• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peta Regulasi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Timah 1. Tatakelola dalam Kebijakan Sumberdaya Alam4

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

1. Tinjauan Pustaka

1.1. Peta Regulasi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Timah 1. Tatakelola dalam Kebijakan Sumberdaya Alam4

Penelitian ini dibangun melalui dua elemen yaitu kerangka teori dan telaahan kepustakaan. Penelitian ini dibingkai pemikiran aliran strukturalis (Fakih, 2001: 39) dengan analisis Giddenian khusus struktur terhadap agensi. Namun sebelum diuraikan mekanisme kerangka teori itu terlebih dahulu dijelaskan peta regulasi sumberdaya alam dan timah yang berlaku di Indonesia dan dasar-dasar pembentuknya; yang bertujuan untuk melengkapi analisis fokus dalam penelitian ini. Telaahan kepustakaan yang dirujuk dalam penelitian ini merupakan langkah atau upaya untuk mencari dan menemukan sisi-sisi yang: mendasari penelitian dilihat dari aspek ontologis teori, berkenaan dengan metodologis maupun sisi aksiologisnya sehingga melalui celah-celah itulah penelitian ini mengambil posisinya.

1.1. Peta Regulasi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Timah 1.1.1. Tatakelola dalam Kebijakan Sumberdaya Alam4

Dalam pengelolaan sumberdaya alam (timah) suatu negara maka isu utama yang terlebih dahulu harus dicari adalah: ideologi apa yang mendasari, siapa yang menguasai ideologi itu (rezim), siapa pelaksananya (birokrasi/pemerintah) dan kebijakan-kebijakan publik yang seperti apa yang ditelorkannya (Budiman, 1996: 82-7). Berdasarkan tataurutan demikian maka dapat ditemukan arah dan tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan sumberdaya alam suatu negara. Rujukan tatakelola sumberdaya alam dan agraria di Indonesia tertuang pada Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, UUD 1945. Tekanan terbesar terkait sumberdaya alam diletakkan dalam pasal 33 ayat 3 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Selanjutnya dalam konsideran „menimbang‟ dalam UU Nomor 5 Tahun 1960

tanggal 24 September 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, secara jelas

4 Dalam perspektif sosiologi merujuk pada peta kebijakan sumberdaya alam yang ada, dapat ditentukan arah yang diinginkan. Di dunia ini terdapat tiga aliran yang sangat kuat dalam menelaah posisi dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu: konservasionisme, eko-populis, dan developmentalisme. Aliran pertama menginginkan bahwa alam-lingkungan diposisikan dalam bentuk aslinya mengalahkan faktor lainnya. Aliran kedua, menginginkan perlunya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aliran ketiga, berangkat dari asumsi untuk melakukan perubahan di bawah kondisi masyarakat yang serba kekurangan dan keterbelakangan sebagai akibat pembangunan. Witter dan Bitmer, Between conservation, eco-populism and developmentalism: Discourse in Biodeversity Polity in Thailand and Indonesia, CAPRI Working Paper No. 37, Washington DC; International Food Policy Research Institute, 2005 Berdasarkan tipologi ini jika merujuk UUD 1945 dan UUPA 1960 pada developmentalism meski semua itu dapat berubah tergantung rezim yang berkuasa, lihat Arief Budiman, Teori Negara, PT Gramedia, Jakarta, 1996

13

mengungkap akan turunan langsung dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 itu. Meski tekanan utama UUPA 1960 terletak pada agraria (tanah) tetapi ideologinya sama yaitu semata-mata demi kemakmuran rakyat. Kondisi tersebut diperkuat dalam pasal 1 ayat 2 undang-undang yang sama. Berikut, bahwa dalam pasal 2 ayat 2.a bahwa posisi negara adalah mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. Artinya, dalam pengelolaan sumberdaya alam (dan agraria) di mana ideologi yang terbangun sudah cukup jelas. Meskipun dalam praktik politik setiap rezim berkuasa acapkali tidak sejalan dengan tatanan normatif tertinggi yang disepakati itu. Rezim berkuasa yang keterpilihannya ditentukan oleh jargon-jargon politik terhadap massa pasca Orde Baru maka kecondongan ideologi yang lebih praktis-pragmatis dan politis paling umum dipakai. Persoalan popularitas dalam menangguk suara pemilih nampak menjadi penentu kebijakan. Oleh karena itu menjadi sangat situasional sifatnya. Dalam praktik

politik banyak terjadi „penyesuaian‟ menyangkut strategi dan kebijakan praktisnya dilapangan.

