• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Terbentuknya Aktor

DUALISME AKTOR DI DUA KAMPUNG DI KABUPATEN BANGKA BARAT

3. Latar Belakang Terbentuknya Aktor

Aktor/agen dapat dianalisis dalam banyak segi dan sudut pandang. Dalam strukturalis Marxis bahwa terbentuk aktor ditentukan oleh basis pembentuknya yang bersifat materi, sementara yang berlawanan dengan itu (Weberian) menekankan aspek non-materi (kewibawaan). Kedua pendekatan, baik materi maupun non-materi menunjukkan adanya kesamaan yaitu menyangkut adaya tingkatan atau strata. Pada dasarnya medium strata atau stratifikasi adalah wadah aktor atau kelompok-aktor dalam melakukan kiprah sosialnya. Strata atau stratifikasi menyangkut jenjang tertinggi dalam stratum sekaligus menunjuk pada adanya kemampuan seorang aktor memerintah bawahannya. Dalam hubungan ini bawahan mengikuti semua petunjuk atau perintah yang diberikan aktor tadi.

Kajian tentang aktor atau mekanisme kepemimpinan dengan dimensi penjelas semacam ini sangat mendominasi khasanah ilmu pengetahuan di Indonesia. Sekurang-kurangnya dalam kurun waktu tiga dasawarsa12 berbagai kajian dalam ilmu-ilmu sosial baik disiplin ilmu politik, administrasi dan kebijakan publik atau lainnya ketika berbicara soal kepemimpinan mereka selalu bersikukuh dan berketetapan untuk menunjuk akan adanya stratifikasi ini. Terlebih dalam politik terutama mengkaji tentang elite maka pengaruh pakar politik dari Amerika yang merujuk teori politik klasik Italia, Mosca dan Pareto menjadi bagian utama dalam penjelasan itu. Kajian tentang aktor-bertindak dalam penelitian ini sedikit berbeda. Argumentasi yang dibangun mengikuti Sanderson yaitu meski tidak

sungai. Sekarang wilayah ini dijadikan objek wisata dan sudah diberikan tempat peristirahatan dan lokasi permainan anak-anak (wawancara dengan Dinas Infohub, Bpk Khairul Amri, 7 April 2010) 11

Kemang Masam didominasi perkebunan dan ladang. Nama kemang atau kadang disebut kembang berangkat dari nama buah lokal bernama „kemang‟. Buah ini biasanya dibuat sambal karena masam/kecutnya. Berwarna krem dan ketika ranum berbau wangi. Berbentuk mirip buah alpokat (agak lonjong). Konon nama ini digunakan untuk nama dusun Kemang Masam.

12 Nampaknya penjelasan demikian menguat seiring dengan „kuat‟nya rezim Soeharto dan pengalaman beberapa negara seperti Libya, Mesir dan beberapa negara Amerka Latin.

63 menafikan akan peran strata tetapi tawaran penjelasannya itu sedikit unik. Pokok pikiran Sanderson nampak sangat relevan dengan realitas aktor dalam kontestasi ruang tambang di Bangka yang bakal dikaji.

