• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ragam Pendekatan dan Ragam Tanggapan

Cendekiawan yang dikenal cukup awal mengangkat masalah keharmonisan hubungan sosial antara umat beragama adalah Prof. H. A. Mukti Ali yang telah memperkenalkan dan mengembangkan studi “Ilmu Perbandingan Agama” di Indonesia. Peranan Mukti Ali sangat besar, baik sebagai Guru Besar di IAIN Sunan Kalijaga maupun sebagai Menteri Agama Republik Indonesia. Pendekatan akademik yang ditawarkan oleh Mukti Ali melalui konsep “perbandingan agama” memiliki makna yang luas. Istilah perbandingan agama yang ditawarkannya tidak hanya mencakup pemahaman akan doktrin atau ajaran dasar agama-agama, melainkan juga secara praktis mendorong keharmonisan hubungan antar-umat beragama. Menurutnya, untuk dapat melakukan studi agama-agama, dibutuhkan sebuah cara pandang yang luas dan terbuka, yang siap untuk menerima keberbedaan atau “agree in disagreement”.1 Sampai saat ini setidaknya sudah dua generasi yang menjadi

1 Mukti Ali telah menulis sejumlah buku dan artikel tentang masalah agama, hubungan antar- umat beragama, Islam dan pembangunan, dan sebagainya. Terkait dengan gagasan dan peran Mukti Ali, lihat Abdurrahman, Burhanuddin Daya, Djam’annuri (eds.), Agama dan Masyarakat: 70 Tahun H. A. Mukti Ali, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1993.

“pelanjut” gagasan Mukti Ali yang membincang keharmonisan antar umat beragama melalui studi agama-agama, seperti Prof. Burhanuddin Daya, Prof. Djam’annuri, Prof. Alef Theria Wasyim, Prof. M. Amin Abdullah dan Prof. Syafaatun Al-Mirzanah untuk menyebut beberapa di antaranya.

Sosok lain yang yang penting untuk disebut di sini adalah Prof. Nurcholish Madjid (Cak Nur), seorang cendekiawan Muslim yang refleksi-refleksinya kerap bersinggungan dengan persoalan-persoalan hubungan antarumat beragama. Cak Nur mewakili sebuah generasi di mana tradisi intelektualisme Islam digunakan untuk membaca realitas keagamaan di Indonesia yang plural. Ia juga dikenal sangat intensif menggunakan pendekatan teologis ketika berbicara tentang hubungan agama-agama. Beberapa artikel yang ditulisnya mengampanyekan tentang “titik temu” agama-agama. Melalui lembaganya, Yayasan Paramadina, Cak Nur telah menyemaikan perspektifnya tentang “Islam inklusif dan pluralis”, sebuah istilah yang mungkin jarang digunakan pada era H. A. Mukti Ali.

Generasi baru, terutama yang pernah berafiliasi dengan Paramadina, juga memiliki peran penting dalam melanjutkan gagasan Cak Nur. Hal ini bisa dilihat dari upaya yang dilakukan cendekiawan Muslim yang menyumbangkan gagasan mereka dalam buku Fikih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis yang diterbitkan oleh Yayasan Paramadina.2 Buku tersebut memuat beberapa tulisan dari cendekiawan Muslim—yang sering disebut-sebut “liberal”—di Indonesia seperti Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rachman, Ahmad Gaus AF dan Mun’im A Sirry. Buku tersebut mengulas beberapa topik seperti masalah pernikahan, waris, dan sebagainya. Fikih Lintas Agama ditulis dalam rangka memberikan perspektif Islam terhadap fakta sosial yang terjadi di kalangan umat Islam di Indonesia ketika berinteraksi dengan non-Muslim. Sementara itu, Budhy Munawar-Rachman, seorang sosok cendekiawan yang memiliki dedikasi dalam mengampanyekan ‘pluralisme agama’ dan lama nyantri kepada Cak Nur, belakangan menulis tiga jilid buku dengan judul Argumen Islam untuk Pluralisme. Buku tersebut ditulis secara lebih sistematis dan mendalam tentang bagaimana Islam berbicara tentang pluralisme. Budhy juga memberikan rangkuman dan peta wacana dan perdebatan tentang pluralisme agama di kalangan Muslim Indonesia serta konsekuensi sosial-politiknya.

