• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi AT (62 thn) dan AP (54 thn) dengan Aktor Negara, Swasta dan Komunitas ketika masih di Timah

KONTESTASI AKTOR DAN ARAH BARU TRANSISI KONSOLIDASI DEMOKRASI DI BANGKA

2. Bentuk Kontestasi dalam Ruang dan Waktu

2.1. Posisi AT (62 thn) dan AP (54 thn) dengan Aktor Negara, Swasta dan Komunitas ketika masih di Timah

Sebagaimana dijelaskan dalam pengantar di atas bahwa baik AT maupun AP bahwa keduanya tidak saling berkontestasi. Dalam praktiknya mereka justru

99

berkontestasi dengan negara, swasta dan komunitas. Pilihan atau bentuk-bentuk kontestasi AT dan AP dengan pihak-pihak di luar mereka memang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut sesuai dengan ideologi mereka masing-masing dan belakangan perubahan ideologi yang dianut AP setelah tahun 2005 itu merupakan bagian dari penjelasan ini.

Relasi AT, Aktor Negara dan taat pada Aturan. Tokoh AT yang bertempat tinggal di kampung Mayang sesungguhnya adalah aktor yang patuh dan tunduk kepada aturan yang dikeluarkan negara melalui Tambang Korporasi. Sikap yang terbentuk ini sebenarnya bukan sikap yang muncul mendadak. AT jauh sebelum eforia timah, tepatnya menjelang reformasi, adalah aktor yang sudah pernah bekerja di Tambang Karya (TK) milik orang lain. Perkerjaan itu ditempuh AT setelah yang bersangkutan diberhentikan dari Tambang Korporasi sebagai akibat rasionalisasi karyawan. Berhentinya AT dari korporasi dan masuk ke TK justru memberikan gambaran bahwa pilihan pekerjaan yang dilakukan AT bukanlah sama sekali baru baginya. Saat bekerja di kapal keruk “Rambat” pun AT

diposisikan sebagai ahli tafsir kualitas timah di dalam tanah. Meski sudah ada alat yang secara khusus mampu mendeteksi timah dengan kedalaman tertentu di dalam tanah tetapi tetap juga diperlukan mata-telanjang untuk memastikan saja kualitas dan letak timah. Selain, kepastian tambahan yang digunakan melalui alat sederhana yang disebut chiam.

Keahlian semacam inilah yang tidak dimiliki oleh pekerja tambang lainnya. Berdasarkan itu pulalah maka, ketika AT diberhentikan dari Tambang Korporasi, tidak terlalu sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan baru lain terlebih jika pekerjaan dimaksud berkaitan dengan timah. Walaupun dalam realitasnya AT sempat pula nganggur1 -- dalam masa-masa itu AT memanfaatkan keahliannya berkebun dan berladang – hingga rezim Orba membuka peluang bagi mitra tambang. Mereka yang bermitra umumnya etnis Tionghoa, yaitu dengan membuka Tambang Karya (TK) dan AT bekerja di TK milik baba ACN (75 thn)2. AT tidak lama bekerja di sana. Selebihnya AT membuka TK sendiri. AT bekerja

1

Pada masa sekitar awal tahun 1990-an kondisi timah dunia jatuh dan biaya operasional PT Timah terlalu besar sehingga terjadi proses pemberhentian karyawan. Gejolak timah mendorong perusahaan melakukan rasionalisasi menyebabkan perekonomian Bangka ikut melemah. Jadi tidak dipungkiri jika ekonomi Bangka sangat tergantung harga timah. Zulkarnain et.al. Konflik di Kawasan Pertambangan Timah BangkaBelitung: Persoalan dan Alternatif Solusi. LIPI, 2005. hlm. 64

2

Baba Acun adalah teman lama AT di PT Timah. Baba Acun yang sama-sama diberhentikan kemudian membuka TK (Tambang Karya). Baba Acun tinggal di lap 3 jalan Raya Muntok-Pangkalpinang.

100 di TK milik baba ACN hanya untuk „belajar‟ mengikuti alur barang (timah) dan

uang. Setelah tahu jalur, yang ternyata berhubungan dengan Tambang Korporasi, maka AT mulai menjalin hubungan dengan aktor yang ada di Tambang Korporasi. Hubungan-hubungan ini oleh AT terus dibina dengan baik hingga kemudian berkembang lebih lanjut setelah reformasi dalam bentuk Tambang Inkonvensional (TI) itu.