Di sini seorang aktor dalam bertindak dan tindakan mana diikuti individu lain; atau memiliki prestise yakni di mana individu dihormati dan dihargai, hakikinya menunjuk pada adanya ketidaksamaan sosial (social inequality) daripada stratifikasi sosial (Sanderson, 2010: 145; Leyden, 1983: 22-44)13. Ketidaksamaan sosial bukan menunjuk pada adanya perbedaan dalam derajat kekuasaan dan kekayaan seseorang. Ketidaksamaan sosial pada dasarnya hidup dalam suatu entitas sosial masyarakat yang bersangkutan (Gramsci, 1976). Dalam entitas sosial suatu masyarakat bahwa ketidaksamaan sosial ada dan dapat terbentuk tanpa perlu adanya perbedaan kekayaan atau pendapatan individu atau kelompok. Kekayaan maupun kondisi ekonomi itu sendiri belum cukup untuk membentuk kelas. Dengan bahasa yang sedikit berbeda bahwa, kondisi ekonomi semata adalah bersifat pasif belaka. Kondisi ekonomi dalam batasan tertentu meski dapat menciptakan jurang pemisah tetapi kondisi tersebut tidak cukup mampu menciptakan antagonisme yang sesungguhnya. Jika hanya berdasarkan kontak luar semata (external factors), maupun ciri-ciri kepentingan bersama maka tidak cukup alasan untuk terciptanya suatu komunitas, perserikatan atau apapun namanya sehingga mereka tidak dapat pula dikelompokkan sebagai kelas. Kelompok-kelompok demikian, yang berada dalam situasi bersama, dan karenanya tidak akan mampu membuat kepentingan kelas tersendiri. Berdasarkan penjelasan ini maka sesungguhnya ketidaksamaan sosial itu bersifat universal. Dengan demikian tidak ada suatu masyarakat tanpa perbedaan antar individu (Dahrendorf, 1985: 14-5).

Gramsci (dalam Sugiono, 2006: 44) mengatakan bahwa perbedaan sosial yang pada gilirannya membentuk aktor (intelektual) adalah sosok yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri sekaligus orang lain. Mengikuti pemikiran dalam penelitian ini nampak bahwa kebertanggung jawaban terhadap diri sendiri adalah agen (dalam pengertian Giddens) sementara terhadap orang lain adalah struktur. Dalam hubungan ini Gramsci ingin menjelaskan bahwa

13 Sanderson dengan sangat nyata membedakan antara ketidaksamaan sosial dengan stratifikasi sosial. Dalam ketidaksamaan sosial menyangkut: (a) perbedaan antar individu dalam pengaruh sosial; (b) mengimplikasikan ketidaksamaan antar individu bukan antar suatu kelompok-kelompok yang berlainan. Sedangkan stratifikasi sosial menyangkut, adanya dua atau lebih kelompok-kelompok bertingkat (ranked groups) dalam satu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya mempunyai kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise yang tidak sama pula. Dan karateristik penting lain dari stratifikasi sosial adalah bahwa ia bersifat kelompok, bukan individu.

64

setiap orang dalam entitas sosialnya adalah aktor. Hanya saja dia-aktor belum

menjadi „deputi‟. Dalam kapasitas ini bahwa setiap orang adalah aktor; dan

menyangkut itu [aktor] baru sebatas filsuf terhadap dirinya. Di sini kemudian terkenal dengan apa yang disebut, bahwa setiap orang adalah filsuf terhadap diri sendiri dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri pula. Keterhubungan antar-aktor selalu berjalan di atas landasan keantar-aktoran dan selalu terpulang pada kebertanggung-jawaban itu. Artinya, bahwa dalam hubungan-hubungan sosial, setiap aktor memanfaatkan keaktoran mereka dan saling mempertanggung jawabkan ketika setiap orang dari mereka bertindak satu terhadap lainnya. Dalam posisi inilah maka setiap aktor ketika berkorelasi satu dengan lainnya selalu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politis dan kulturalnya. Jika demikian maka tidak akan mungkin dalam praktik-praktik sosial itu setiap orang dari mereka tidak memiliki kebertangung-jawaban sosial. Namun jika hal yang demikian ini terjadi maka hubungan sosial tersebut sesungguhnya tidak terbentuk, terutama bagi kepentingan-kepentingan aktor bertindak.

Gramsci selanjutnya menyebut bahwa dalam praktik sosial suatu sistem sosial terdapat aktor lain di luar aktor sebagai filsuf tadi. Mereka-aktor adalah juga

„deputi‟. Deputi pada dasarnya menyangkut representasi/wakil. Persoalan yang

ingin disampaikan tentang „wakil‟ tentu memiliki dua arti berbeda, pertama secara

substansial wakil menyatakan dirinya „ada‟ bersama dengan manusia lain.

