• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Rekonstruks

Rekonstruksi ilmu fikih didasarkan pada at-Taubah ayat 122 yang menganjurkan agar ada sebagian umat yang melakukan tafaqquh fi al-dîn,

mempelajari al-dîn sehingga menjadi ahli tentangnya. Al-Din dalam ayat itu sudah barang tentu adalah al-dîn al-islâm atau Dinul Islam yang diridhai

Allah yang ditegaskan dalam al-Maidah ayat 3, yang berdasarkan munâsabah

Hamim Ilyas

antarkalimat di dalamnya dapat diyakini bahwa ia menegaskan definisinya sebagai dîn wa ni’mah (agama dan peradaban).

Batasan pertama dari definisi Islam dalam al-Maidah ayat 3 adalah dîn,

agama. Pengertian dari batasan ini dapat dipahami dari Surat al-Kafirun yang berdasarkan asbâb al-nuzûl dan munâsabah antara bagian akhir dengan bagian sebelumnya menunjukkan makna din yang tepat untuk memaknai kata din dalam al-Maidah ayat 3 tersebut.

Asbâb al-nuzûl Surat al-Kafirun, sebagaimana yang disebutkan al-Suyuthi, adalah usulan orang-orang Quraisy kepada Nabi untuk melakukan kompromi dalam memeluk agama. Mereka mengajak untuk menyembah Tuhan sesembahan dalam Islam dan paganisme Arab secara bergantian. Dalam satu tahun mereka mau menyembah Allah bersama Nabi, kemudian dalam satu tahun berikutnya mereka meminta Nabi bersedia menyembah berhala bersama mereka.1 Surat itu turun menolak tawaran mereka dengan meminta Nabi untuk mengatakan bahwa dia tidak menyembah berhala yang mereka sembah dan mereka tidak menyembah Allah yang dia sembah. Perkataan ini diakhiri dengan pernyataan “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pengertian din yang dimaksudkan dalam surat itu adalah peribadatan kepada Wujud Adikodrati yang dipercayai sebagai Tuhan yang harus disembah sehingga meliputi sistem kepercayaan dan sistem peribadatan. Berkaitan dengan ini, perlu dijelaskan bahwa dalam Islam memang terdapat gagasan peribadatan dengan pengertian luas yang tidak hanya meliputi penyembahan dan pemujaan kepada Allah, tapi juga pengabdian kepada-Nya. Gagasan luas ini tidak ada dalam agama paganis Arab, khususnya yang dianut masyarakat Makkah yang bersama Nabi menjadi subjek yang dibicarakan dalam Surat al-Kafirun itu. Karena itu, pengertian agama di dalamnya berdasarkan asbâb al-nuzûl-nya adalah pengertian umum

agama, yakni sistem kepercayaan dan peribadatan.

Kemudian mengenai pemahaman berdasarkan munâsabah, Surat al- Kafirun menyebutkan kata dîn dalam ayat terakhir (lakum dînukum wa liya dîn). Pengertian kata ini sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan

ayat-ayat sebelumnya. Dalam bagian sebelumnya bisa dikatakan ada penegasan tentang toleransi beragama dengan menghormati peribadatan yang ada pada tiap-tiap agama tanpa mempedulikan apa pun yang dijadikan sesembahan (lâ a’budu mâ ta’budûn wa lâ antum ‘âbidûna mâ a’bud). Penegasan 1 Jalaluddin al-Suyuthi, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb al-Nuzûl, Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-

sikap toleran terhadap peribadatan itu menunjukkan bahwa pengertian agama di akhir surat tersebut adalah sistem kepercayaan dan peribadatan. Hal ini karena, seperti baru saja dikatakan, peribadatan merupakan penyembahan dan pemujaan terhadap Wujud Adikodrati yang dipercayai dalam agama yang berarti bahwa ia (agama) meliputi sistem kepercayaan dan sistem peribadatan.

Kemudian batasan kedua dari definisi Islam dalam al-Maidah ayat 3 adalah ni’mah. Dalam menjelaskan arti bahasa ni’mah, al-Ashfahani hanya menyebutkan satu arti, al-hâlah al-hasanah (keadaan yang baik).2 Adapun Ibn Mandhur menyebutkan empat arti: al-yad al-baidha’ al-shâlihah (tangan putih

yang baik), al-shâni’ah (memberikan kebaikan nyata dengan tindakan yang baik), al-minnah (anugerah terus-menerus), dan mâ un’ima bihi ‘alaika (apa

yang dianugerahkan kepadamu).3 Arti-arti yang dikemukakan dua ulama ini tidak perlu dipermasalahkan karena bisa dipadukan dengan hubungan sebab-akibat atau lantaran-hasil. Maksudnya tangan putih yang baik dan seterusnya mengakibatkan atau menghasilkan keadaan baik bagi pemilik dan penerimanya.

