• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konteks Piagam Madinah dan Pancasila

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 129-135)

Sebelum melihat muatan dari konstitusi Piagam Madinah dan Pancasila, tulisan ini ingin memulai dari paparan mengenai konteks dari masing-masing konstitusi tersebut. Dalam kesempatan pertama, penulis memandang perlu untuk mengemukakan tentang Piagam Madinah terlebih dahulu.

Menurut sumber-sumber yang ada, Ibn Hisham adalah orang pertama yang telah menyebutkan Piagam Madinah. Ia meriwayatkan sebuah laporan dari Ibn Ishaq3 yang meninggal pada 151 H. Setelah Ibn Hisyam, ada sumber awal lain yang menyebutkan tentang Piagam Madinah, seperti karya Ibn Kathir Bidayah, karya Abu Ubaid Gharib al-Hadith, karya Ibnu Sa’ad Tabaqat,

dan enam kitab hadis utama. Sebagian dari sumber-sumber ini menyebutkan semua artikel dalam Piagam Madinah sementara sebagian lainnya hanya menyebutkan bagian tertentu. Selain itu, beberapa ulama kontemporer menyebutkan empat puluh tujuh pasal dalam Piagam Madinah, sementara lainnya ada yang menyebutkan hingga lima puluh dua pasal yang terbagi dalam dua sub-pasal. Meskipun beberapa intelektual Muslim masih mempertanyakan keandalan historisitas Piagam Madinah, pandangan mayoritas menyimpulkan bahwa pasal-pasal dalam Piagam Madinah itu autentik dan proses perjanjiannya berlangsung di rumah Anas bin Malik, sahabat terkenal Nabi.

Juga penting untuk dicatat bahwa Piagam Madinah sering menyebut dirinya sebagai kitab atau shahifah untuk menunjukkan bahwa artikel di dalamnya disusun secara serius dan dicatat dalam urutan logis (tidak acak). Selain itu, dua istilah tersebut dalam bahasa Arab menunjukkan bahwa Piagam Madinah itu bersifat mengikat dan berwibawa. Jika kita menganalisis beberapa istilah bahasa Arab yang digunakan untuk Al-Quran, kita menyadari bahwa kitab adalah istilah yang cukup sering digunakan.

3 Muhammad Ibn Ishaq, Al-Sirah al-Nabawiyah (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, 2007), juz 3,

hh.. 31-35; Ibnu Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah (tk.: Maktabah Maarif, tt.), juz 2, hh.. 224-

Teks Al-Quran juga disebut mushaf dalam bahasa Arab. Kata ini berasal dari akar yang sama dengan shahifah. Saya pikir rincian ini menunjukkan dengan jelas sifat mengikat dari Piagam Madinah. Singkatnya, para sarjana Muslim modern menganggap Piagam Madinah sebagai perjanjian hukum pertama tertulis yang ditandatangani oleh beragam komunitas dalam sejarah umat manusia. Bukti menunjukkan bahwa Piagam itu tidak hanya kerangka teoretis tetapi juga dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat Madinah yang plural.

Yang terpenting dari dokumen ini ialah teladan Muhammad sebagai pemimpin komunitas Muslim dan non-Muslim di Madinah. Teladan ini juga berkontribusi bagi pertumbuhan kebinekaan dan keanekaragaman Islam yang memungkinkan agama-agama untuk hidup berdampingan secara damai di antara berbagai agama-agama dalam sebuah negara Islam. Meskipun keberadaan Piagam Madinah terpisah dari Al-Quran dan hadis, namun tetap kompatibel dengan keduanya, Piagam ini berfungsi sebagai teks konstitusi teladan dan mendasar bagi orang-orang Muslim yang menjadi karakteristik kebudayaan dan sejarah mereka. Piagam Madinah juga dapat mengakomodasi berbagai interpretasi mengenai komposisi umat, hak dan kewajiban penguasa dan pemerintah, dan peran fundamental negara. Dengan kata lain, Piagam Madinah memberikan model dasar nilai-nilai sosial, adat istiadat, dan institusional untuk masyarakat Muslim.

