• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pertambangan di Indonesia dan Dunia

PETA POLITIK TATAKELOLA SUMBERDAYA TIMAH DI BANGKA

2. Gambaran Pertambangan di Indonesia dan Dunia

2. Gambaran Pertambangan di Indonesia dan Dunia

Kondisi ekologi politik pertambangan di Indonesia dan di dunia begitu berbeda bahkan tidak berkaitan sama sekali. Tabel 4.1 menggambarkan dengan jelas perbedaan-perbedaan tersebut. Perbedaan yang berkenaan dengan kondisi

33

ekologis suatu negara mencerminkan jenis, kuantitas dan kualitas kandungan bahan atau material tambang yang tidak sama.

Tabel 4.1. Perbedaan Pertambangan di Indonesia dan Dunia

Dimensi Perbedaan Industri Pertambangan

Indonesia Dunia

Bentuk Kepulauan Daratan

Iklim (curah hujan) Tinggi Rendah

Teknis eksplorasi pengeboran

Relatif dangkal Sangat dalam

Jarak ke pemukiman Dekat dan bagian dari masyarakat lokal

Sangat jauh dan terisolir dari masyarakat lokal Resiko dan biaya

keselamatan

Sama-sama beresiko/tinggi dan biaya belum memenuhi standar keselamatan

Sama-sama

beresiko/tinggi dan biaya keselamatan sesuai SOP Upaya mengatasi

dampak

Lebih sulit Relatif mudah

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Merujuk dimensi bentuk [negara] misalnya Indonesia adalah negara kepulauan. Negara berbentuk negara kepulauan maka gambaran akan industri pertambangan pun jelas mengikuti dan menyesuaikan dengan ketersediaan bentuk-bentuk kepulauan. Kepulauan dengan komposisi 1:3 di mana daratan 1 dan lautan 3 menunjuk bahwa lautan mengelilingi daratan dengan pulau-pulau yang tersebar dilingkari laut. Inilah yang membedakan dengan pertambangan di dunia yang umumnya berada di daratan. Perbedaan topografi dan lokasi berdampak pada kerja teknis maupun proses dalam dunia pertambangan yang memang berlainan. Tidak itu saja, iklim dan terutama curah hujan yang tinggi di Indonesia membawa serta perbedaan terkait curah hujan tadi. Sekurang-kurangnya dampak buangan yang selalu menyeret aspek lingkungan maupun kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar tambang (Kemeneg LH, 2011). Meski secara teknis operasional bahwa tambang di Indonesia relatif dangkal sehingga dengan demikian tidak terlalu menuntut biaya operasional tinggi namun menjadi berbanding terbalik jika mendasarkan pada kedekatan jarak dengan pemukiman. Perihal ini maka biaya sosial (social cost) hampir dipastikan

34 membawa implikasi ekonomi biaya tinggi, bahkan menjadi tidak terkirakan ketika dimensi politik dengan beragam kepentingan terlibat; sehingga semakin menjauh dari proses penyelesaian1.

Sejak dikeluarkan pertama kali2 regulasi pertambangan akhir tahun 1967 negara menempatkan dirinya sebagai majikan. Padahal posisi ini implisitnya menunjuk pada ketidakmampuan negara dalam menyediakan sumberdaya manusia yang handal, pendanaan yang memadai dan proses pengolahan yang ramah lingkungan terkait teknologi tinggi yang akan digunakan berikut resiko-resiko yang ditimbulkannya. Dalam konteks ini justru tidak diiringi dengan pemenuhan biaya yang sesuai standar keselamatan3. Bahkan untuk sesuatu kebijakan yang sesuai aturan tertulis sekalipun, misalnya, disimpangkan begitu rupa tanpa ada sanksi tegas manakala semua persoalan dapat diselesaikan melalui prosedur yang tidak semestinya.