Kemudian mengenai maksud penyempurnaan ni’mah dalam al-Maidah

ayat 3, para mufasir mengemukakan pengertian beragam. Menurut Ibn Abbas, maksudnya adalah pelaksanaan haji oleh umat Islam secara eksklusif tanpa bercampur dengan kaum Musyrikin. Al-Thabari mengutip pandangan mufasir dari kalangan sahabat ini dalam riwayat sebagai berikut:

(Pada mulanya) Kaum Musyrikin dan Muslimin melaksanakan ibadah haji secara bersama-sama. Kemudian ketika Surat al-Bara’ah turun (pada tahun ke-8 H), kaum Musyrikin tidak dibolehkan lagi melaksanakan haji

sehingga kaum Muslimin dapat melaksanakan haji di Masjidil Haram tanpa bercampur dengan satu orang pun kaum Musyrikin. Hal ini menjadi penyempurnaan anugerah.4

Adapun al-Sya’bi dan ‘Amir mengemukakan maksud yang lebih luas, di samping pelaksanaan haji oleh umat Islam secara eksklusif, juga kehancuran sistem Jahiliyah dan meredupnya paham kemusyrikan. Al-Thabari mengutip

2 Al-Ashfahani, Mu’jam, h. 520. 3 Ibn Mandhur, Lisan, XII, h. 580.

pernyataan mufasir atau tokoh dari kalangan Tabi’in yang pertama dalam riwayat sebagai berikut:

Ayat ini turun di Arafah (pada waktu haji Wada’) di mana menara Jahiliyah

telah roboh, kemusyrikan telah meredup dan tidak ada satu orang paganis

pun yang haji bersama mereka (kaum Muslimin).5

Berdasarkan riwayat dari sahabat dan tabi’in itu, al-Thabari menyimpulkan bahwa maksud penyempurnaan ni’mah dalam al-Maidah

ayat 3 adalah kemenangan kaum Muslimin di zaman Nabi atas kaum paganis Arab. Tentang hal ini, dia mengemukakan pernyataan berikut:

Maksud Allah dengan firman-Nya (pada hari ini Aku genapkan atasmu ni’mah-Ku): Aku genapkan Anugerah-Ku atasmu wahai kaum mukminin

dengan memberikan kemenangan atas kaum musyrikin yang menjadi

musuh-Ku dan musuhmu. Aku buat juga mereka tidak memiliki harapan untuk membuatmu kembali mengikuti kemusyrikan yang dulu kamu

lakukan.6

Pokok kemenangan dengan variasi tertentu sebagai maksud penyempurnaan anugerah dalam ayat di atas, selanjutnya menjadi penjelasan yang dikemukakan beberapa mufasir sesudah al-Thabari. Dalam memberikan penjelasan dimaksud, mereka dapat dibedakan menjadi tiga kelompok.

Pertama, mereka yang memasukkan penyempurnaan agama sebagai bagian

dari pengertian penyempurnaan anugerah. Termasuk kelompok ini adalah al-Zamakhsyari yang mengemukakan makna penyempurnaan anugerah dalam wujud: pembebasan Makkah, memasukinya dengan aman dan penuh kemenangan, robohnya menara dan tempat-tempat peribadatan jahiliyah, haji eksklusif, tidak ada yang thawaf mengelilingi Ka’bah dengan telanjang, penyempurnaan urusan agama dan syariah. Dengan itu semua, menurutnya, Islam menjadi anugerah yang paling sempurna.7

Kedua, mereka yang tidak memasukkan penyempurnaan agama sebagai pengertian penyempurnaan anugerah. Termasuk kelompok ini adalah al-Baghawi yang menghubungkan firman “Aku genapkan anugerah-Ku kepadamu dengan firman “supaya Aku genapkan anugerah-Ku kepadamu”

5 Ibid., h. 99.

6 Ibid., h. 98.

dalam al-Baqarah ayat 150. Dia menyatakan bahwa penyempurnaan anugerah dalam al-Ma’idah ayat 3 merupakan pelaksanaan janji yang dikemukakan dalam al-Baqarah ayat 150. Di antara wujud penyempurnaan anugerah itu, menurutnya, adalah kaum mukminin dapat memasuki Makkah dengan aman penuh kemenangan dan melaksanakan haji dengan tenang tanpa bercampur dengan satu orang musyrik pun.8 Abdul Qadir al-Jilani telah mengemukakan makna semacam ini dengan menyatakan bahwa Allah telah menyempurnakan anugerah lahir dan batin dengan memberikan kekuasaan atas wilayah dan kemenangan atas musuh, memegang kendali atas pandangan-pandangan keliru dan kecenderungan-kecenderungan merusak, dan meridhai Islam (ketaatan) sebagai agama (jalan yang ditempuh).9