Adapun prinsip kerja yang dapat dipetik AT dari hubungan-hubungan dengan aktor yang ada di Tambang Korporasi, yaitu soal legalitas-formal. Tanpa legalitas bekerja menjadi tidak produktif dan tidak nyaman.

Tidak boleh bekerja di tambang tanpa ada surat izin dari tambang korporasi. Tanpa izin, kerja tidak tenang karena sewaktu-waktu ada razia. Kalau sampai tertangkap maka untuk mendapatkan kembali alat produksi dan hasil produksi harus mengeluarkan uang tambahan (suap). Selain itu, timah tidak ada yang berani beli jika tanpa surat izin. Jika sudah begini urusan jadi panjang dan berbelit-belit [wawancara dengan AT, 31 Juli 2012].

Berdasarkan pengalaman itulah AT bekerja dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Tambang Korporasi sehingga TK milik AT adalah tambang satu-satunya di kampung Mayang yang memiliki izin usaha penambangan. Belakangan, izin usaha tambang milik AT sudah habis masa berlaku tahun 2008 lalu. Masa berlaku izin usaha adalah 5 tahun dan selebihnya harus diperpanjang kembali. AT telah berusaha memperpanjang tetapi karena situasi belum memungkinkan maka izin usahanya belum terbit. Aktivitas penambangan yang dilakukan AT saat ini hanya berdasarkan izin lisan dari Pemda Bangka Barat.

Izin usaha penambangan sangat penting bagi mereka yang memang menghendaki usahanya aman dari berbagai gangguan terutama oknum ketertiban maupun satpol PP serta tentara. Tanpa izin maka oknum ketertiban dapat meminta sekitar Rp 2500 per kg timah dari timah-basah. Jika rerata timah yang dihasilkan TI sekitar 20-30 kg per hari maka seorang oknum ketertiban tersebut dapat membawa pulang sekitar Rp 50-75.000 per TI. Padahal dalam satu area atau sekitar 100 hektar wilayah penambangan dapat diisi oleh lebih

dari 100 TI. Jadi kalau oknum tersebut “rajin” turun dan memasuki semak

belukar maka dapat memperoleh uang sekitar hampir satu juta rupiah. Bagi AT tentu tidak seperti aktor tambang lain. Jejaring AT yang karena keaktorannya

101

memungkinkan AT berkenalan dengan pihak keamanan yang lebih tinggi bahkan hingga ke tingkat provinsi.

Tabel 6.1. Relasi AT dengan Negara, Swasta dan Komunitas sebelum Tahun 2005

Kampung Aktor Transisi (AT)

Negara Swasta Komunitas

Mayang Tunduk kepada aturan main yang ditetapkan korporasi tambang Menjual pasir timah ke kolektor Swasta non-timah AT bersama warga melakukan penolakan terhadap kehadiran PT GSBL (sawit) Swasta timah Resiprositas dalam menarik keuntungan Posisi AT sebagai patron komunitas Patron dalam pengetahuan dan inovasi pertanian

Sumber : Diolah dari lapangan, 2012

Tabel 6.1 menjelaskan bagaimana AT dengan tambang yang dimiliki tentu dapat dengan mudah menjual timahnya kemana pun AT inginkan. Dengan izin yang AT miliki dapat mempermudah untuk bertransaksi. AT tidak mungkin menjualnya kepada pihak lain di luar kolektor yang ditunjuk. Setiap kolektor adalah orang yang dianggap sebagai mitra Tambang Korporasi dan mereka dalam mengumpulkan timah dari masyarakat dibekali surat izin usaha yang dikeluarkan oleh Tambang Korporasi. Persoalannya adalah bagaimana cara mendapatkannya? Untuk mendapatkan itu yaitu, selain mempunyai hubungan baik dengan aktor korporasi adalah juga memiliki modal yang cukup. Modal tidak saja menyangkut kesiapan uang untuk membeli timah dari TI melainkan juga ketika timah disimpan (maksimal satu minggu) sebelum dikirim ke Tambang Korporasi. Faktor terberat bagi seorang kolektor adalah syarat penetapan/kepastian pasokan timah bagi Tambang Korporasi. Jadi semacam sistem target3. Andaikan kolektor gagal dalam memenuhi target yang telah

3

Dalam pemberian izin usaha sebagi kolektor, Tambang Korporasi menetapkan per kolektor per minggu katakanlah 500 ton. Angka ini dituangkan dalam MOU dan dibuat dalam bentuk tertulis. Kegagalan kolektor dalam memenuhi persyaratan itu dapat menyebabkan dirinya terkena pinalty. Biasanya kolektor menyiasati dengan cara menumpukkan di gudang bila kelebihan stock dan distor ke Tambang Korporasi dalam jumlah yang tetap sesuai perjanjian per minggu. Siasat ini dibaca aparat untuk merazia mereka sehingga transaksi di bawah tangan pun terjadi.

