• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ekonomi Politik Timah dalam Perspektif Aktor

KONTESTASI AKTOR DAN ARAH BARU TRANSISI KONSOLIDASI DEMOKRASI DI BANGKA

5. Refleksi Arah Baru Transisi Konsolidasi Demokrasi di Bangka

5.1. Analisis Ekonomi Politik Timah dalam Perspektif Aktor

5. Refleksi Arah Baru Transisi Konsolidasi Demokrasi di Bangka

Bagian sub-bab ini mencoba menjelaskan analisis ekonomi politik aktor sebagai penopang ekonomi rumah tangga. Penjelasan ini didukung oleh ekologi politik tambang untuk menunjukkan dukungan kebertahanan ekonomi rumahtangga aktor, dan bagaimana aktor mengartikulasi penguasaan sumberdaya yang mereka miliki. Paparan ini sebagai potret skala mikro/aktor yang secara intensif berlangsung di dua kampung. Konsekuensi hasil penelitian ini dicoba untuk memproyeksikan pada skala makro-Bangka khususnya kalkulasi politik tambang berjejaring dengan setiap pilihan pejabat politk lokal.

5.1. Analisis Ekonomi Politik Timah dalam Perspektif Aktor

Aktor dalam ruang pengetahuan dan kepentingan yang mereka miliki tatkala menganalisis ekonomi politik timah dalam ruang kuasa tambang tidak dipungkiri mempertimbangkan banyak faktor. Analisis yang melandasi pemikiran aktor, yaitu menyangkut relasi antar-aktor dan jalinan hubungan dengan terealisasikan atau justru kegagalan serta efek yang ditimbulkan akibat keputusan tersebut diambil, memberikan gambaran bahwa keputusan itu bukan keputusan personal. Kalaupun keputusan yang keluar itu adalah keputusan personal melalui ucapan tetapi substansi keputusan merupakan pertimbangan dari banyak aspek termasuk struktur di mana aktor itu berada. Kondisi ini semakin diperhitungkan manakala aktor-bertindak itu adalah juga sebagai agen sosial dalam di dalam komunitasnya.

127

Tabel 6.5. Perbandingan melalui Harga Dasar Tahun 2006-2007 dengan dan Tanpa Aktivitas Timah serta Kontribusinya

Tahun Dengan Timah Tanpa Timah Kontribusi Timah Nilai Pertumbuhan Nilai Pertumbuhan

(Rp Juta) Rp juta

2006 7.214.607 4,47 5.008.317 5,80 30,58 2007 7.528.398 4,35 5.252.760 4,88 30,23 Sumber : Analisis Dampak Lingkungan, Buku (III), 2009

Namun sebelum memasuki alasan aktor bertindak dalam hubungannya dengan perebutan sumberdaya timah, maka tabel 6.5 menggambarkan skala makro perkembangan timah di Bangka yang diperebutkan oleh dan antar-aktor pada skala makro. Keterkaitan skala makro-mikro hubungannya dengan kebutuhan dan kepentingan tersebut, diperlihat masih besarnya sumbangan timah bagi dinamika ekonomi politik di Bangka. Data yang ditampilkan adalah data yang sengaja mengambil data tahun 2006. Secara rerata sejak tahun 2002 menempatkan kontribusi timah bagi kepentingan Bangka sekitar 30%.

Selanjutnya meskipun ada kenaikan tingkat pertumbuhan tanpa timah, sebagaimana dicuplik tahun 2006 dan 2007 itu, ketergantungan masyarakat Bangka atas timah memang berkurang, yang diperlihat selisih angka dari 5,80 % dibandingkan dengan 4,47 % tetapi kontribusi tambang ini bagi kehidupan masyarakat Bangka masih sangat tinggi, yaitu 30,58 % Jika membandingkan dengan tahun 2007 hampir tidak mengalami penurunan yang berarti. Artinya, secara sosiologis kebutuhan akan pangan dan lainnya di Bangka masih ditopang oleh timah. tetapi tentu saja bukan dalam pengertian langsung. Maksudnya timah memiliki peran ganda. Timah sebagai pendorong dan pemicu bagi naik-turunnya kebutuhan ekonomi di Bangka.