Kedua, tetapi di luar itu dan terpenting dalam pembahasan ini adalah, bahwa pada siapa yang mereka wakili. Dalam pengertian ini, tidak lain adalah struktur.

Representasi „deputi‟ sebagai struktur mengisyaratkan bahwa seorang deputi

memiliki tanggung jawab yang tidak lagi kepada diri sendiri. Deputi dalam konteks representasi sudah menyangkut hubungan-hubungan sosial dengan pihak lain [di luar dirinya] di mana kebertanggung-jawaban sosial tersebut dilekatkan. Aktor dalam struktur menyangkut pemahaman akan tatanan, regulasi dan sistem nilai maupun ideologi yang dianut; yang dalam pengejawantahan struktur itu, maka dengan demikian seorang aktor memposisikan diri sebagai deputi-struktur di mana tidak lain adalah harus mempertanggung-jawabkan setiap aktor-bertindak terhadap struktur yang dia wakili. Dalam praktik sosial diperlihatkan nanti ketika akan lahir dengan apa yang disebut sebagai praktik-praktik hegemonik itu.

65 4. Aktor dan Sumberdaya-sumberdaya Kekuasaan

Aktor disebut sebagai aktor adalah karena adanya sumberdaya-sumberdaya kekuasaan yang dia miliki. Dalam penelitian tambang di Bangka dapat dirumuskan dua aktor yang secara diametral saling berhadap-hadapan. Namun Tabel 5.3 baru merumuskan gambaran dua aktor dengan menunjuk kriteria dan sumberdaya kekuasaan yang dimiliki. Menyangkut sumberdaya kekuasaan maka selalu ada kaitan dengan massa yang mengikuti merekat. Penyematan sebagai AP dan AT merupakan konsekuensi dari keterikatan dimaksud. Oleh karena itu uraian sumberdaya kekuasaan yang dijelaskan dalam Tabel 5.1 ini merupakan potensi alias daya dukung seorang aktor dalam bertindak. Potensi belumlah menunjuk keikutsertaan massa tatkala aktor bertindak.

Di sini dipaparkan potensi-potensi, yang tekanannya lebih kepada identifikasi bahwa, kedua aktor memiliki kriteria yang sama yaitu sama-sama bergerak di tambang; meski kemudian AP tidak melanjutkan. Kedua aktor mendapatkan pengakuan dari massa-masyarakat tempat di mana mereka hidup, sebagai kriteria kedua. Keaktoran mereka, sebagai kriteria lanjutan, tidak berangkat dari keturunan (genealogis). Meski AP mantan Kepala Kampung (KK) tetapi ketika

jabatan tersebut diperoleh bukanlah karena „meneruskan‟ dari kedua

orangtuanya. Orangtua AP telah meninggal jauh sebelum jabatan itu diperoleh dan AP adalah orang kebanyakan. AP dalam menduduki jabatan KK di kampung Airputih bukanlah kehendak dia sendiri melainkan pilihan rakyatnya14. Demikian juga dengan AT. Meski dia keturunan langsung dukun kampung Mayang dan sebagai satu-satunya anak yang dimiliki sang dukun tetapi tidak ada niat AT sebagai pewaris orangtuanya15.

14

Masa Orba dan menjelang reformasi jabatan Kepala Kampung (KK) bukanlah jabatan yang prestisius. Dengan honor kecil dan tidak jelas kapan diperoleh sementara pekerjaan yang 24 jam itu tidak membuat semua orang tertarik (honor Rp 27.000/bulan dan dibayar 3 bulan sekali lewat BRI). Kecuali setelah pemekaran (di era reformasi) setelah DPRD Babar mulai mengganggarkan atas usul eksekutif, bisa jadi berbeda. Dengan gaji tetap dan ada di kantor sesuai jam kantor persepsi masyarakat mungkin dapat berubah tentang jabatan Kepala Kampung itu.