102 disepakati maka kolektor tersebut akan terkena peringatan (hingga maksimal tiga kali) dan setelah itu kolektor tersebut di-pinalty.

Relasi AT dengan Aktor Swasta non-timah sebetulnya berkontestasi terutama dengan Korporasi Sawit. Ada dua masalah pokok yang menyebabkan hubungan AT bersama warga berkontestasi dengan pihak perkebunan. Pertama, soal perebutan lahan sebagaimana dipaparkan dalam Boks 5.2sementara faktor kedua menyangkut ketersinggungan warga akibat dari janji pihak perkebunan untuk melakukan sistem penaman inti-plasma diawal ketika perkebunan itu membuka usahanya. Perusahaan mengajak warga sekitar termasuk Mayang dengan menempatkan warga sebagai plasma dan perusahaan perkebunan sebagai inti. Namun setelah berjalan hampir setahun dan tanaman sawit mulai kelihatan tumbuh, janji tersebut tidak juga direalisasikan. Perusahaan justru memperbanyak tenaga keamanan (preman) yang didatangkan dari kampung lain (Air Belo) untuk menjaga perkebunannya.

Langkah yang dilakukan pihak perkebunan itulah yang dianggap warga Mayang sebagai tidak tepat dan terkesan menantang. Perusahaan bukannya merealisasikan janji melainkan menambah tenaga keamanan. Sikap memecah belah inilah yang memicu ketegangan antara warga dan perusahaan4. Warga menyebutnya sebagai pelanggaran janji dianggap sebagai pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia). Berdasarkan inilah warga atau tepatnya pemuda Mayang mendatangi AT dan meminta AT untuk memobilisasi tokoh lainnya di Mayang buat mempertanyakan kebijakan perusahaan. Hadirnya warga dan AT di perusahaan sawit itu dianggap sebagai demonstrasi/penyerbuan. Memang ada sikap heroik di dalamnya terutama ketika warga Mayang berhadap-hadapan dengan preman perusahaan, sementara manajemen perusahaan tidak keluar buat menemui mereka. Beberapa kali dilakukan negosiasi tetapi pada intinya memang perusahaan sama sekali tidak membuka perkebunan dengan sistem inti-plasma (lihat lampiran 3).

Sejak usaha penyerbuan itu gagal (tidak dilakukan) maka sejak itu terputus hubungan antara perusahaan dengan warga Mayang. Bagi peneliti langkah

4

Dengan menambah tenaga keamanan dari kampung tetangga (Airbelo) juga tidak menyelesaikan masalah. Pasalnya hubungan dengan Airbelo tidak dalam posisi yang baik. Hubungan kedua kampung selalu dalam situasi „siap siaga‟. Tidak tahu apa penyebabnya tetapi menurut para tetua kampung (penafsiran orang Mayang) bahwa Airbelo itu adalah orang kota (kekota-kotaan) sementara Mayang adalah „kampung‟ alias pelosok. Menempatkan tenaga keamanan dari Airbelo dapat ditafsirkan bahwa perusahaan sedang bermain api atau politik adu-domba. Padahal PT GSBL itu membentang dari kampung Airbelo, Mayang hingga Pelangas.

103

perusahaan itu kurang strategis. Meski belakangan pihak Korporasi Sawit memberikan CSR kepada warga Mayang seperti pelayanan kesehatan dan asupan gizi bagi ibu-ibu hamil memang dapat meredakan ketegangan tetapi isu pokoknya belum tuntas. Dengan kata lain, perusahaan justru „memelihara‟

masalah dan penyelesaian yang dilakukan ibarat ”api dalam sekam”. Kembali ke pokok permasalahan bahwa sistem inti-plasma dipahami warga sebagai pekerjaan yang rutin dilakukan, mirip kerja kantoran dengan waktu kerja tetap. Warga merasa dapat disebut „telah‟ bekerja apabila mendapatkan gaji bulanan dan berbagai fasilitas lain sebagai pekerja tetap di perusahaan dibandingkan dengan bekerja sebagai pekebun atau peladang.

