• Tidak ada hasil yang ditemukan

Azyumardi Azra

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 115-119)

dengan demokrasi secara laten juga bisa dicermati di dunia Islam termasuk di Indonesia yang sejak kejatuhan Soeharto sampai sekarang ini masih terus berada dalam konsolidasi demokrasi. Masih terdapat pemikiran dan gerakan yang menolak demokrasi, dan sebaliknya bercita-cita mendirikan dawlah Islamiyah atau khilafah—apakah versi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau

versi ISIS.

Seperti dikemukakan William Liddle dan Saiful Mujani (2000), salah satu di antara kecenderungan yang sangat menonjol dalam masa pasca-Perang Dingin yang diikuti pergantian masa ke milenium baru adalah meningkat cepatnya pertumbuhan demokrasi di berbagai penjuru dunia. Semakin banyak jumlah negara yang menjadi kian demokratis, termasuk Indonesia setelah runtuhnya kekuasaan Presiden Soeharto yang tidak demokratis selama lebih dari 30 tahun. Tetapi, dalam pandangan Liddle dan Mujani dan kalangan pengamat lain, kecenderungan menjadi lebih demokratis kelihatan tidak berlangsung secara meyakinkan di banyak negara Muslim khususnya di Dunia Arab, seperti terlihat dari ‘Arab Spring’ yang kini tidak menjanjikan

bagi demokrasi.

Tetapi penting ditekankan, pembahasan apa pun tentang politik Islam— atau politik Muslim—seyogianya menghindari kesimpulan yang tak lain adalah sweeping generalization. Hal ini penting, karena politik Islam/Muslim,

termasuk di Indonesia, sangat kompleks dan rumit. Karena, Islam sebagai sebuah realitas politik seperti dimanifestasikan orang-orang Muslim— apakah melalui parpol-parpol Islam maupun kelompok-kelompok tertentu— jelas bukan fenomena tunggal atau monolitik.

Karena itu, penting mempertimbangkan pandangan antropolog Dale Eickelman dan ilmuwan politik James Piscatori dalam karya penting mereka

Muslim Politics (1996). Keduanya menyimpulkan, gambaran pokok politik Islam/Muslim di seluruh dunia ini adalah pergumulan dan pertarungan menyangkut “penafsiran makna-makna Islam dan penguasaan atas lembaga- lembaga politik formal dan informal yang mendukung pemaknaan Islam tersebut”. Pertarungan seperti ini melibatkan “objektivikasi “ pengetahuan tentang Islam yang memunculkan pluralisasi kekuasaan keagamaan.

Berdasarkan kerangka Eickelman dan Piscatori, Robert Hefner, antropolog Boston University, yang kini memberikan banyak perhatian tentang hubungan Islam madani (civil Islam) dengan demokrasi di Indonesia,

secara meyakinkan berargumen, tidak ada politik Islam/Muslim yang tunggal sehingga memunculkan pola yang mencakup seluruh peradaban

Islam (civilization-wide pattern of Muslim politics). Sebaliknya, yang ada

hanyalah sejumlah partai, organisasi, kelompok dan cita politik Islam/ Muslim yang tidak jarang terlibat dalam kompetisi tajam di antara mereka sendiri. Hefner menyimpulkan, pembentukan negara modern dan globalisasi ekonomi sekarang bahkan kian meningkatkan pluralisme dan pertarungan politik di dunia Muslim. Hasilnya, “perbenturan budaya” (clash of cultures)

yang terjadi dewasa ini dan dalam milenium baru tidak hanya berlangsung di antara peradaban-peradaban yang berbeda, melainkan secara mencolok juga terjadi di antara tradisi-tradisi politik yang bersaing dalam satu negara Muslim tertentu (Hefner 1999:41).

Kerangka Eickelman, Piscatori dan Hefner tersebut, hemat saya, sangat membantu kita menjelaskan berbagai indikasi tentang Islam politik yang sering dikutip pengamat seperti dikemukakan tadi. Liberalisasi politik Indonesia yang dimulai sejak interegnum Presiden Habibie yang berlanjut

pada masa Presiden Abdurrrahman Wahid, Presiden Megawati, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai Presiden Jokowi jelas memperlihatkan, politik Islam/Muslim kian kompleks dan sekaligus fragmented.