Kondisi demikian sejalan dengan posisi negara sebagai majikan tadi dimana aparat yang menjaga bertindak represif dalam kerangka mengamankan aset-aset strategis negara terhadap masyarakatnya. Artinya, nyawa manusia Indonesia sendiri ketika berhadapan dengan negaranya menjadi sangat murah dibanding dengan dunia. Jika mediasi dilakukan melalui lembaga arbitrasi misalnya namun diujung terakhir tetap saja merugikan kelompok pekerja. Demikian pula dengan dampak ditimbulkan. Sebagaimana telah dipaparkan sedikit di atas bahwa, dampak yang ditimbulkan terkait dari bentuknya yang bersifat kepulauan diikuti rendahnya kualitas sumberdaya maka dalam memahami dampak menyebabkan penyelesaiannya jauh lebih sulit dari yang diperkirakan. Ada kesan negara justru

1

Meskipun setiap perusahaan pertambangan diwajibkan mereklamasi maupun penetapan CSR (corporate social responsibility) untuk dan atas nama kesejahteraan masyarakat sekitar tambang tetapi tetap saja gejolak hubungan perusahaan dengan masyarakat lokal tidak menemukan kata sepakat. Kasus PT Freeport-Papua, PT Newmond-Sulawesi Utara dan NTB adalah contoh klasik. 2

Dimaksud dengan pertama kali adalah bentuk undang-undang yang sangat progresif karena tidak lagi berkutat soal ideologis-politis melainkan memasuki wilayah ideologis-ekonomis. Tetapi jika dimaksud dengan pertama kali dalam mengatur pertambangan maka Indonesia sejak merdeka secara politik tidak pernah menelorkan undang-undang pertambangan baru (kecuali pembentukan lembaga dengan nama Jawatan Tambang dan Geologi tanggal 11 September 1945 dan itupun hanya merubah dari Chisitsu Chosajo). Undang-undang pertambangan telah dibedakan sejak awal (lihat catatan kaki 4 Bab IV) dan keduanya berhenti pada UUD 1945 Pasal 33 Tetapi roh undang-undang pertambangan itu mengambil undang-undang-undang-undang kolonial yaitu Indonesische Mijnwet tahun 1907 sekaligus menempatkan negara untuk tidak terlibat sepenuhnya di dunia pertambangan kecuali hanya sebagai pengatur, pembimbing dan pengawasan pertambangan (A. Penjelasan Umum, dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UURI No.37 Tahun 1960 tentang Pertambangan). Bahkan menurut Siti Maimunah (lihat catatan kaki 3 Bab VII) sudah dimulai tahun 1850

3 Penjelasan ini ditegaskan dalam konsideran menimbang UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), diundangkan tanggal 10 Januari 1967 Kemudian beberapa perubahan undang-undang termasuk UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, diundangkan tanggal 12 Januari 2009 menguatkan posisi negara terkait pertambangan.

35

gagap dan sedang mencari-cari bentuk penyelesaian yang tepat tanpa pernah belajar bagaimana penyelesaian yang sesungguhnya.

2.1. Karakter Pertambangan di Indonesia

Pemodal siapapun ketika menanamkan investasinya di negara manapun selalu berupaya memaksimalkan keuntungan secara cepat dengan strategi seefektif dan seefisien mungkin. Prinsip dasar semacam ini sudah menjadi bagian dalam struktur kapitalisme modern dan sebagai langkah strategis buat mengembalikan modal, menyelamatkan aset serta buat pengembangan usaha lebih lanjut. Tindakan semacam itu terjadi ketika negara tujuan sangat lemah

dalam infrastruktur sehingga karenanya justru „menata‟ regulasi yang ada dengan berpihak kepada pemodal. Indonesia tanpa kecuali. Lemahnya peran negara dan tidak memiliki konsistensi, kualitas dan pengalaman terkait regulasi pertambangan seiring dengan lemahnya keterampilan pengelolaan negara di seluruh struktur birokrasinya, tanpa disadari justru sebagai pembentuk karakter pertambangan di Indonesia. Beragam karakter tersebut dirumuskan secara sederhana dalam Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Karakter Pertambangan di Indonesia Karakter Pertambangan Industri pioner

Bahan dan sifat kegiatan sementara (tidak tergantikan dan berlangsung dalam jangka waktu terbatas)

Izin bersifat rente

Aspek lingkungan menyebabkan air tercemar dan habis Teknologi tinggi

Membawa alat pemaksa

Penggerusan hak (penggusuran hak dan lahan) Buruh murah dan kontrak

Berorientasi ekspor Sumber:Kompilasi

Tidak dipungkiri bahwa karakteristik industri pertambangan di Indonesia -- di luar pertambangan timah -- adalah jenis pertambangan galian yang tumbuh sesudah tahun 1967 Merujuk dimensi waktu maka dapat ditetapkan bahwa

36 industri pertambangan sebagai industri yang tergolong pioner. Artinya tidak ada jenis pertambangan lain manapun yang bersifat galian yang mendahului. Bentuknya berupa bahan atau mineral galian yang merupakan salah satu komponen tambang yang diambil dari dalam perut bumi yang tidak dapat diperbaharui. Jika bahan galian tersebut dinyatakan habis maka musnah pula bahan dimaksud. Tidak ada teknologi manapun yang mampu mengembalikannya ke dalam bentuk dan kualitas yang serupa. Selain itu jenis bahan galian ini bersifat jangka pendek dan masa eksplorasi terbatas senyampang dengan ketersediaan deposit dalam perut bumi yang terhitung dalam satuan jumlah.