2 Mun’im A. Sirry (ed.), Fikih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2003.

Tentu, kita tidak bisa mengabaikan sosok penting lainnya dalam merumuskan keragaman agama-agama dan budaya di Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid atau kerap dipanggil Gus Dur. Sebelum menjadi Presiden Republik Indonesia, Gus Dur dikenal sebagai seorang intelektual publik yang gagasan dan pemikirannya kerap berada di luar arus utama. Esai-esai yang pernah ditulisnya memang tidak “seberat” tulisan-tulisan Cak Nur, dan tidak pula “seteoretis” Mukti Ali. Namun, gagasan Gus Dur memiliki arah yang sama dengan para tokoh lainnya dalam merumuskan Islam Indonesia yang terbuka dan kosmopolit. Sebagai sosok yang mewakili darah “Islam tradisionalis” di Indonesia, Gus Dur sangat populer tidak hanya di kalangan para akademisi, tetapi juga para aktivis sosial lintas agama. Gus Dur tidak saja mencoba “mendekatkan” Muslim dengan non-Muslim secara keagamaan, sosial dan kultural, tetapi juga berperan penting dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru tentang agama-agama di Indonesia. Salah satu peninggalan Gus Dur saat menjadi Presiden Republik Indonesia adalah diterimanya Konghucu sebagai salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia, dan memberikan ruang kepada masyarakat Tionghoa untuk menampilkan identitas kultural mereka secara terbuka kepada khalayak umum. Pun, generasi baru dari kalangan “tradisionalis” yang pernah meramaikan wacana tentang pluralisme bermunculan, sebut saja Ulil Abshar-Abdalla, Abdul Moqsith Ghazali, Zuhairi Misrawi, dan Syafiq Hasyim. Seiring dengan Gus Dur dan Cak Nur, tentu masih banyak nama lain di kalangan Muslim yang punya peran penting dalam menggagas wacana pluralisme agama di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan yang berbeda satu sama lainnya. Beberapa di antara mereka adalah Djohan Effendi, M. Dawam Rahardjo, Moeslim Abdurrahman, dan lain-lain. Sosok- sosok yang telah disebutkan di atas beserta gagasan yang mereka tawarkan telah mewarnai khazanah keislaman dan menghangatkan perdebatan intelektualisme Islam tentang keharmonisan hubungan antar-umat beragama di Indonesia.

Istilah “pluralisme agama” sendiri memang telah menyulut perdebatan di pelbagai tempat. Forum-forum bedah buku dan seminar digelar, dan sebagai sebuah wacana, topik “Islam, Pluralisme dan Toleransi” terus menggelinding di hadapan publik. Banyak kalangan Muslim yang memberikan apresiasi terhadap karya-karya cendekiawan Muslim di atas, tetapi tidak sedikit pula cendekiawan Muslim Indonesia dan ulama yang menunjukkan ketidaksetujuan dan resistensi mereka terhadap gagasan pluralisme agama.

Dalam kurun waktu tahun 2000-2010, masalah pluralisme menjadi salah satu masalah yang cukup sering diulas dan diperdebatkan di kalangan para akademisi dan aktivis Muslim, baik oleh pendukung maupun para penentang gagasan tersebut. Beberapa buku yang lahir pada periode itu antara lain: Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (2005); Adian Husaini, Islam Liberalisme, Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual (2005); Adian Husaini, Memahami Paham Pluralisme Agama (2008); Hamid Fahmy Zarkasyi dan Adnin Armas, Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim, dan lain-lain.

Ramainya perbincangan tentang topik pluralisme pada masa itu telah mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk ikut menyampaikan pandangannya. Pada tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap pluralisme agama. Fatwa tersebut lahir sebagai respons MUI terhadap semakin panasnya “perdebatan teologis” di kalangan Muslim Indonesia tentang agama-agama dan hubungan antar-umat beragama. Berdasarkan hasil rumusan MUNAS VII MUI, pluralisme agama dimaknai sebagai berikut:

“Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif;

oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya

agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”

Dalam penjelasan tentang ketentuan hukum Pluralisme, MUI menyatakan demikian:

Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif,

dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam

dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.

Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan

aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak

saling merugikan.

Tidak hanya MUI, ormas-ormas dan tokoh-tokoh Muslim di pelbagai daerah juga banyak yang menunjukkan sikap tegas menolak pluralisme agama dalam makna yang didefinisikan MUI. Di dalam fatwanya, MUI menolak dengan tegas penyamaan agama-agama, tetapi menerima sikap inklusif

hubungan sosial yang dijalin umat Islam bersama penganut agama yang lain. Dalam konteks inilah kerap terjadi perdebatan dalam mengompromikan “pandangan teologis” dan “sikap sosial”. Pasalnya, sikap sosial erat kaitannya dengan pandangan teologis, meski tidak semua sikap sosial sejalan seiring dengan pandangan teologis. Apalagi sikap sosial diekspresikan ketika irisan- irisan antara persoalan teologis dan sosial berimpitan, misalnya dalam masalah pelaksanaan ibadah keseharian, pembangunan rumah ibadah, pernikahan, kepemimpinan, hak-hak Muslim dan non-Muslim, simbol keagamaan di ruang publik, dan lain sebagainya.