Lebih lanjut, ada perdebatan di antara para sarjana mengenai apakah Piagam Madinah ditulis sebagai kesatuan dokumen. Bukti dokumenter mendukung pendapat bahwa sebagian besar piagam ini ditulis dalam periode tepat setelah hijrah, ketika Muhammad menjadi hakim dan arbiter di Madinah. Selain itu , banyak dari teks piagam ini yang selaras dengan ayat- ayat Al-Quran.

Periode Madinah terjadi setelah penganiayaan intens atas Muhammad dan pengikutnya selama berada di Makkah yang memaksa mereka untuk berhijrah dan menetap di tempat lain. Setelah mendengar anugerah kenabiannya, kaum Anshar mengundangnya ke Madinah untuk bertindak sebagai hakim untuk menengahi perselisihan antara berbagai klan dan kepala klan.4 Dalam pandangan Barat, Muhammad adalah primus inter pares (yang utama di antara yang setara) dan maksud dari undangan kaum Anshar itu tidak untuk mengubah status quo dari hubungan kekuasaan

4 Jonathan Porter Berkey, The Formation of Islam: Religion and Society in the near East, 600- 1800, Themes in Islamic History Vol. 2. New York: Cambridge University Press, 2003, h. 68.

dalam Madinah yang melampaui pengakuannya sebagai nabi yang mampu memberikan keputusan atas nama Allah, sehingga suku-suku Arab Madinah, dan akhirnya seluruh Jazirah Arab dapat menerima aturan dari Nabi yang sangat cermat dan karismatik.5

Piagam Madinah telah diidentifikasi sebagai konstitusi nasional tertulis pertama di dunia.6 Meskipun sebelum adanya Piagam Madinah, ada dokumen sejenis seperti Samuel di dalam Tanakh atau Perjanjian Lama, Artha-sastra oleh Kautilya dan Manusmrti dalam tradisi Hinduisme, dan juga

Athenaion politeia (Konstitusi Athena) oleh Aristoteles. Namun, semua tulisan

itu hanyalah dalam bentuk saran kepada raja atau ratu. Tak satu pun dari mereka memiliki kewenangan sebagai konstitusi nasional.7

Al-Madinah al-Munawarah adalah sebuah negara kota yang telah dibangun di atas fondasi yang kokoh melalui pembentukan undang-undang. Piagam Madinah adalah konstitusi nasional yang telah diciptakan oleh Nabi berdasarkan konsensus semua pemimpin etnis di 622 H. Ini adalah kode tindakan dan piagam hak-hak dan kewajiban yang harus menjadi kebijakan pemerintahan Madinah. Selain menjadi fokus kajian dari Barakat Ahmad, Muhammad Hamidullah, Muhammad Tahir al-Qadri, dan Ali Khan, Piagam Madinah juga telah menarik perhatian dari peneliti Barat seperti Julius Wellhausen, Mueller, Hubert Grimme, Bernard Lewis, Sprenger, Wersinck, Caetow, Cetani, Buhl, Ranke, R.B. Serjeant, Montgomery Watt.

Dalam beberapa penjelasan piagam ini, bisa dipastikan bahwa Piagam Madinah ditulis berdasarkan wahyu dari Allah. Pasal 42 dan 46 adalah contoh yang menyatakan bahwa Allah menjadi saksi atas manfaat dan kebenaran dari isi piagam ini dan telah memberkatinya. Secara tidak langsung, ini mengungkapkan aspek ilahi dari piagam yang memang selaras dengan wahyu Allah dan Islam.