15

Dalam struktur perdukunan, dukun kampung memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dukun gunung dan laut. Kedua dukun yang disebut terakhir, diperlukan sesuai dengan keahlian atau bidangnya. Dukun kampung dapat „menggantikan‟ apa yang dilakukan dukun laut dan gunung. Tetapi tidak bisa sebaliknya. Di samping keutamaan dukun kampung tidak saja berkaitan dengan „rasa aman‟ kampung dari serangan penyakit dan gangguan lainnya melainkan juga harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang cukup dengan pihak luar kampung.

66

Tabel 5.3. Kriteria Kedua Aktor dan Sumberdaya Kekuasaan Kriteria

Aktor

Sumberdaya Kekuasaan

Struktur Signifikansi Struktur Legitimasi

AP

Memiliki pengetahuan sosial yang luas Memiliki pengetahuan administrasi pemerintahan dan pembangunan Memiliki pengetahuan tentang kelautan Memiliki pengetahuan

tentang perkebunan dan perladangan

Memiliki pengetahuan tentang keteknikan dan permesinan

Kuasa moral terkait keluasan pengetahuan sosial

Kuasa moral dan kuasa gagasan terkait pengetahuan administrasi dan pemerintahan

Kuasa moral dan kuasa gagasan tentang mitos-mitos di laut Kuasa moral dan sosial

Kuasa pengetahuan dan gagasan

AT

Memiliki pengetahuan sosial yang luas Memiliki pengetahuan

tentang timah/tambang Memiliki pengetahuan

tentang perkebunan dan perladangan

Memiliki akses politik, ekonomi dan ekonomi politik

Memiliki pengetahuan tentang kampung (sebagai anak dukun)

Memiliki gelar haji

Kuasa moral terkait keluasan pengetahuan sosial

Kuasa moral dan ekonomi moral

Kuasa moral dan sosial

Kuasa moral dan kuasa gagasan di bidang sosial-politik

Kuasa moral dan kuasa gagasan tentang mitos-mitos dan

supranatural

Belum membentuk kuasa Sumber : Data Lapangan diolah, 2012

Kriteria keempat memang memiliki keterhubungan dengan kriteria ketiga; sehingga perlu dijelaskan agak lebih dalam karena dikhawatirkan bahwa massa mereka mengaktorkan keduanya atas dasar mantan (kepala kampung dan keturunan langsung dukun kampung]. Diakui memang tidak mungkin dapat dihindari secara total penilaian atau kuasa pengetahuan masyarakat atas keaktoran keduanya berdasarkan kriteria tersebut. Dalam praktik sosial di masyarakat memang akan adanya peran historis yang dimainkan aktor terkait dengan mantan tadi. Kuasa pengetahuan masyarakat, atau dalam bahasa Geertz (2003: 93) disebut sebagai nalar awam, sudah masuk dalam sistem sosial

67 mereka. Penjelasan lanjutan yang cukup masuk akal adalah bahwa kedua aktor sudah dikenal warga kampung sebelum adanya pembeda-pembeda atas warga lain. Kuatnya aroma pembeda-pembeda yang ada itu daripada hanya sekadar sebagai anak dukun kampung (untuk AT) maupun sangat jauh (untuk AP) yang saat itu sama sekali belum terpilih sebagai KK Airputih.

Dengan demikian penjelasan kedua aktor yang tertuang dalam Tabel 5.4 implisit menggambarkan sebuah ketidaksamaan sosial dalam suatu entitas sosial. Berdasarkan gambaran itu maka secara umum dapat menjelaskan bahwa ada beberapa kelebihan tetapi tidak sedikit pula kekurangannya. AT dan AP memiliki kelebihan yang hampir tidak mungkin dimiliki oleh warga lainnya. AP misalnya, meski di Bangka maupun kampung Airputih khususnya, jabatan Kepala Kampung (KK) bukanlah jabatan yang layak dijadikan rebutan. Dalam beberapa kampung justru KK diduduki oleh orang luar kampung. Jika tidak diisi orang Jawa yang militer tentu orang dari Sumatera Bagian Selatan. Tetapi kesediaannya AP sebagai KK justru didorong oleh warga. Tentu saja dorongan warga itu dengan diikuti alasan-alasan yang bisa diterima. AT sekurang-kurangnya sebagai mantan anak dukun kampung dan sebagai tukang chiam adalah beberapa kelebihan yang tidak dimiliki warga kampung.

