• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kembalinya Agama dan Sekularisme

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 123-125)

Meningkatnya penggunaan simbolisme dan konsep agama dalam politik Indonesia dewasa ini—seperti terakhir terlihat kembali dalam Pilpres 2014 antara pasangan Probowo-Hatta melawan Jokowi-JK dengan seluruh parpol dan pemilih pendukung masing-masing—sekali lagi membuktikan agama tetap dianggap kalangan politik tertentu sebagai potensi penting untuk mengarahkan perkembangan politik. Tetapi, segera jelas simbolisme agama tidak efektif dalam mengarahkan para pemilih. Namun, sekali lagi, kecenderungan itu hanya memperkuat argumen dan analisis kian banyak ahli tentang kembalinya agama ke kancah politik—yang merupakan gejala global—yang sebelumnya diteoritisasikan seharusnya kian sekuler.

Gagasan tentang teori sekularisasi (dan sekularisme) pada dasarnya sangat sederhana. Intinya, modernisasi pasti menghasilkan sekularisasi dan sekularisme, karena modernisasi mesti mengakibatkan kemunduran agama baik pada tingkat sosial-komunal maupun individual. Kemunduran agama itu, pada gilirannya, mesti diperkuat dengan penerapan sekularisme, di mana hal ihwal agama dipisahkan dari urusan publik, atau lebih tegasnya politik.

Wacana dan praktik tentang terpisahnya hal ihwal agama dengan politik pasti tidak baru di kalangan Muslim. Seperti disinggung di atas, secara historis—meski tidak menggunakan istilah “sekularisasi” atau “sekularisme”—pemisahan itu secara aktual telah terjadi sejak masa Dinasti Umayyah. Tetapi, pada tingkat wacana, argumen konseptual pertama tentang subjek ini, pertama kali dikemukakan `Ali `Abd al-Raziq yang segera memicu kontroversi dan perdebatan di kalangan para pemikir politik Islam. Bisa dipastikan, perdebatan itu terus berlangsung di berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk di Indonesia.

Pada pihak lain, melihat “kembalinya agama ke kancah politik”, gagasan tentang sekularisasi dan sekularisme yang bersumber dari pengalaman Eropa atau Barat umumnya terbukti keliru; tidak hanya bagi negara dan masyarakat Muslim atau agama non-Kristiani lain, tetapi juga bagi negara dan masyarakat Kristiani Eropa dan Amerika. Gejala kembalinya agama ke dalam politik itu, paling jelas terlihat di AS, sejak masa Presiden Ronald Reagan pada 1980-an sampai sekarang. Terus maraknya fenomena “born again Christians” memunculkan kelompok yang disebut kalangan Barat sendiri sebagai “neo-cons” (neo-konservatif) yang memegangi gagasan Mesianistis

dan apokalipstis Kristiani tentang “dunia yang harus diselamatkan” dari kekuatan atau poros kejahatan (axis of evils).

Karena itu, sekali lagi, modernisasi—dan juga globalisasi—telah gagal mengukuhkan sekularisasi dan sekularisme. Modernisasi tentu saja memiliki dampak sekularisasi tertentu bagi setiap masyarakat, tetapi dampak tersebut berbeda di antara satu negara dengan negara lain, antara satu masyarakat- keagamaan dengan lainnya. Dalam perbedaan-perbedaan tersebut terdapat pula kontradiksi-kontradiksi tertentu.

Dengan adanya perbedaan dan kontradiksi, keliru jika ada ahli tentang modernisasi, modernitas, dan modernisme mencoba membangun postulat- postulat sekularisasi, sekularitas dan sekularisme menjadi sebuah “grand theory” atau paradigma induk (master paradigm). Meski menghadapi

kelemahan internal semacam ini, para teoritisi modernisasi dan sekularisasi melakukan “sakralisasi” terhadap sekularitas dan sekularisme. “Tidak ada demokrasi tanpa sekularisme” (no secularism no democracy) merupakan salah satu contoh sakralisasi tersebut.

