• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Penelitian Disertasi

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2. Kerangka Penelitian Disertasi

Di sini, sekali lagi, untuk mempertegas bahwa dialektis menunjuk pada tekanan-lebih kepada dimensi waktu daripada ruang. Dalam masyarakat tambang tentu lebih berkepentingan dengan dimensi waktu daripada ruang sehingga tidak ada yang terabaikan10. Dimensi ini merupakan phantasmagoric

atau “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus ditentukan oleh pengaruh

sosial yang jauh jaraknya dari tempat terjadinya peristiwa itu”; sehingga dalam

hubungan tersebut menjadi sangat perlu penetapan kepercayaan (trust) dalam relasi antar-aktor tambang tanpa perlu mereka bertemu secara fisik.

Dalam praktik pertambangan, dasar-dasar kepercayaan yang disepakati mampu menjembatani keterpisahan antara ruang-waktu. Jadi dengan ditetapkan trust sebagai rujukan keterpisahan memang perlu tetapi hendaknya didukung oleh adanya persyaratan-persyaratan. Persyataran dimaksud, bahwa setiap aktor petambang hendaknya memiliki modal sosial dan pribadi yang cukup, tenaga kerja pembantu untuk menunjuk keaktorannya maupun sistem kelas yang menggambarkan kedudukan aktor tambang yang lebih tinggi dari warga sekitar serta kemampuannya dalam menciptakan perbedaan.

2. Kerangka Penelitian Disertasi

Berdasarkan dua kajian dari Nirzalin (2011) dan Munandar (2011) di atas dan tinjauan pustaka yang digunakan maka sampailah pada fokus penelitian

yang mengusung “Kontestasi Aktor dalam Perebutan Sumberdaya Timah di Bangka” untuk dijelaskan dan dipraktikkan di lapangan serta dilihat kemungkinan hasil-hasilnya. Paling tidak, penelitian ini berupaya untuk mempertanyakan apa yang mau ditawarkan dan bagaimana proses menuju pada tawaran akademik itu? Pastinya, bahwa berdasarkan jenis paradigma saja sudah sangat berbeda. Kedua peneliti tidak secara tegas mengungkapkan paradigma-metodologi apa yang digunakan. Nampaknya apa yang mereka paparkan sebatas paradigma-ilmu (Nirzalin, menggunakan Giddens dengan teori strukturasinya; dan Munandar, menggunakan Bourdieu dengan strukturalis-konstruktivis). Konklusi itupun sebenarnya didapat peneliti setelah menelaah lebih dalam mengenai analisis yang mereka gunakan. Nirzalin misalnya, mengungkapkan penelitiannya

10

Dalam keseharian akan sangat mudah ditemukan, yaitu ketika kita bertanya sesuatu (tentang jarak) di suatu kampung. Katakanlah menuju rumah si A. Orang yang ditanya dengan enteng mengatakan, cukup dengan „sepuluh sedotan/isapan rokok‟ maka akan sampai ke rumah di A tadi. Angka sepuluh isapan rokok menunjuk ketidak jelasan, terlebih bila kita tidak merokok. Namun terpenting dari itu adalah bahwa orang tadi menjelaskan rentang waktu.

22 dengan memaparkan bekerjanya rezim Orde Baru maupun Reformasi terhadap Teungku Dayah melalui analisis struktur-agensi, sedang Munandar melalui struktur-PKS dalam bingkai politik Indonesia melalui analisis strukturalis-konstruktivis. Berdasarkan analisis yang digunakan oleh kedua peneliti bahwa argumentasi metodologis yang gayut dengan fokus tidak ditemukan sehingga melaluinya tidak ditemukan pula di mana posisi penelitian mereka itu sebenarnya.

Meski keduanya sama-sama menekankan aspek aktor sebagai obyek kajian, sama pula dengan penelitian ini yang menekankan aspek aktor yang berkontestasi, namun posisi peneliti dalam penelitian ini sangat jelas menempatkan Teori Kritis sebagai paradigma-metodologisnya. Pilihan pada paradigma ini yaitu selain merupakan rangkaian yang ada hubungannya dengan

aspek „peran‟ struktur juga terkait aktor selanjutnya menuntut peneliti untuk bertindak dan melakukan keberpihakan-keberpihakan (Denzin dan Lincoln, 2009: 124). Dalam penelitian ini dengan sangat jelas menunjukkan keberpihakan peneliti yaitu pada aspek aktor (masyarakat) yang mengarah pada perbaikan dan keberlangsungan lingkungan alam (timah) atau eko-populis.