AP dengan sumberdaya kekuasaan khusus struktur signifikansi memiliki pengetahuan yang luas bahkan ditambah dengan pengetahuan tentang laut. Berdasarkan struktur signifikansi itu membawa AP berdasar struktur legitimasi memberinya banyak kuasa. Sekurang-kurangnya kuasa moral, kuasa gagasan dan kuas sosial. Kelemahan AP dalam struktur signifikansi terletak pada kekurang-mampuan dirinya terhadap kepentingan tambang. Berbeda dengan AT. Kelemahan AP justru sebagai kelebihan AT sehingga dalam struktur signifikansi warga memberikan tanda-tanda dan kode-kode akan kemampuannya. Dengan demikian AT dalam struktur legitimasinya mendapatkan kuasa moral, sosial dan supranatural terkait dirinya sebagai anak dukun.

Penetapan dan kekuatan pencitraan atas kriteria kedua aktor dipicu oleh akumulasi sumberdaya kekuasaan yang dimiliki. Setiap aktor dalam entitas sosial di kampung mereka masing-masing memiliki sumberdaya-sumberdaya yang sama, tidak dipungkiri dan bahkan bisa saja jauh lebih banyak dari kepemilikan kedua aktor (AP dan AT). Sebagai contoh, H Mukti di Mayang. Jika menilik dari kepemilikan harta bergerak dan tidak bergerak justru melebihi kepemilikan yang dipunyai AT. Rumah dengan arsitek Yunani-kuno dan dilengkapi dua kendaraan

68

roda empat serta piringan TV parabola saja sudah pasti melebihi kepemilikan AT yang hanya satu minibus setengah pakai dan rumah kampung mirip tipe-45 tanpa parabola di kampung Mayang. Demikian pula dengan AP. Di kampung Airputih ada tokoh lain yang jauh melampaui dirinya. Teman sekolah AP di SD beretnis Tionghoa memiliki sumberdaya yang tidak saja ekonomi tetapi juga akses politik serta sosial hingga ke Jakarta dan luar negeri.

Berdasarkan komponen pembeda-pembeda yang ada tentulah apa-apa yang dimiliki AP dan AT banyak pula warga lain yang memiliki, dan sebagaimana dikatakan, justru melampaui keduanya. Persoalannya adalah, apakah sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki mampu atau dapat merubah sebagai sebuah sumberdaya kekuasaan menjadi kekuasaan riil; dan pada gilirannya kekuasaan-kekuasaan yang dilekatkan dalam sosok aktor dapat dibuktikan

melalui „pengakuan spontan‟ masyarakatnya. Jawaban atas pertanyaan ini

pulalah yang tidak dimiliki warga masyarakat ketika ingin disebut sebagai aktor. AP sebagai bekas KK dan sebagai orang yang pernah menduduki jabatan birokrasi tertinggi di kampung maka dengan sendirinya memiliki keluasan pengetahuan berkenaan dengan hal ihwal administrasi pemerintahan dan sosial kemasyarakatan. Keluasan pengetahuan ini tentu sebagai sumberdaya tersendiri dimiliki AP dan membedakan dirinya dengan warganya. Pembangunanisme yang interventif secara jelas menempatkan KK sebagai simpul terbawah dari pemerintahan terendah di bawah camat. KK dan kampung adalah tempat di mana terhimpunnya sejumlah program pemerintah (Suhartono et.al, 2000: 14). Dalam menjalankan semua program pemerintah itu tidak ada batas waktu seperti jam kantor. Meski secara definitif ada waktu dan tatacara menjalan organisasi lokal layaknya pegawai pemda lainnya tetapi „pengakuan‟ itu tidak masuk dalam

kuasa pengetahuan masyarakatnya. Pengabaian yang pada dasarnya menunjukkan kepercayaan bahwa persoalan kemasyarakatan dapat diselesaian AP tanpa perduli dilakukan di kantor atau di rumah16. AP dalam kapasitasnya sebagai KK ,apakah harus menolak? Kebiasaan yang dilakukan masyarakat ini justru mengisyaratkan akan keaktoran AP. Oleh karena itu meski AP sudah tidak