Sakralisasi semacam ini mengandung bahaya. Ia memunculkan apa yang disebut John Esposito (2000) sebagai “fundamentalisme sekuler militan”. Dari perspektif militant secular fundamentalism, sekularisme bukan sekadar pemisahan agama dengan politik, tetapi sekaligus ideologi anti agama dan anti-kepemimpinan agama (anti-clerical). Dari perspektif ini pula percampuran antara agama dan politik dipandang pasti merupakan hal tidak normal, tidak logis, berbahaya, dan ekstrem. Karena itu, kaum fundamentalis sekuler militan menuduh mereka yang membawa agama ke dalam politik sebagai orang ekstremis, fanatik dan fundamentalis (religious fundamentalists). Konotasi lain tercakup dalam tuduhan ini, kaum fundamentalis agama adalah orang yang berorientasi ke masa silam (backward looking) dan retrogresif;

bukan berorientasi ke masa kini, dunia kini (saeculum) dan masa depan. Bahaya fundamentalisme sekuler militan sudah jelas. Ideologi ini menolak multikulturalisme dan bahkan demokrasi. Kekuatan fundamentalis sekuler militan sering mewujudkan diri dalam bentuk sistem dan aktualisasi politik otoriter. Turki sejak masa Kemal Ataturk (1881-1938) merupakan contoh klasik negara fundamentalis sekular militan. Dari waktu ke waktu para penguasa fundamentalis sekuler militan yang didukung militer menindas demokrasi dan multikulturalisme; mencegah kaum Islamis berpartisipasi dalam politik dan sosial untuk mempertahankan sekularisme yang telah mereka sakralkan. Tetapi, seperti terlihat dalam pengalaman Turki dan banyak secularizing regimes lain di Timur Tengah, sekularisme gagal memenuhi janji modernitasnya.

Kegagalan rezim sekuler militan bukan hanya karena kecenderungan otoritarianismenya, tetapi juga karena kekeliruan asumsi yang inheren dalam teori modernisasi, sekularisasi, dan sekularisme itu sendiri. Sekularisme—pemisahan ketat antara agama dan politik—misalnya cenderung mengabaikan kenyataan, tradisi agama muncul dan berkembang dalam konteks sejarah, politik, sosial, dan ekonomi tertentu. Tradisi agama menyejarah meski sering dikatakan konservatif merupakan hasil proses perubahan dinamis. Dalam proses ini wahyu mendapat mediasi melalui penafsiran manusia atau wacana intelektual dan praktikal sebagai respons terhadap konteks sosio-historis tertentu pula.

Kekeliruan asumtif dan teoretis lain adalah bahwa penerapan sekularisasi dan sekularisme pada level masyarakat sebenarnya hampir tidak ada kaitannya dengan sekularisasi pada level kesadaran individual. Karena itu, lembaga keagamaan sangat boleh jadi kehilangan kekuatan dan pengaruh akibat sekularisasi dalam masyarakat Muslim. Tetapi, juga jelas kepercayaan dan praktik keagamaan lama dan baru tetap bertahan dalam kehidupan individu. Bahkan tidak jarang, individu seperti ini memunculkan lembaga keagamaan baru, yang bukan tidak mungkin menimbulkan dampak dan reperkusi politik tertentu vis-a-vis rezim sekuler.

Otorianisme rezim sekuler dan kekeliruan asumtif dan teoretis tadi hanya membuat legitimasi mereka kian pudar, sehingga memunculkan gelombang yang disebut Peter Berger sebagai “counter secularization”. Kenyataan ini juga menjadi raison d’etre bagi pencarian sistem politik lebih viable yang melibatkan agama, sehingga politik agama kian mengemuka pula dan tidak jarang memunculkan radical religious fundamentalism.

Fundamentalisme keagamaan yang sangat kuat berorientasi politik hampir mirip dalam radikalismenya dengan fundamentalisme sekuler militan. Kelompok fundamentalisme keagamaan radikal yang juga melakukan sakralisasi terhadap sistem teokrasi dengan mudah tergelincir ke dalam tindakan otoriter dan kekerasan seperti bisa disaksikan pula di Timur Tengah sepanjang sejarah.

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 123-125)