Ketiga, kelompok yang menjadikan kemenangan dan penyempurnaan

agama (serta makna lain) masing-masing sebagai makna alternatif yang valid dari penyempurnaan anugerah. Termasuk kelompok ini adalah al-Baidhawi yang mengemukakan makna penyempurnaan agama dengan: pemberian hidayah dan taufik atau penyempurnaan agama atau pembebasan Makkah dan perobohan menara jahiliyah.10 Abus Su’ud telah mengisyarakatkan validitas tiga makna yang dikemukakan ulama-ulama tafsir di atas, yakni: pembebasan Makkah dan memasukinya dengan aman dan penuh kemenangan, perobohan menara dan tempat-tempat pemujaan jahiliyah, larangan pelaksanaan haji oleh orang musyrik dan pelaksanaan thawaf dengan telanjang di Masjidil Haram; atau penyempurnaan agama dan syariat; atau pemberian hidayah dan taufik.11

Di samping mereka, diketahui ada al-Mawardi yang menyebutkan penyempurnaan agama sebagai satu-satunya makna dari penyempurnaan anugerah.12 Jadi, menurut ulama yang terkenal dengan pemikiran politiknya ini, juga tiga ulama tafsir yang disebutkan di atas (al-Zamakhsyari, al- Baidhawi dan Abu Su’ud), firman “dan Aku sempurnakan atasmu anugerah- Ku” ber-munâsabah dengan “Aku sempurnakan bagimu agamamu” dengan pola tafsîl-ijmâlî. Penyempurnaan agama menjadi rincian yang tercakup dalam pengertian penyempurnaan anugerah. Penjelasan ini membuktikan

8 Al-Baghawi, Ma’âlim, II, hh. 7-8. 9 Abdul Qadir al-Jilani, Tafsîr, I, h. 427.

10 Al-Baidhawi, Anwâr, I, h. 255. 11 Abu Su’ud, Irsyâd, II, h. 238.

12 Al-Mawardi, an-Nukat wa al-‘Uyûn (Tafsîr al-Mâwardî), Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,

kebenaran klaim bahwa pola munâsabah itu menjadi kebiasaan Al-Quran

dalam menyampaikan pesan yang disinggung di depan.

Berdasarkan arti ni’mah adalah al-hâlah al-hasanah yang dikemukakan al-Ashfahani, bisa diyakini bahwa makna penyempurnaan anugerah dalam al-Maidah ayat 3 adalah pemberian kemenangan—dengan segala wujudnya

yang disebutkan dalam hampir semua tafsir di atas—kepada kaum mukiminin di zaman Nabi. Penyempurnaan agama dan pemberian hidayah dan taufik—

yang disebutkan dalam sebagian tafsir di atas—memang merupakan anugerah, tapi keduanya bukan al-hâlah al-hasanah yang nota bene adalah realitas kehidupan nyata yang dijalani atau dialami. Apabila dipandang sebagai realitas kehidupan, maka keduanya baru menjadi realitas potensial dalam diri umat dan belum menjadi realitas aktual dalam kehidupan sosial mereka.

Kemenangan yang diperoleh kaum mukminin di zaman Nabi pasti berpangkal pada keunggulan yang mereka miliki. Dengan keunggulan itu, mereka menjadi pribadi dan masyarakat yang bermutu. Dalam Surat Ali Imran ayat 139 dan Muhammad ayat 35, Al-Quran menyebutkan tiga kualitas keunggulan mereka: kuat (tidak merasa lemah), gembira (tidak merasa sedih) dan tangguh (tidak menyerah).

Mereka memiliki keunggulan dengan kualitas itu tentu karena mereka mempunyai unsur-unsur yang tinggi dari kebudayaan: ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian dan sistem sosial yang kompleks. Dari sejarah zaman Nabi diketahui bahwa kaum Anshar dan Muhajirin masing-masing menguasai pertanian dan perdagangan di Madinah. Dengan penguasaan dua sektor ekonomi itu mereka mampu membeli peralatan-peralatan, termasuk peralatan militer yang produksinya dikuasai oleh kaum Yahudi. Diketahui pula mereka mengembangkan kesenian, khususnya seni suara, dan sistem sosial berkeadaban seperti sistem kemasyarakatan egaliter, hukum berkeadilan (penegakan hukum tanpa pandang bulu), politik kesejahteraan (perlindungan hak-hak warga negara), dan pendidikan inklusif, termasuk pendidikan bagi perempuan. Sejarah ini menunjukkan adanya unsur-unsur kebudayaan tinggi itu dalam praktik hidup mereka.