Di era pascaOrba, meski dalam regulasi pertambangan memungkinkan pemerintah termasuk pemerintah daerah dapat mengelola sendiri tetapi berkenaan dengan modal usaha yang terbatas, kualitas birokrasi dan pengambil kebijakan yang bersifat pemburu rente maka dengan berbagai alasan pengelolaannya pun dapat beralih kepada pihak pemodal. Implisitnya pemerintah termasuk pemerintah di daerah tidak terlalu mendapatkan hasil memadai jika pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat atau koperasi4. Oleh karena itu nampak pemerintah lebih cenderung memberikan prioritas kepada pemodal dan melaluinya (pemberian izin) pemerintah mendapatkan hasil. Tanpa perlu bekerja keras pemerintah melalui aparatus birokrasi melakukan berbagai regulasi berupa pajak, royalti atau lainnya tanpa mau mengambil resiko apapun terkait dampak yang ditimbulkannya. Lembaga kontrol negara atau pemerintah seperti dewan perwakilan pun ternyata dengan karakter yang sama. Dalam artian bahwa, yang seharusnya posisi dan fungsinya sebagai representasi masyarakat yang ditunjukkan melalui pengawasan, penganggaran dan legislasi tetapi yang terjadi adalah kegamangan sikap.

Tidak mustahil kemudian ketika terjadi ketegangan dan konflik antara negara dan masyarakat (lokal) tambang maka dengan sangat sigap negara memposisikan diri sebagai lawan atas masyarakatnya sendiri. Aparatus kendali massa diturunkan buat mengamatkan dengan dan atas nama aset negara. Disinilah terlihat negara tidak dalam upaya melindungi warganya. Tidak saja terhadap perebutan sumberdaya agraria melainkan juga dampak pencemaran

4 Undang-undang No. 12 Tahun 1967 tentang Perkoperasian. Undang-undang dihadirkan apakah sebagai suatu kebetulan diletakkan sesudah UUPMA dan sebelum UU Pertambangan. Diundangkan tanggal 7 Juli 1967 sehingga beberapa undang-undang sesudahnya selalu memunculkan koperasi sebagai suatu unit usaha, di samping masyarakat dan swasta.

37

yang ditimbulkannya. Selain, yang tak kalah mengkhawatirkan yaitu dengan menempatkan warga sebagai pemasok buruh dengan gaji di bawah UMR (Upah Minimum Regional) dan sistem kontrak di setiap wilayah pertambangan. Terakhir, adalah upaya negara terkait tambang selalu berorientasi ekspor, adalah juga sebagai langkah evaluasi dan menggerus keterlibatan masyarakat terhadap komoditas tambangnya.

2.2. Sejarah Pertambangan Timah di Bangka

Pertambangan timah di Bangka hadir jauh sebelum Indonesia dinyatakan sebagai sebuah negara berdaulat. Pertambangan tersebut beroperasi di atas bentangan cadangan timah sejauh 800 km atau disebut sebagai The Indonesia

Tin Belt yang merupakan bagian The South East Asia Tin Belt yang membujur

lebih dari 3000 km dataran Asia ke arah Thailand, semenanjung Malaysia dan Indonesia mencakup wilayah pulau-pulau Karimun, Kundur, Singkep terus ke selatan pulau Bangka, selat Karimata, Belitung hingga barat Kalimantan. Kehadiran pertambangan ini sejalan dengan industri rokok, penggilingan tebu dan industri perkebunan lain di Jawa dan di pesisir Sumatera Timur. Di Bangka saja eksplorasi tambang tersebut telah dimulai tahun 17115, seabad kemudian Singkep 1872 menyusul Belitung tahun 1852. Penggalian dilakukan secara besar-besaran oleh pengusaha Belanda yang tergabung dalam VOC sejak tahun 1720 dan kemudian memonopoli serta mengawasi pertambangan di Bangka. Oleh karenanya dalam kapitalisasi perdagangan dunia masa itu, negara sebagai pelaku tunggal dengan tujuan pencapaian optimalisasi produk. Dalam kerangka itu pulalah maka infrastruktur dan regulasi dibangun. Seluruh upaya itu diorientasikan pada optimalisasi dan percepatan pencapaian hasil melalui cara-cara yang mengenyampingkan dan mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan.

