd juga seorang filosof Muslim yang paling menonjol dalam usaha mencari persesuaian antara filsafat dan syariat (al-ittishâl bain al-hikmah wa al-syarî`âh). Ibn Rushd menulis banyak buku antara lain Fashl al-Maqâl wa

Taqrîr mâ baina al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, al-Kasyf `an Ma- nahij al-Adillah, Tahafut al-Tahâfut, dan Bidâyat al-Mujtahid.

2 Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin

Ta’us Ahmad al-Thûsi al-Syâfi’î. Lahir pada 450 H/1058 M di Tabaran, satu

dari dua buah kota kecil di Khurasan. Al­Ghazali termasuk ulama yang pe­ mikiran­pemikirannya sangat mewarnai dunia Islam. Beberapa karyanya an­ tara Tahâfut al-Falasifah, Kimiyyat al-Sa’âdah, Misykat al-Anwâr, dan Ihyâ`

Ulûm al-Dîn. Buku­buku tersebut hingga sekarang menjadi bacaan penting dalam kajian Islam.

tang kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan karena pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan dan mengem­ bangkan liberalisme (keterbukaan) dalam keyakinan agama yang diperlukannya. Dan orang­orang lain itu marah kepadanya, ka­ rena mereka tidak menguasai penafsiran istilah tersebut. Berpu­ lang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar Ab­ dalla, yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam.

Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak menge­ tahui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri Ulil tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, me­ ngapa ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham tersebut? Tentu karena ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya spek­ trum di atas. Karena ia khawatir pendapat “keras” akan mewar­ nai jalan pikiran kaum Muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia ingin membuat para “Muslim pinggiran” merasa di rumah mere­ ka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan itu baik sendiri­sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja menjadi motif yang diambil Ulil Abshar­Abdalla tersebut.

Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika dibenarkan, tentu saja kita akan “membiarkan” Ulil mengemukakan gagasan­gagasannya di masa depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pe­ mikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tan­ tangan sekularisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita masih mengharapkan Ulil mau melahirkan pendapat­pendapat terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan­per­ bedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pan­ dangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmah al-ummah).”

Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil “berpikir” dalam media khalayak, maka kita dihadapkan kepada dua pilihan yaitu “larangan terbatas” untuk berpikir bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan pemikiran demi pemikiran dari orang­orang seperti Ulil. Pada­ hal pemikiran­pemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat kedua, berarti kita ha­ rus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada ra­

Islam, kEadIlan dan Hak asasI manusIa

dikalisme yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pandang­ an inilah lahirnya terorisme yang sekarang “menghantui” dunia Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita harus dapat mengendalikan kecurigaan kita atas proses moderni­ sasi, yang untuk sebagian berakibat kepada munculnya paham “serba kekerasan”, yang saat ini sedang menghingapi dunia Is­ lam. Pilihan yang kelihatannya mudah tetapi sulit di lakukan, bukan? h

D

alam berbagai pernyataan, sejumlah pejabat pemerin­ tah pekan lalu menyatakan, sikap pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM)1 menunjukkan tidak mau berunding

dengan RI. Dengan demikian GAM harus dianggap sebagai mu­ suh bersenjata dan harus diserang. Kapolri bahkan menyatakan, Polri akan menambah personil di kawasan itu guna menghadapi setiap kemungkinan. Bentuk-bentuk lain tindakan isik yang akan dilakukan terhadap GAM disuarakan secara bergantian, umumnya oleh para pejabat tinggi kita. Ini merupakan pertan­ da ketidaksabaran mereka untuk berunding dan akan kembali­ nya penyelesaian konlik di Aceh ke arena perjuangan bersenjata melawan GAM. Konsekuensi dari pandangan tersebut, jelas tidak hanya menyangkut pemerintah saja, melainkan seluruh bangsa.

Kalau kita tidak berunding dengan GAM, sudah tentu kon­ sekuensinya adalah kembali bertempur melawan mereka. Ini berarti memaksa kelompok­kelompok GAM yang moderat un­ tuk bergabung dengan mereka yang ekstrim (bergaris keras). Artinya, rakyat Aceh akan menyaksikan kembali berbagai tindak

1 Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah organisasi (yang di­

anggap separatis) yang memiliki tujuan supaya daerah Aceh atau yang sekarang secara resmi disebut Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara kedua pihak yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Su- matra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro yang sekarang menjadi warga negara dan bermukim di Swedia. Pada 27 Februa­ ri 2005, pihak GAM dan pemerintah Indonesia memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan presiden Finlandia Martti Ahtisaari berperan seba­ gai fasilitator.

aceh, kekerasan dan