Dengan demikian, jika pemahaman al-Maidah ayat 3 dihubungkan dengan dua ayat yang menegaskan keunggulan kaum mukminin, pengertian penyempurnaan anugerah menjadi penyempurnaan unsur-unsur tinggi dari kebudayaan bagi mereka. Unsur-unsur kebudayaan tinggi dalam antropologi, seperti telah dijelaskan di depan, disebut peradaban. Karena itu, maksud

ni’mah dalam ayat tersebut adalah peradaban, sehingga pengertian din wa ni’mah sebagai definisi Islam adalah agama dan peradaban.

Penafsiran ni’mah dalam ayat tersebut dengan peradaban secara langsung

sangat sesuai dengan arti bahasanya “keadaan baik.” Keadaan baik bagi manusia hanya terwujud dalam kehidupan yang beradab. Terwujudnya kehidupan yang beradab pasti dengan peradaban, tidak dengan yang lain.

Penyempurnaan anugerah dalam al-Maidah ayat 3 diungkapkan dengan kata atamm (digabung dengan kata ganti “orang” pertama tunggal, tu,

menjadi atmamtu). Kata ini dibentuk dari tamâm yang menurut al-Ashfahani

berarti mencapai batas, tidak membutuhkan apa yang ada di luar sesuatu. Berbeda dari kata nâqish—sesuatu yang kurang—yang membutuhkan hal lain di luarnya.13 Adapun Ibn Mandhur menjelaskan bahwa artinya adalah lengkap (mâ tamma bihi). Dalam penjelasan tentang penggunaan tamâm

dalam berbagai ungkapan bisa dipahami bahwa, menurut Ibn Mandhur, kelengkapan yang menjadi pengertian tamâm meliputi kelengkapan unsur atau bagian, sifat dan fungsi. Sebagai contoh adalah hadis yang mengajarkan permohonan perlindungan kepada Allah dengan mengucapkan a’ûdzu bi kalimâtillah at-tâmmati (aku mohon perlindungan dengan kalimat-kalimat

Allah yang tamâm). Pengertian tamâm untuk kalimat-kalimat Allah dalam hadis itu adalah tidak ada kekurangan (unsur/bagian), tidak ada cacat (sifat) dan bermanfaat bagi yang mengucapkannya sehingga terjaga dari segala mara bahaya (fungsional).14 Dua arti yang tampak berbeda ini tidak perlu dipermasalahkan karena arti kedua memperjelas arti pertama.

Berdasarkan arti tamâm ini maka penyempurnaan anugerah yang dilakukan Allah dalam pengertian penyempurnaan peradaban untuk umat Islam adalah membuat lengkap atau genap bagian, sifat dan fungsinya. Dari sejarah yang telah dibicarakan di depan, peradaban mereka lengkap meliputi: ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian dan sistem sosial yang kompleks. Kemudian dari sejarah pula diketahui sifat dan fungsinya, yakni bersifat unggul dan maju sehingga berfungsi dalam mewujudkan kemenangan bagi mereka.

Kelengkapan bagian, sifat dan fungsi peradaban dalam sejarah Islam itu secara teologis terkandung dalam Al-Quran dan hadis. Dalam kedua sumber agama Islam ini terdapat ajaran-ajaran tentang ilmu pengetahuan, teknologi,

13 Al-Ashfahani, Mu’jam, h. 72. 14 Ibn Mandhur, Lisan, XII, h. 67.

kesenian dan sistem sosial yang kompleks yang unggul dan maju sehingga pengembangannya oleh umat dapat membuat mereka menjadi masyarakat pemenang. Kenyataannya dapat dilihat pada zaman pra-industri, terutama zaman Nabi sampai dengan zaman keemasan Islam. Pada zaman industri sekarang umat menjadi pecundang. Hal ini karena, seperti telah umum diketahui, mereka tidak mengembangkan peradaban unggul dan maju yang diajarkan dalam Al-Quran dan hadis yang dulu dikembangkan oleh genarasi awal Islam itu.

Mereka tidak mengembangkannya karena subjek-subjek itu belum menjadi wilayah kajian ilmu-ilmu agama Islam. Dengan rekonstruksi ilmu- ilmu agama Islam, subjek-subjek itu dapat menjadi wilayah kajian ilmu fikih. Ini berarti wilayah kajiannya diperluas meliputi seluruh sistem atau lembaga sosial, bahkan juga meliputi sistem gagasan idealitas.