Secara umum, menurut al-Buti (1997), Piagam Madinah terdiri dari 52 pasal sebagaimana dimaksud dalam Sirah Ibn Hisyam. Namun demikian, Muhammad Tahir al-Qadri dalam Constitutional Analysis of the Constitution of Medina menyatakan ada 63 pasal. Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, secara umum, Piagam Madinah terdiri dari dua bagian yang berbeda. Bagian pertama adalah 23 artikel yang berhubungan dengan urusan Islam. Di sisi 5 W. Montgomery Watt. Muhammad at Mecca, Oxford: Clarendon Press, 1953, h. 238. 6 Muhammad Hamidullah, First Written Constitution of the World, Lahore: SH. Muhammad

Ashraf Publisher, 1968.

lain, bagian selanjutnya berhubungan dengan non-Muslim seperti urusan Yahudi.

Piagam Madinah merupakan kontrak sosial yang didasarkan pada konsep perjanjian masyarakat yang terdiri dari etnis yang beragam yang bisa hidup di bawah satu atap dan satu Tuhan. Piagam juga menyatakan metode untuk memecahkan semua persoalan antara etnis dan kelompok yang beragam secara damai tanpa memaksa etnis tertentu untuk memeluk satu agama, satu bahasa atau satu budaya. Hal ini mencerminkan bahwa Nabi Muhammad memiliki keterampilan diplomatik yang tinggi sehingga dapat membentuk

aliansi dengan semua pertimbangan praktis tanpa mengabaikan aspek agama.

Sebagaimana Piagam Madinah, Pancasila juga memiliki sejarah tersendiri. Nilai-nilai Pancasila diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara, dan dijadikan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Proses formal tersebut dilakukan dalam sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pertama, sidang Panitia 9, sidang BPUPKI kedua, serta akhirnya disahkan secara yuridis sebagai dasar Negara RI. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk membentuk negara sangat erat kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan kerakyatan, serta keadilan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah dihayati dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup masyarakat. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka untuk memahami Pancasila secara komprehensif dan integral terutama dalam kaitannya

dengan pembentukan watak bangsa (nation and character building) yang

akhir-akhir ini menunjukkan adanya dekadensi/degradasi, menjadi sangat

penting.

Setelah Jepang merasa akan kalah dalam Perang Dunia II, mereka meyakinkan bangsa Indonesia tentang kemerdekaan yang dijanjikan dengan membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan itu dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbi Cosakai. Jenderal Kumakichi Harada, Komandan

Pasukan Jepang untuk Jawa pada tanggal 1 Maret 1945 mengumumkan pembentukan BPUPKI. Pada tanggal 28 Mei 1945 diumumkan pengangkatan anggota BPUPKI. Upacara peresmiannya dilaksanakan di Gedung Chuo Sangi In di Pejambon Jakarta (sekarang Gedung Departemen Luar Negeri) oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan Bala tentara Jepang di Jawa) disertai dengan pengibaran bendera Merah Putih di samping bendera Hinomaru.

Ketua BPUPKI ditunjuk Jepang adalah dr. Rajiman Wedyodiningrat, wakilnya adalah Icibangase (Jepang), dan sebagai sekretarisnya adalah R.P. Soeroso. Jumlah anggota BPUPKI adalah 63 orang yang mewakili hampir seluruh wilayah Indonesia, ditambah 7 orang tanpa hak suara yang terdiri dari golongan ulama, cendekiawan, petani, pedagang, wartawan, bangsawan, rakyat jelata, PETA, serta beberapa keturunan Eropa, Cina, dan Arab.

Setelah terbentuk, BPUPKI segera mengadakan persidangan. Masa persidangan pertama BPUPKI dimulai pada tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945 di Gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta yang

kini dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila. Pada zaman Belanda, gedung

tersebut merupakan Gedung Volksraad, lembaga DPR bentukan Belanda. Pada masa persidangan ini, BPUPKI membahas rumusan dasar negara untuk Indonesia merdeka. Pada persidangan dikemukakan berbagai pendapat tentang dasar negara yang akan dipakai Indonesia merdeka. Pendapat tersebut disampaikan oleh Mr. Mohammad Yamin,8 Mr. Supomo,9 dan Ir. Sukarno.10

Sehari sesudah proklamasi, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, terjadilah rapat “Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (PPKI). Panitia ini dibentuk sebelum proklamasi dan mulai aktif bekerja mulai tanggal 9 Agustus 1945