16

Tetapi untuk pinjam uang sebagaimana terjadi terhadap lurah desa di Jawa, di kampung Air Putih tidak terjadi. Bagaimana mungkin? Gaji (dibaca: honor) yang diperoleh sebagai kepala kampung sebesar Rp 35.000 dibayar per triwulan [wawancara per telepon, 5 Mei 2012). Banyaknya „perampasan‟ tanah oleh lurah-desa terhadap warganya karena meminjam uang dengan agunan tanah/sawah. Setelah menumpuk dan pemilik tanah tidak mampu mengembalikan lantas tanah disita oleh lurah [peneliti pernah ditunjuk oleh lurah desa di Yogyakarta-Bantul yang memiliki 35 kampling tanah/sawah dengan luas bervariasi]. Sementara kampung Air Putih meski Bahrudin menjadi kepala kampung karena dipilih tetapi pilihan itu tidak dengan uang.

69 lagi menjabat sebagai KK tetapi masih saja ada warga yang minta pandangan-pandangannya menyangkut beragam masalah hingga pemecahannya sehingga dapat ditafsirkan sebagai petanda akan ketokohannya.

AT pun demikian. Keluasan pengetahuan terhadap semua aspek kehidupan menempatkan AT dalam posisi strategis dan sentral. Keluasan pengetahuan yang terbentuk lama terpulang dari kemampuannya yang gemar berkebun dan berinteraksi serta intensitas berkomunikasi tinggi dengan pihak lain menempatkan AT sebagai orang yang „serba tahu‟. Kuasa pengetahuan yang dimiliki AT minus administrasi pemerintahan tetapi kuasa pengetahuan itu telah lama memasuki aspek kehidupan masyarakat dan bahkan sudah sebagai bagian dari sosiokultural masyarakatnya.

AT sebagai pewaris langsung dukun kampung [Mayang] maka hampir dapat dipastikan ketika warga akan membuka hutan masih meminta petunjuk darinya17. Meski dalam tabel 5.4 bahwa keterikatan kepada keturunan sudah tidak diperhitungkan lagi tetapi ketika ada warga „terkena‟ gangguan makhluk halus

sering meminta bantuan darinya. Belakangan, pemerintah kabupaten Bangka Barat melalui Dinas Perhubparinform18 sedang berupaya keras menggalakkan pariwisata. Salah satu bentuk pariwisata yang ingin dibangkitkan yaitu, memunculkan kembali peran dukun di kampung-kampung. Tujuan pemerintah kabupaten bukanlah untuk menghidupkan kembali mitos dan takhyul serta sinkretisme melainkan melalui dukun kampung diidentifikasi potensi kampung untuk dijadikan objek wisata.

Selain Bangka Barat sendiri adalah wilayah yang berada di sisi paling barat provinsi Babel dengan lokasi penyeberangan ke pelabuhan Musi di Palembang melalui pelabuhan Muntok sebagai suatu potensi. Potensi lain seiring pesatnya kawasan Sijori (Singapura, Johor dan Riau) serta kawasan utara laut Cina Selatan dan lingkar pasifik yang selama ini arah perkembangan wisatawan ke Batam terus Jakarta, Yogyakarta dan Bali dapat singgah di Bangka Barat. Pemerintah Daerah kabupaten Bangka Barat berharap melalui pariwisata dapat

17 Meski ada warga ketika mau membuka hutan buat ladang, “ya, buka begitu saja”, tanpa perlu izin. Di lapangan kalau ada yang menyatakan bahwa lahan itu miliknya maka tinggal geser ke lahan sampingnya, begitu seterusnya [wawancara per telepon dengan aparat kampung Mayang, Bpk Jm). [11 November 2011]

18

70

sebagai alternatif tambahan keuangan daerah di samping mengalihkan tenaga kerja dari TI ke sektor jasa wisata19. Ada harapan sebagai penyangga wisata.