Relasi AT dengan Aktor Swasta timah. Dalam praktik sosial bahwa AT menjalin hubungan yang baik dengan swasta timah. Timah sebagai objek usaha diperlakukan sama antara AT dengan swasta timah (dalam hal ini adalah kolektor kecil hingga besar). Hubungan mereka sangat kentara dengan menempatkan timah sebagai usaha untuk sama-sama mencari keuntungan (lihat selanjutnya dalam jejaring sosial AT). Dalam konteks ini terkesan bahwa AT maupun swasta timah terdorong untuk memaksimalkan keuntungan, sehingga setiap dari mereka

memposisikan diri untuk mendapatkan „harga‟ pasar yang cocok dan timah dijual kepada mereka yang memberikan harga lebih tinggi? Tidak demikian. Dasar keuntungan dalam relasi AT dengan swasta timah tetap ada tetapi dibalut kebersamaan dan kesetiaan yang sudah terbina lama di antara mereka. “Asal untung” itu sudah cukup. Dasar ini sudah dapat menjelaskan bahwa relasi

mereka tidak bakal tergoyahkan dengan hanya iming-iming „harga bebas‟ yang ditawarkan pihak lain. Relasi AT dan swasta timah bukanlah petualang hanya untuk mendapatkan harga sedikit lebih tingga tetapi mengorbankan hubungan di antara mereka.

Relasi AP, dengan Aktor Negara dan Aturan Main. Berbeda dengan AT di Mayang, tokoh AP tidak terlalu memperhatikan dengan sistem dan aturan main yang ditetapkan oleh Tambang Korporasi. Dengan sistem kontrak-kerja yang dilakukan AP dengan pihak luar maka segala persoalan yang berkaitan dengan

timah sama sekali tidak masuk dalam „urusan‟ AP. Sikap ini dipilih AP sebagai

pilihan karena AP tidak ingin dipusingkan dengan urusan aturan main yang ada di timah (Tambang Korporasi). Tetapi tidak berarti pula bahwa AP sebagai orang tidak mengerti sama sekali tentang aturan main. Tidak tertutup kemungkinan AP

104 justru mengetahui lebih banyak sehingga karena dengan pengetahuan itu pula yang mendorongnya untuk dapat memilah mana yang dikerjakannya dan mana pula yang harus dilakukan oleh pihak diluar diri AP. Kelihatannya pilihan ini sebagai tindakan berbentuk pembagian kerja belaka, sehingga masing-masing pihak yang terlibat dapat berkonsentrasi dengan pekerjaan mereka dan tidak saling mengganggu.

Tabel 6.2. Relasi AP dengan Negara, Swasta dan Komunitas Sebelum Tahun 2005

Kampung Aktor Pembaru (AP)

Negara Swasta Komunitas

Airputih Bersikap ambivalen dalam penjualan pasir timah Ada kecurigaan terhadap kolektor Swasta non-timah AP bersama warga menerima kehadiran PT Mayora (Sawit) Swasta timah AP sebagai patron komunitas AP sebagai

patron dalam hal reklamasi dan pembangunan kampung

Sumber : Diolah dari lapangan, 2012

AP dalam praktiknya sebagai penambang hanya berkonsentrasi/berfokus pada teknik menambang dan bagaimana caranya untuk mendapatkan hasil yang baik dan memuaskan. Bekerja dengan sistem kejar target. Oleh karena itu bisa saja dalam sistem tersebut AP gagal memenuhi target yang telah ditetapkan oleh kolektor. Tetapi karena kedekatannya dengan kolektor sekaligus peminjam uang maka pinalty tidak dijatuhkan. Biasanya hitungan dilakukan dalam bentuk mingguan. Katakanlah, AP meminjam uang sekitar Rp 50-70 juta kepada pihak kolektor maka AP harus mampu mendapatkan timah jauh melampaui total harga yang dipinjam itu, jika AP berharap untuk mendapatkan untung dari hasil tambangnya. Dalam praktik di lapangan dapat saja tidak memenuhi target tetapi karena sudah saling percaya (trust) maka kolektor tetap meminjamkan uang ke AP. Bahkan dalam sistem semacam itu sama sekali tidak memakai jaminan.