Tabel 6.6. Analisis Ekonomi Politik Aktor terkait Timah Aktor Landasan Agen dalam Bertindak

AP - rasionalitas dan moral serta keberlanjutan ekonomi AT - rasionalitas dan keberlanjutan ekonomi

Sumber : Data Lapangan (2012)

Jika tabel 6.5 memperlihatkan gambaran masih besarnya kontribusi timah sebagai pemicu perkembangan ekonomi di Bangka maka dengan besarnya

128 sumbangan timah bagi perkembangan ekonomi itu menyiratkan bahwa pada skala mikro kerja ekstra keras bagi AP dalam mengembangkan usaha di luar timah. Betapapun rasionalnya AP setelah melalui kesadaran praktis yang tumbuh dalam kehidupan sehari-hari hingga memunculkan sikap bersama antar-sesama warga tetapi tidak cukup kuat untuk mendukung maupun mengajak mereka beralih ke usaha lain di luar timah.

AP dalam kapasitasnya sebagai aktor sosial di masyarakatnya bersikap sangat rasional dan mempertimbangkan keberlanjutan ekonomi keluarga. Rasionalitas dimaksud adalah terutama mempertimbangkan aspek untung-rugi melalui kesadaran praktis yang dialami bersama warga masyarakatnya. Dalam kasus AP di timah, melalui beragam sisi disorot, dikalkulasikan dan dimatangkan tetapi akhirnya meleset dan bangkrut juga. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar modal AP dipasok melalui teman-teman kolektornya di Muntok. Untuk menggantikan modal yang diivestasikan teman-temannya itu maka AP berupaya menggerakkan seluruh aktivitas TI-nya agar secepatnya diperoleh timah untuk kemudian distorkan ke kolektor/teman-temannya, sebagai pengganti. Tetapi beberapa kali dilakukan penggalian dan telah berganti lokasi tambang beberapa kali tetap saja tidak ditemukan dalam jumlah memadai, sehingga memaksa AP untuk menggantikan seluruh biaya produksi. Situasi berbalik inilah menyebabkan AP terpental keluar dari dunia tambang.

Kondisi tersebut menyadarkan AP bahwa keberlanjutan ekonomi rumah tangga merupakan aspek lain yang juga harus dipertimbangkan tanpa melulu berkonsentrasi kepada timah belaka. Dalam posisi inilah bahwa AP merasa tidak lagi dapat berkonsentrasi penuh dengan logika tambang yang cepat dan rasional. Modal memang dapat dengan cepat kembali jika area penambangan bekas KP timah itu digali. Tetapi tidak selamanya pula area bekas KP timah itu dapat menghasilkan sejumlah besar timah. Di sinilah sikap rasional memainkan perannya.

Pertimbangan paling krusial dari seluruh yang ada , yaitu yang dialami ketika masih di tambang dan keinginan kuat untuk membatalkan setelah diketahui bahwa tindakan apapun yang dilakukan AP di tambang, ditentukan oleh pihak di luar dirinya. AP merasa dirinya tidak dapat berbuat apapun secara mandiri dan merdeka. AP terkooptasi oleh lingkungan eksternalnya di tambang. Kooptasi adalah juga konflik. Otoritas harga ditentukan oleh kolektor meski kemudian AP

129

menjadi kolektor (tanpa izin) juga di kampungnya tetapi kebebasan menetapkan harga jual terhadap hasil tambangnya ditentukan kolektor di atasnya secara berjenjang, begitu seterusnya. Otoritas menentukan lokasi tambang, demikian pula. Meski AP mantan kepala kampung tidak berarti bahwa AP secara bebas dapat menentukan lahan yang diinginkan. Warga dengan kuasa komunitas mempunyai kapling-kapling tertentu di lahan yang tersebar itu, tetapi sebagai bekas kepala kampung dapat saja AP membuktikan lain (datanya yang dimiliki AP jauh lebih lengkap), sehingga sikap warga ini menyebabkan AP mengurungkan niat untuk meneruskan (membuka tambang); dan andaikan AP memaksa juga tentu saja tentu tidak ada yang berani menolaknya.

Kooptasi (yang adalah juga konflik) lain yang justru di luar perhitungan banyak orang adalah, pengakuan masyarakat dengan menempatkan dirinya sebagai aktor (agen sosial) di kampungnya justru membuat AP terpasung di wilayah gagasan. Beragam konflik maupun kooptasi yang dialami AP menyebabkan dirinya terpenjara dan memaksa dirinya untuk lebih berhati-hati dalam bersikap dan menentukan pilihan pekerjaan seusai di timah maupun purna tugas sebagai kepala kampung. Itu pulalah sebabnya pilihan untuk tidak meneruskan ke dunia tambang dan berganti kepada kepentingan alternatif lain seperti nelayan dan tambak seraya meneruskan perkebunan, merupakan pilihan yang menurutnya cukup bijak, adil dan berwibawa; serta sekaligus terbebas dari konflik-kooptasi itu.

