• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi AT dan AP dengan Aktor Negara, Swasta dan Komunitas ketika AT Masih Bertahan di Timah dan AP tidak lagi berada di Timah

KONTESTASI AKTOR DAN ARAH BARU TRANSISI KONSOLIDASI DEMOKRASI DI BANGKA

2. Bentuk Kontestasi dalam Ruang dan Waktu

2.2. Posisi AT dan AP dengan Aktor Negara, Swasta dan Komunitas ketika AT Masih Bertahan di Timah dan AP tidak lagi berada di Timah

Tabel 6.3. menunjuk bahwa relasi AT dengan aktor negara, swasta dan komunitas setelah tahun 2005 tidak terlalu banyak berubah. Relasi AT dengan negara misalnya masih mengikuti aturan-aturan main yang ada dan menjual pasir timahnya pun tetap kepada kolektor yang sama (Ipan). Berdasarkan aktivitas itu sekaligus menunjukkan bahwa dalam periode ini sebenarnya tidak terlalu banyak berpengaruh bagi AT dalam hubungan dirinya sebagai penambang. Kontestasi AT setelah tahun 2005 terjadi ketika pihak swasta (besar) hadir bersama smelter yang izin usahanya dikeluarkan oleh pemerintah daerah/kota Pangkalpinang.

Relasi AT dengan Swasta timah (smelter). Relasi AT dengan swasta timah terutama bagaimana AT bersama warga menolak pemda yang hanya mengizinkan smelter besar dan menutup smelter kecil. Jika melihat lokasi yang cukup jauh yaitu di kota Pangkalpinang (sekaligus ibukota provinsi) sebenarnya

107

AT dan warga tidak terlalu berminat untuk menyoalkannya hingga ke sana. Hal paling mendasar adalah ketersediaan logistik terutama akomodasi makan dan minum serta transportasi. Satu hari saja dapat menghabiskan ongkos hingga Rp 200.000 per orang. Biasanya aksi semacam itu butuh waktu lebih dari sehari. Perhitungan-perhitungan demikian sebenarnya ada dalam diri warga dan AT. Tetapi terkait smelter kecil yang biasanya hanya melayani atau menampung timah dari TI dan warga penambang dalam jumlah kecil; sehingga kalau tidak diberikan izin maka mereka akan kesulitan dalam menjual timahnya. Itulah sebabnya mendorong keikut sertaan mereka ikut mendemo di Pangkalpinang. Tindakan tersebut dilakukan sebagai aksi solidaritas.

Tabel 6.3. Relasi AT dengan Negara, Swasta dan Komunitas Sesudah Tahun 2005

Kampung Aktor Transisi (AT)

Negara Swasta Komunitas

Mayang Tunduk kepada

aturan main yang ditetapkan korporasi tambang Menjual pasir timah ke kolektor Swasta timah Tindakan penolakan bersama warga terhadap kehadiran smelter besar Posisi AT sebagai patron komunitas Patron dalam pengetahuan dan inovasi pertanian Sumber : Diolah dari lapangan, 2012

Relasi AT dengan Komunitas (THA 72 thn). Sementara relasi AT dengan yang lainnya masih tetap sama sesudah tahun 2005 itu. Relasi AT dengan negara, swasta dan komunitas tidak terlalu berubah. Relasi AT dengan komunitas justru makin menguat setelah AT pergi haji. AT sepulang haji selain banyak berada di masjid saat waktu sholat wajib tiba juga yang tak kalah pentingnya adalah kemampuannya berdialog dengan tokoh agama bernama THA. Tokoh THA di Mayang dikenal sebagai tokoh agama sekaligus tokoh masyarakat. Dalam soal agama, THA yang sempat mengenyam ilmu agama di pondok pesantren di Gontor menyebabkan THA sebagai tempat bertanya bagi masyarakat Mayang. Untuk kepentingan itulah AT bertandang ke rumah THA. Padahal selama ini AT adalah orang yang sangat jarang ke luar rumah jika hanya untuk sesuatu kegiatan yang tidak jelas. Kebiasaan AT jika punya waktu

108 luang maka AT lebih baik pergi ke kebun atau melihat TI miliknya yang sedang dikerjakan anak-mantunya.

Dengan THA nampaknya AT ada cocok. Belakangan AT yang lebih sering berkunjung ke rumah THA daripada sebaliknya. THA yang usianya lebih tua sepuluh tahun dari AT sudah tidak dapat lagi berjalan jauh. THA hanya berbaring saja di tempat tidur. Sebagaimana dikatakan selain sebagai tokoh agama THA juga sebagai tokoh masyarakat dan karenanya menguasai banyak hal terutama masalah sosial yang ada di Mayang. Dialog mereka seputar itu. Tetapi bagi AT sendiri bahwa kehadirannya mengunjungi THA sebagai tali „silaturahim‟ yang

diyakni AT sebagai memperpanjang umur. Meski mungkin dalam pandangan warga sebagai upaya AT sendiri untuk memupuk ketokohannya.