Itulah sebabnya kenapa AP selalu menjalin hubungan baiknya dengan kolektor yang ada. Relasi AP dengan kolektor adalah hubungan pertemanan masa kecil sehingga mereka sudah saling tahu. Lantas bagaimana dengan pihak lain yang berminat di tambang tetapi tidak memiliki dana dan kedekatan

105

hubungan dengan pihak kolektor? Biasanya mereka menggunakan „tangan‟

seseorang. Katakanlah AP sebagai penjamin. Tetapi AP sendiri tidak serta merta mau dijadikan jaminan jika AP tidak yakin terhadap orang yang hendak melakukan usaha itu. AP mau menjamin jika yang berminat diusaha tambang itu adalah saudara dekat atau orang yang sangat dikenal AP. Itu pun dalam jumlah pinjaman modal yang tidak terlalu besar. Artinya, ada pertimbangan kemampuan mengembalikan, andaikan usaha itu gagal.

Namun dalam praktiknya, AP sendiri memiliki beberapa teman kolektor-lain, sehingga tidak sepenuhnya percaya terhadap kolektornya sendiri terutama

tentang „harga pasar‟ timah yang berlaku saat itu. Berfluktuasi harga timah

memungkinkan adanya „lobang‟ untuk menarik untung dari ketidak-tahuan seseorang. Dalam pikiran AP meski mereka memiliki kedekatan hubungan, seorang kolektor tetap ingin ambil-untung sebesar-besarnya. Di sinilah AP mengambil sikap mendua/ambivalen. Perihal sikap ini tidaklah dianggap tercela dan merupakan tindakan yang biasa di dunia timah. Dalam rangka menjalankan kebijakan itu AP memiliki “tangan lain” yang dapat menjualkan timahnya setelah batas perjanjian mingguan dengan kolektor-tetapnya, terpenuhi. Ada kesempatan AP menjualkan timahnya ke pihak lain yang tidak ada hubungannya dengan kolektor-tetapnya. Tidak diingkari bahwa kecepatan informasi menjadi penting sehingga hasil penjualan dapat diperoleh dengan cepat dan dengan untung yang berlipat.

Relasi AP dengan Swasta non-timah. Berdasarkan tabel 6.2 bahwa relasi AP dengan swasta non-timah sebelum tahun 2005 cukup baik. Korporasi Sawit adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit di kampung Airputih dan hingga berganti nama dan ganti pemilik beberapa kali tetapi tidak pernah bermasalah dengan warga Airputih. Pergantian nama dan pemilik berganti hingga beberapa kali menunjuk pada bentuk perhatian warga (Airputih) tetapi tidak masuk ke urusan yang menjadi otoritas perusahaan sendiri. Tidak saling menyoalkan dan penetapan hubungan yang baik itu terlihat dari adanya jalan masuk satu-satunya ke kampung Airputih dengan beberapa dusun sekitar seperti Jungku misalnya, harus melewati atau membelah perkebunan ini. Jalan tersebut memang telah terlebih dahulu ada (jalan menuju ke Bendul) dan tanaman sawit baru ada belakangan sehingga perkebunan memberikan atau jalan (tidak ditanami sawit) tetap difungsikan sebagai jalan. Tidak ada jalan lain untuk memutar karena

106 luasan hamparan perkebunan ini hingga memasuki kampung yang bertetangga dengan Airputih yaitu kampung Tanjung Ular.

Relasi AT dan AP dengan Komunitas. Dalam hubungannya dengan komunitas, AP dan AT memiliki hubungan yang hampir mirip di mana keduanya menjadi patron atas komunitasnya. Bedanya, AP dengan keunggulan dapat mengajak untuk melakukan reklamasi dan beberapa aktivitas kampung seperti pembangunan masjid; sementara AT juga sebagai patron atas komunitasnya. Perbedaannya dengan AP adalah kemampuan pengetahuan sosial AT yang luas dan sering berinovasi dengan tanaman perkebunan/pertanian miliknya. Tindakan kedua aktor ini sering dicontoh warganya. AP di Airputih misalnya sudah mulai dicontoh warga soal bagaimana melakukan reklamasi. Meski contoh itu baru kecil-kecilan sebatas lingkungan rumah atau diperkebunan dengan tanaman sengon. Sedang AT di Mayang ada yang mulai mencontoh AT yaitu bagaimana bertanam jeruk, meski kemudian gagal. AT menyebut kegagalan itu sebagai orang/warga yang kurang banyak bertanya saja. Seperti dikatakan AT bahwa teknik menanam jeruk itu yaitu di mana pokok-pohon yang ditanam dimiringkan dan menghadap ke matahari (timur). Jika hanya sekadar tumbuh dan menanam begitu saja dan tidak mengikuti petunjuk dari AT maka tidak saja pohon tersebut mati tetapi andaikan tumbuh pun dipastikan rasanya asam.

2.2. Posisi AT dan AP dengan Aktor Negara, Swasta dan Komunitas ketika