1.1.2. Tatakelola dalam Kebijakan Sumberdaya Timah

Berbeda dengan penjelasan di atas bahwa dasar-dasar yang digunakan dalam pengelolaan sumberdaya timah nampaknya tidak merujuk kepada UUPA, meskipun undang-undang ini dalam „konsideran‟ begitu nyata melekatkan UUD

1945 sebagai acuan pokoknya. Pengelolaan sumberdaya timah nampak bersandar pada UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Dalam undang-undang ini sebenarnya tidak secara tegas mengungkapkan mineral timah, selebihnya juga pertanggung jawaban kepada Kementerian ESDM; di samping undang-undang teknis pertambangan lain sebagai pendukung. Selanjutnya dalam undang-undang yang sama menyebutkan pula bahwa setiap proses eksplorasi

penambangan diwajibkan meminta izin kepada „pemilik‟ wilayah. Jika berada di wilayah kabupaten/kota maka izinnya kepada bupati/walikota dan jika wilayah administrasi berada provinsi maka yang berhak mengeluarkan izin adalah gubernur.

Sinkronisasi demikian terkait dengan rujukan yang dibuat dan tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini hakikatnya adalah menyangkut desentralisasi pusat kepada daerah atau presiden kepada gubernur dan diteruskan ke bupati/kota di wilayah

masing-14 masing. Artinya secara berjenjang tatacara perizinan diberikan kepada sesuatu yang paling berkuasa di setiap jenjang wilayah. Tetapi jauh sebelum beberapa regulasi tersebut di atas diterbitkan, adanya SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 yang menyatakan bahwa timah bukan lagi komoditas strategis yang perdagangannya diawasi dan menjadi monopoli PT Timah Tbk dan mitranya (PT Tambang Timah dan PT Koba Tin); yang padahal kebijakan menteri tersebut merupakan bentuk responsif negara terhadap keterpurukan ekonomi negara akibat krisis moneter dan keuangan berkepanjangan tahun 1997. Dua tahun berikutnya SK dari kementerian yang sama keluar dengan No. 294/MP/Kep/10/2001 di mana secara tegas tidak memuat lagi tataniaga komoditas timah sebagai komoditas strategis. Dengan demikian timah kemudian menjadi barang bebas yang perdagangannya tidak lagi diawasi dan diatur. Perkembangan regulasi tersebut diinterpretasi dan dipahami secara berbeda di Bangka.

Untuk merespons itu Bupati Bangka menerbitkan SK Bupati Bangka No.6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum. Intinya pengusaha lokal dan masyarakat mempunyai ruang gerak untuk berusaha dalam bidang pertambangan timah. Berlanjut, bahwa kekhawatiran timah bakal dibawa keluar Bangka secara selundupan, Kemenperindag lagi-lagi mengeluarkan kebijakan dengan No.443/MPP/Kep/5/2002 tentang larangan ekspor timah berbentuk biji pasir; yang setahun sebelumnya Bupati Bangka kembali mengeluarkan SK dengan No.540.K/271/Tamben/2001 tentang Pemberian Izin Usaha Penambangan untuk Pengelolaan dan Penjualan (ekspor). Entah karena agar tidak kehilangan pendapatan atau untuk ikut mendapat bagian, provinsi ikut-ikutan mengeluarkan Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan No. 3 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum. Kebijakan tersebut secara jelas membolehkan rakyat menambang asalkan mendapat izin dari Pemda setempat. Regulasi yang terbit belakangan justru memperkuat SK Bupati Bangka sebelumnya. Dalam perkembangan lebih lanjut beberapa regulasi baik yang dikeluarkan bupati/kota maupun gubernur terus berlanjut sesuai kewenangan yang emban masing-masing hingga berujung perjalanan regulasi yang secara kreatif menginspirasi pejabat politik lokal dan pemodal berbasis aspirasi mendorong lahirnya smelter.