Dalam banyak kesempatan pejabat kabupaten sering berujar dengan

mengatakan “Babel sebagai Wisata Indonesia kedua setelah Bali”. Bagi kabupaten sedang mengidentifikasi beberapa daerah/wilayah untuk dijadikan lokasi wisata. Tanjung Ular, Batu Balai, Gunung Menumbing, Rumah Mayor Petak 17, Rumah peristirahatan Pasanggrahan di Sungai Daeng, juga kuburan (tiba-tiba ada klaim menjadi milik Pemda) di kampung Kebon Nanas pun ditata/dirapikan. Kota Muntok pun tidak terkecuali. Kota ini dibagi dalam beberapa lokasi wisata, yaitu: kawasan perumahan elite sekitar rumah dinas bupati, kampung Cina di Selong-kampung Baru, wisata kuliner di kampung Jawa, wisata pantai di kampung Tanjung, kain cual di kampung Teluk Rubiah dll.

Kampung-kampung di luar kota Muntok dan tiga kota besar lainnya di Bangka Barat seperti Jebus, Kelapa dan Tempilang menjadi bagian wisata, sehingga peran dukun kampung yang selama hilang semasa rezim Soeharto kembali mendapatkan pengakuan dan ke depan dipastikan meningkat20. Contoh kampung Kundi-Bangka Barat dengan perang ketupat21. Mirip dengan peran dan posisi AP di atas bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dlakukan warga terhadap diri AT mengisyaratkan akan ketokohannya.

Artinya „kebiasaan‟ masyarakat yang mendatangi kedua aktor adalah

sebagai petanda akan keaktoran dan yang tidak dapat dipungkiri adalah keluasan kuasa pengetahuan yang mereka miliki. Keluasan pengetahuan dianggap sebagai kuasa atas sumberdaya kekuasaan (Giddens, 2010a). Contoh lain, menguasai teknik tambang. AT adalah seorang siswa yang berhasil duduk hingga di kelas dua STM. Sekolah kejuruan itu berhasil mengajarkan dasar-dasar

19 Nampaknya hanya slogan belaka. Sejak penelitian ini dimulai akhir Desember 2009 lalu hingga saat ini tidak ada hotel kelas „Melati” sekalipun. Bahkan masa itu lampu dari PLN hanya hidup malam hari dan sepanjang siang hari mati. Dalam kesempatan yang sama, pegawai Pemda Babar ketika mensosialisasi program Pemda harus ke hotel-hotel yang ada di ibukota provinsi, Pangkalpinang (berjarak 125 Km).

20

Meski berkali-kali Jumadil menyatakan tidak bersedia untuk menggantikan ayahnya dan mempertegas pernyataan ini dia pergi menunaikan ibadah haji sehingga yang ada hubungannya dengan dukun kampug diangap perbuatan syirik meduakan Tuhan dan itu dilaknat Allh SWT [wawancara dengan Jumadil melalui telepon, 12 Desember 2011]

21

Acara ini sudah masuk agenda tahunan dikabupaten Bangka Barat. “Perang” dengan saling lempar ketupat antarwarga diawali oleh dukun kampung dan kemudian diikuti oleh warga. Perang itu sebagai perwujudan „mengusir‟ setan. [Acara ini sempat dikritik Rusli Rahman, mantan Kanwil P & K prov DIY, ketika kabupaten Babar melalui Bupati Farhan Ali, di Senayan-Jakarta, 1 Agustus 2009, mengusung tema, “Konsolidasi Investasi”. Intinya, berupaya menarik investor asal Babar yang telah sukses di luar Babar untuk menginvestasikan dananya bagi pembangunan Babar, dikatakannya bahwa ketupat yang diisi dengan beras itu dan kemudian dilempar-lemparkan satu