Tabel 6.4. Relasi AP dengan Negara, Swasta dan Komunitas sesudah Tahun 2005

Kampung Aktor Pembaru (AP)

Negara Swasta Komunitas

Airputih AP menolak kehadiran negara dikarenakan AP dalam sejarahnya pernah ditolak sebagai kolektor tambang Tidak pernah diajak terkait pembangunan kampung Swasta non-timah AP bersama warga menerima kehadiran PT Mayora (Sawit) Swasta timah AP sebagai patron komunitas AP sebagai

patron dalam hal reklamasi dan pembangunan kampung

Sumber : Diolah dari lapangan, 2012

Relasi AP dengan Komunitas. Tindakan serupa tidak terlalu berbeda dengan AP sebagaimana tabel 6.4 di mana relasinya pun tidak berubah sesudah tahun 2005. Dalam hubungannya dengan memupuk ketokohannya AP pun sering bertandang ke teman-temannya yang berada di kota Muntok maupun di kampungnya sendiri. Berdasar relasi yang dibentuk itu AP kemudian memiliki banyak informasi dari luar melalui teman-temannya yang berada di Muntok. Sebagaimana diketahui bahwa kolektor tambang adalah orang yang mobilitasnya tinggi terutama informasi terbaru khsusnya gejolak harga timah. AP kemudian berdiskusi dan menyerapnya, sambil juga belanja kebutuhan sehari-hari.

109

Informasi yang diperoleh itu sering AP salurkan kepada warga kampungnya sehingga tidak terbantahkan bahwa AP adalah orang yang berpengatahuan luas dibanding warganya.

Relasi AP dengan Aktor Negara. Selanjutnya berdasar tabel 6.4 sesudah tahun 2005 menggambarkan posisi AP dalam kontestasinya dengan negara secara nyata menolak kehadiran negara, meski AP sendiri adalah aktor yang pernah bekerja sebagai aparatus negara. AP dalam tindakannya bersikap sangat rasional dalam hubungannya dengan negara. Bagi AP keterhubungan dan kesetiaannya pada negara sesuai dengan kompensasi gaji (honor) yang AP terima sebesar Rp 27.000 per bulan dan dibayar per-tri-wulan dari BRI yang harus diambil AP di kota Muntok. Setelah AP tidak lagi sebagai aparatus (sebagai Kepala Kampung) maka usai pula keterhubungan sebagai pejabat administrasi dan pemerintahan.

Perihal yang membuat AP berseberangan dengan negara yaitu ketika AP mencoba membuka usaha tambahan dari yang pernah dilakukannya yaitu sebagai kolektor timah. AP memperkirakan bahwa jika dirinya sebagai kolektor maka dengan mudah AP mendapatkan untung besar tanpa perlu bekerja keras sebagaimana dilakukan teman masa kecilnya yang sudah lebih dahulu sebagai kolektor. Untuk tujuan itu maka AP menuju ke kota Jebus (masih satu kabupaten). Pilihan ke kota Jebus menunjuk bahwa AP tidak ingin berkontestasi dengan teman kolektornya di Muntok sehingga andaikan izin diterima maka operasionalnya dilakukan kota itu. Tetapi sayangnya izin tidak diberikan oleh tambang korporasi. Alasan rasionalnya, karena AP tinggal di kecamatan Muntok sementara Jebus memiliki kecamatan sendiri dan jarak keduanya sangat jauh (sekitar 60 Km) meski masih satu kabupaten. Alasan tidak rasionalnya adalah

karena di balik itu ada unsur „suap‟, AP bukanlah tokoh yang bersedia melakukan jalan pintas.

Selain gagal sebagai kolektor timah, AP pun pernah ditolak negara melalui aparatus kampung dalam rangka pembangunan kampung. Aparat pengganti AP tidak terlalu menginginkan kehadiran AP dalam hubungannya dengan sosialisasi kampung melalui anggaran yang dialokasikan melalui dana APBD. Padahal untuk seluk beluk kampung AP sangat mengetahui karena memang AP sendiri pernah menduduki jabatan itu. Bagi AP sendiri tidak masalah jika tidak diajak untuk ikut urun-rembug pembangunan kampung. Bahkan menurut AP, dengan

110 tidak ada dirinya di sana membuat AP lebih leluasa memanfaatkan waktu untuk kepentingan ekonomis lainnya. Padahal bagi warga ketidak-inginan aparatus kampung untuk mengundang AP dalam rangka sosialisasi pembangunan kampung karena dikhawatirkan AP dapat membongkar „permainan‟ yang

dilakukan aparatus kampung yang dianggarkan melalui dana APBD itu. Peluang mark up sangat mungkin terjadi.