8 Mohammad Yamin mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka (secara lisan) yang intinya sebagai berikut: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, kesejahteraan rakyat. Beliau juga mengusulkan secara tertulis sebagai berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa, Persatuan Kebangsaan Indonesia, Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kenyataan mengenai isi pidato serta usul tertulis mengenai Rancangan UUD yang dikemukakan oleh Muhammad Yamin itu dapatlah meyakinkan kita bahwa Pancasila tidaklah lahir pada tanggal 1 Juni 1945 karena pada tanggal 29 Mei 1945 Muhammad Yamin telah mengucapkan pidato serta menyampaikan usul rancangan UUD Negara Republik Indonesia yang berisi lima asas dasar negara. Karena itu, banyak orang yang menyebut Muhamad Yamin sebagai penemu Pancasila. BJ Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, secara terang-terangan menyebut Muh Yamin sebagai penemu Pancasila, bukan Bung Karno.

9 Mr. Supomo mendapat giliran mengemukakan pemikirannya di hadapan sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Pemikirannya berupa penjelasan tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan dasar negara Indonesia merdeka. Negara yang akan dibentuk hendaklah negara integralistik yang berdasarkan pada hal-hal berikut ini: Persatuan Indonesia, Kekeluargaan, Keseimbangan lahir dan batin, Musyawarah, Keadilan sosial. Mr. Soepomo dalam pidatonya selain memberikan rumusan tentang Pancasila, juga memberikan pemikiran tentang paham integralistik Indonesia.

10 Sebutan “Pancasila” diusulkan oleh Bung Karno. Menurutnya, Sila artinya asas atau dasar dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi”. Kelima sila secara berurutan sebagai berikut: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri- kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi; Kesejahteraan sosial, Ketuhanan.

dengan beranggotakan 29 orang. Dengan mempergunakan rancangan yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI, maka PPKI dapat menyelesaikan acara hari itu untuk melengkapi kelengkapan suatu negara, yaitu: a) Menetapkan Undang-Undang Dasar; dan b) Memilih Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi sayangnya Piagam Jakarta yang telah matang disetujui bersama untuk dibacakan pada proklamasi tanggal 17 Agustus dan akan disahkan pada 18 Agustus 1945 itu digagalkan Soekarno dan kawan-kawannya. Pagi-pagi buta jam 04.00, Soekarno mengajak Hatta ke rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan teks proklamasi. Naskah dari Panitia Sembilan dimentahkan di rumah perwira Jepang itu dan diganti coret-coretan teks proklamasi yang sangat ringkas.

Akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta juga diubah secara mendasar. Lewat rapat kilat yang berlangsung tidak sampai tiga jam, hal-hal penting yang berkenaan dengan Islam dicoret dari naskah aslinya. Dalam rapat yang mendadak yang diprakarsai oleh Soekarno (dan Hatta) itu, empat wakil umat Islam yang ikut dalam penyusunan Piagam Jakarta tidak hadir. Yang hadir adalah Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Yang lain adalah Soekarno, Hatta, Supomo, Radjiman Wedyodiningrat, Soeroso, Soetardjo, Oto Iskandar Dinata, Abdul Kadir, Soerjomihardjo, Purbojo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Amir, Abbas, Mohammad Hasan, Hamdhani, Ratulangi, Andi Pangeran, dan I Bagus Ketut Pudja.

Dalam rapat yang dipimpin Soekarno yang berlangsung pada jam 11.30- 13.45 itu diputuskan: Pertama, Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”. Kedua, dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: “Berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Hal ini didasarkan protes dari kaum minoritas non-Muslim di Wilayah timur Indonesia yang mengancam akan memisahkan diri dari RI jika sila pertama tidak diganti. Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 biasa disebut dengan Rumusan Pancasila 3 dan telah disahkan PPKI serta seperti yang berlaku sekarang ini.

Ummah dalam Piagam Madinah:

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 129-135)