Kompleksitas dan fragmentasi itu sebagiannya didorong kebebasan politik yang terus berkelanjutan hingga sekarang. Fragmentasi itu semakin parah dengan meningkatnya “interest politics” atau bahkan “opportunist politics” daripada “ideological politics” seperti terlihat dari terciptanya koalisi- koalisi yang berbeda di antara berbagai parpol dari waktu ke waktu.

Realitas Islam politik, harus diakui, menjadi semakin rumit dengan adanya semangat “kebangkitan Islam”, yang juga melanda banyak kalangan Muslimin Indonesia sejak dasawarsa 1990-an, yang berusaha memberikan pemaknaan “baru” terhadap Islam. Hasilnya, cita, aspirasi, realitas dan praksis politik Islam/Muslim sejak kejatuhan Soeharto dari kekuasaannya kian terlibat dalam kontes dan pertarungan kian intens; yang pada gilirannya membuat ekspresi Islam politik menjadi semakin terfragmentasi.

Kemunculan parpol Islam dan lembaga atau kelompok longgar di kalangan kaum Muslimin Indonesia dapat dipandang merupakan representasi dari terjadinya kontes dan pertarungan pemaknaan terhadap Islam yang terus berlanjut tersebut. Ketiadaan otoritas dan hegemoni tunggal dalam pemaknaan Islam di Indonesia sejak masa awal penyebaran Islam hanya menambah kuatnya pluralitas pemaknaan Islam. Kenyataan ini sebenarnya menjadi esensi dari perdebatan, perbedaan, skisma, tarik menarik, dan bahkan konflik di antara pemaknaan, misalnya, tentang apa yang dimaksud

dengan “parpol Islam”, organisasi Islam dan kelompok Islam yang sekaligus mengandung klaim sebagai representasi umat Islam.

Melihat berbagai indikasi dan gejala ini, para pengamat yang ceroboh secara simplistis cenderung bersikap skeptis terhadap hubungan Islam dengan demokrasi. Kalangan seperti ini juga cenderung melakukan sweeping generalization, sehingga akhirnya sampai kepada kesimpulan yang jauh daripada akurat. Lazimnya, hal ini karena kalangan skeptis cenderung tidak mengkaji lebih cermat tentang berbagai indikasi tersebut khususnya dalam kaitan dengan realitas keagamaan dan sosio-politik mainstream kaum Muslimin Indonesia secara lebih luas dan komprehensif.

Meski demikian, sebenarnya adalah naif bersikap pesimis tentang masa depan demokrasi di Indonesia. Bahkan, sebaliknya, lagi-lagi mengutip Hefner, meski terdapat perbedaan-perbedaan tajam dan pertarungan yang kian

fragmented di kalangan kaum Muslimin Indonesia, keseimbangan kekuatan

mainstream Muslim di negeri ini tetap mendorong perkembangan civil Islam

yang demokratis. Demokrasi sampai sekarang memang belum sepenuhnya menjadi “the only game in town” di Indonesia; tetapi jelas, meski ada ekses- ekses seperti “money politics”, “mob politics” dan sebagainya, demokrasi di

Indonesia telah sampai pada “point of no return”.

Apakah civil Islam tersebut? Bob Hefner dalam karyanya Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (2000) menggambarkan, civil Islam tidak semata-mata merupakan faksimili dari gagasan aslinya dari Barat. Civil Islam

memegangi prinsip, demokrasi formal tidak dapat tegak kecuali kekuasaan negara dibatasi organisasi-organisasi masyarakat madani yang kuat. Tetapi, pada saat yang sama, organisasi-organisasi masyarakat madani dan budaya demokrasi tidak bisa bertumbuh baik kecuali jika mereka dilindungi negara yang menghargai masyarakat dengan menjunjung tinggi rule of law.

Masalahnya sekarang—dan ini merupakan tantangan terbesar dihadapi Indonesia dalam konsolidasi demokrasi lebih lanjut—adalah bagaimana memperkuat kembali negara Indonesia, dan pada saat yang sama juga memberdayakan masyarakat madani, dan memperkuat kembali ekonomi. Tidak efektifnya negara melindungi warganya dengan komitmen yang genuine

kepada rule of law, bukan hanya dapat melumpuhkan masyarakat madani, tetapi bahkan dapat mendorong berbagai kelompok dalam masyarakat untuk

take the law into their own hands. Demokrasi hanya bisa tumbuh dan terjamin,

pemulihan dan penguatan ekonomi juga instrumental untuk terwujudnya demokrasi.

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 115-119)