Penjelasan ini penting karena, sebagaimana dialami Aliran Frankfrut ketika mereka tidak mampu membebaskan kaum buruh dari ketertindasan maka dianggap sebagai sebuah kegagalan. Padahal „manusia adalah makhluk

obyektif‟ yang berarti manusia adalah makhluk yang merealisasikan dirinya dengan mengobyektifkan diri ke dalam Alam (Magnis-Suseno, 1993: 212) sehingga pada titik ini diperlukan pembebasan di mana pembebasan tersebut bersifat emansipatoris. Dengan demikian jika mungkin ada sedikit persamaan dengan Nirzalin yaitu seputar penjelasan tentang struktural belaka sementara teori strukturasi Giddens dengan struktur-agensi sepenuhnya digunakan Nirzalin untuk menjelaskan Teungku Dayah di Aceh. Demikian juga dengan Munandar meski analisisnya menggunakan Bourdieu kesamaannya menyangkut peran negara hubungannya dengan peran aktor sebagai jamaah PKS serta keterlibatan partai dalam perpolitikan nasional.

Perbedaan lain yang ingin diisi dalam penelitian ini adalah, bahwa jika struktur-agensi merupakan tindakan dualitas dalam sistem sosial karya Giddens, yaitu memunculkan agen selalu ada hubungannya dengan struktur, demikian pula dengan struktur selalu ada hubungannya dengan agen. Di kelompokkannya

23

Giddens dalam strukturalis menyangkut tekanannya yang sedikit berlebihan kepada struktur daripada agen (Giddens, 2003: 92) dan karena kegigihan untuk mempertahankan hubungan dialektika yang menjadi kekhasan dari teori strukturasinya. Di sini posisi penelitian Nirzalin (2011) nampak tepat diterapkan. Penelitian Munandar (2011), jika aspek struktur-agensi yaitu antara Jemaah PKS dengan struktur (PKS sebagai partai dan dikonteskan lagi dengan parpol lain) menggunakan teori dari Tilly yang menekankan aspek keterhubungan atau dialektika mirip Giddens tetapi dengan medium tarungnya yang bertingkat. Dalam tingkatan pertama medium tarung antar-aktor dalam ruang tarung partai atau internal; dan berlanjut ke ruang tarung tingkat nasional yaitu di mana PKS saling dikonteskan dengan partai-partai lain.

Penelitian tentang kontestasi aktor dalam memperebutkan sumberdaya timah di Bangka ini menekankan aspek struktur hubungannya dengan agen dan saling membentuk di antara keduanya. Bermula dari sumberdaya timah di Bangka sebagai given. Akibat regulasi setelah reformasi, yang semula tatakelola sumberdaya timah diatur secara monolitas negara dan regulasi demikian merupakan lanjutan dari regulasi atau tatakelola yang dilakukan kolonial. Dikatakan demikian, karena memang Pemerintah Indonesia sama sekali tidak membuat regulasi yang sama sekali baru terutama semangat yang tertuang di dalamnya. Semangat yang muncul adalah semangat pinjaman kolonial yaitu, untuk menambah atau meningkatkan produksi sebesar-besarnya bagi kepentingan negara (state). Dalam upaya mempertahankan semangat tersebut maka ditempatkanlah apatarus negara sebagai penjaga keamanan, yang diarahkan baik terhadap gangguan yang datang dari dalam maupun datang dari luar terhadap bekerjanya produksi dan distribusi tambang. Gambaran ini tidak berubah hingga menjelang reformasi.

Dalam kebijakan tatakelola tersebut baik masa kolonial maupun rezim Orde Baru adalah sama, yaitu memposisikan masyarakat sekitar tambang hanya sebagai masyarakat sekitar tambang itu belaka. Kehidupan mereka sama sekali tidak diperhatikan. Bahkan kapling lahan yang sedianya sebagai survival kehidupan masyarakat (lokal) pun harus tersingkir manakala kapling lahan tersebut masuk dalam Kuasa Penambangan (KP) timah. Kuatnya otoritas negara melalui korporasi tambang hampir tidak memberikan ruang kehidupan bagi masyarakat sekitar. Masyarakat (lokal) hanya sebagai penonton atas timah.

24 Paparan atau penjelasan sudah berjalan lebih dari tiga abad lamanya. Semangat yang tumbuh adalah semangat yang menempatkan masyarakat seperti asing di sosiokultural mereka sendiri.

Bagan 2.1

Kerangka Pemikiran Disertasi Keterangan: N : Negara S : Swasta K : Komunitas AT : Aktor Transisi AP : Aktor Pembaru

Kondisi tersebut berubah setelah rezim Orba jatuh dan diganti dengan rezim pascaOrba atau dikenal dengan reformasi itu. Monolitas negara yang begitu kuat mengatur tatakelola tambang berubah menjadi multilitas dengan hadirnya UU Otonomi Daerah dan desentralisasi yang memberikan ruang yang lebih lebar

Arah Baru

TRANSISI KONSOLIDASI DEMOKRASI di Bangka SUMBERDAYA TIMAH