Tidak berhenti sampai disitu. Sekitar satu abad berikutnya tahun 1816 pemerintah Belanda mengambil alih semua pengolaan pertambangan di Bangka dan disatukan dalam satu pengelolaan yang disebut Banka Tin Winning Bedrijft

5 Tidak ada kesepakatan. Pilihan tahun 1711 ini merupakan “jalan tengah” ketika Sultan Palembang memerintah orang-orang Melalyu dan Cina untuk menambang timah di Bangka. Semula ada yang menyebut tahun 1708 dan ada pula tahun 1710, sehingga ditarik angka terakhir saja, tahun 1711. Lihat Erwiza Erman, dalam cacatan kaki, Kesenjangan Buruh Majikan, Sinar Harapan, Jakarta, 1995 hlm 65. Sementara ada pula yang menyebut tahun 1710 bermula dari ketidaksengajaan ketika ada rumah yang terbakar. Dalam William Marsden, Sejarah Sumatra, Komunitas Bambu, Jakarta, 2008 hlm. 159. Dari data PT TimahTbk sendiri menyebut tahun 1709 di sungai Olim, Toboali, Bangka Selatan (sekarang), tetapi dalam dokumennya mereka selanjutnya menyepakati tahun 1711

38 (BTW); sedang untuk Singkep dan Belitung diserahkan kepada pihak swasta Belanda yaitu kepada Gemenschappelijke Mijnbouw Maatchappij Biliton (GMB)

dan NV Singkep Tin Exploitatie Maatchappij (NV SITEM). Dalam rentang

sejarah itu pula -- meski Indonesia telah merdeka secara politik tahun 1945 -- pengelolaannya pertambangannya masih dalam manajemen Belanda hingga tahun 1960. Dalam pengelolaan itu ketiga wilayah diatur dengan regulasi berbeda dan berdiri sendiri. Bangka dikelola oleh badan usaha milik pemerintah Belanda, sementara Belitung dan Singkep oleh pengusaha swasta Belanda.

Status kepemilikan usaha ini menunjuk atau memberikan ciri manajemen dan organisasi yang berbeda termasuk struktur dan budaya kerjanya. Tonggak ini kemudian dijadikan patokan pertama yang memisahkan kepada masa-masa berikutnya, yaitu tonggak kedua yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sendiri. Meski sudah dalam pengelolaan pemerintah tetapi ketiga wilayah produksi masih meneruskan manajemen dan organisasi Belanda yang terpisah dan berdiri sendiri. Bedanya, ketiga wilayah produksi masuk dalam satu bentuk Perusahaan Negara (PN) berdasarkan Undang-undang Nomor 19 PRP tahun 1960 dengan nama PN Tambang Timah Bangka, PN Tambang Timah Belitung dan PN Tambang Timah Singkep.

Berdasar PP Nomor 87 tahun 1961 ketiga perusahaan negara itu oleh pemerintah dirangkum dalam satu Badan Pimpinan Umum Perusahaan Tambang-tambang Timah Negara (BPU Tambang Timah). Pengelolaannya dijalankan mirip holding company. Pada tahun 1968 ketiga PN dan BPU ditambah Proyek Pabrik Peleburan Timah Mentok dilebur menjadi satu dalam bentuk PN Tambang Timah terdiri dari Unit Penambangan Timah Bangka, Belitung, Singkep, dan Unit Peleburan Timah Mentok (Unit Peltim). Belakangan Peltim ini diubah namanya menjadi Pusmet (Pusat Metalurgi). Dalam rangka memberikan keleluasaan dan menghadapi persaingan ekonomi tahun 1976 diubah menjadi persero yaitu PT Tambang Timah (Pesero) dengan Bangka, Belitung, Singkep dan Peleburan Timah Mentok tetap sebagai unit kegiatan operasi yang masing-masing dipimpin oleh Kepala Unit dan kantor pusatnya berada di Jakarta. Tetapi menjelang tahun 1990 sebagai akibat krisis dan harga timah jatuh dipasaran dunia menyebabkan kantor pusatnya dipindahkan ke ibukota provinsi di Pangkalpinang untuk efisiensi.

39

3. Monolitas Negara dalam Tatakelola Sumberdaya Timah menuju Multilitas