Rasionalitas yang dibangun melalui kesadaran praktis mendorong AP untuk mencari alternatif lain. Tidak ada pilihan bagi AP kecuali untuk terus mengembangkan usaha dan tidak tergantung dengan pihak lain. Tetapi usaha tersebut tidak lagi bersentuhan dengan timah namun ekonomi rumah tangga tetap terjaga. Sikap untuk tidak bersentuhan dengan timah sambil mempertahankan ekonomi rumah tangga berjalan seiring dengan tekanan moral yang berkembang akhir-akhir ini

Suatu ketika akan sampai laknat Tuhan jika terus menerus merusak bumi. Kelihatan kaya tetapi kekayaan itu hanya sesaat. Bukti-bukti itu sudah mulai tampak, adakah orang yang mampu mempertahankan kekayaannya melalui timah?

Istilah “laknat Tuhan” nampak sebagai ucapan yang sering muncul dalam

130 dana yang besar tetapi hasil timah yang diperoleh tidak memadai. Bahkan jika dipaksakan akan menguras modal (sebelumnya dari tambang) yang tersisa hingga habis. Dalam pantauan AP meski tidak dapat menunjuk angka pasti, AP meyakini bahwa jumlah itu berkisar 80 % dari total penggali timah.

Sementara AT dalam kapasitasnya sebagai aktor sosial di masyarakatnya juga tidak melulu bersikap rasional. Pilihan-pilihan terkesan rasional-pragmatis terlihat ketika harga timah jatuh13. AT untuk mempertahankan keberlanjutan ekonomi maka mulai berpikir untuk menutup satu dari tiga usaha TI-nya. Merasa tidak kuasa melawan gejolak harga timah dengan tanpa memperhitungkan faktor penyebab mendorong AT menutup TI-nya itu. Jelas sikap pragmatis yang muncul. Juga mengajak mantu (laki-laki) dengan perhitungan upah yang sama persis dengan buruh tambangnya adalah sangat jelas bersifat pragmatis karena dilatar belakangi buat menggantikan AT kelak di timah. Juga mengajak mantu di timah sebagai proses pembelajaran bagi dirinya (mantu), agar tahu bagaimana caranya mengelola aspek teknis pertambangan maupun aspek administratif keuangan dan akhirnya hasil-hasil yang diperoleh adalah untuk kepentingan dan menghidupi keluarga sang mantu, jelas berpikir pragmatis. Tuntutan untuk belajar cepat dan efisien dengan menerjunkan lagsnung atau praktik lapangan. AT dalam analisis ekonomi politik tambang dengan mengedepankan keberlanjutan ekonomi keluarga merupakan pertimbangan pula. AT selain sebagai tokoh di kampung adalah juga sebagai patron dalam keluarga besarnya. Prinsip meniru secara tidak langsung memberikan kuasa kepadanya untuk berbuat lebih dalam-memberi sehingga dri situ AT berharap ditiru atau sekurang-kurang masuk di wilayah gagasan komunitasnya. Itulah sebabnya AT ini adalah

tokoh paling dinamis dan lincah, sebagaimana dikatakannya bahwa “tua itu tidak berarti lemah”. AT ingin mengatakan bahwa di usianya yang sekarang ini maka berbuat baik dan bersedekah.

AT dalam analisis ekonomi politik tambang juga merasakan bahwa tindakannya terkait timah, berada dalam posisi terkooptasi atau konflik. Tetapi konflik dimaksud tidak seberat yang dialami AP. Ada kesepemahaman dengan warga bahwa ngelimbang timah di kampung hanya untuk orang kampung sendiri.

13 Per Juli 2012 harga timah berkisar Rp 60.000 harga ini tidak cukup untuk menutupi ongkos produksi. Ongkos produksi palng besar diserap oleh minyak solar menyusul upah buruh. Kedua komponen ini terus naik. Jika solar di mana saling berkompesisi antar-penambang sementara buruh dikaitkan tenaga terampil yang dimiliki [wawancara dengan AT, 19 Juli 2012].

131

Kebersamaan tersebut baik adanya terutama agar menghindari penyerobotan pihak lain terhadap lahan eksploitasi. Tetapi AT menjadi tidak berdaya ketika, kepada siapa harus menjual dan berapa harganya. Konflik pun terjadi. Kolektor tambang tingkat menengah-atas yang diisi oleh etnis Tionghoa menyebabkan AT tidak kuasa menolak terhadap harga jual yang ditetapkan. Meski AT memiliki informasi yang cukup soal harga jual dari aspek formal karena kedekatannya dengan korporasi tetapi praktik di lapangan membuatnya tidak mampu menolak. Permainan harga selalu terjadi di wilayah kuasa pengetahuan dan gagasan yang melintasi ruang-waktu.