• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran Kontekstualis terhadap Al-Quran

Tidak mudah, baik secara akademis apalagi secara sosial-politis, untuk mengubah atau merekonstruksi tata dan pola pikir dan budaya sosial- politik keberagamaan Islam. Budaya berpikir sosial-politik keberagamaan Islam telah mengkristal, membeku menjadi ‘belief’ atau ‘habits of mind’.

Habits of mind, kebiasaan berpikir, yang jauh dari sikap ragu dan kritis. Tidak

pernah terbayangkan adanya upaya untuk mempertanyakan, mengkaji dan menguji ulang premis-premis sosial-keislaman yang telah dibangun. Budaya keberagamaan Islam sudah terlanjur bercorak sektarianisme (thâ’ifiyyah) yang akut, berkelompok-kelompok menurut aliran kelompok mazhab pemikiran dan kepentingan (Madzhabiyyah) dan mencintai kelompok atau organisasinya sendiri secara berlebihan dan menegasikan peran kelompok dan organisasi lain, dalam bentuk primordialisme (hizbiyyah)13. Namun, justru itulah tantangan terberat yang dihadapi oleh para penafsir bercorak kontekstual-progresif era kontemporer.

Tidak mudah memang melakukan penafsiran Al-Quran secara kontekstual, karena diperlukan seperangkat ilmu yang tidak hanya linguistik (kebahasaan), tetapi juga ilmu-ilmu baru seperti ilmu-ilmu sosial, budaya dan sains modern pada umumnya. Seberat apa pun, namun hal ini perlu dilakukan untuk menghindari pemaknaan al-Rujû’ ila al-Qur’ân wa al-Sunnah berhenti hanya pada corak tekstualis maupun semi-tekstualis. Pola tafsir tekstualis dan semi-tekstualis yang ternyata punya akibat berat pertanggungjawaban sosial-politiknya baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Dirasakan menjadi beban berat masyarakat Muslim di mana pun berada untuk masa kontemporer saat sekarang ini dan lebih-lebih untuk masa yang akan datang. Dua prinsip penting yang menjadi salah satu kata kunci dasar dalam tafsir Al-Quran yang bercorak kontekstual-progresif adalah pertama, makna atau arti adalah bercorak interaktif. Artinya, pembaca (reader)—sebutlah sebagai umat yang mempunyai berbagai keahlian (expert)

secara umum—ikut serta sebagai participant dalam memproduksi makna dari

13 Al-Quran menyinggung realitas sosial yang pahit ini dengan ungkapan “kullu hizbin bi mâ ladaihim farihûn”,Surahal-Mukminûn, ayat 53. Dalam Surah al-Rûm, ayat 32 disebut lebih jelas lagi: “Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap gologan menjadi bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.

sebuah teks atau nash, dan bukannya penerima pasif, yang hanya begitu saja

‘menerima’ makna.14

Kedua, makna teks atau nash sesungguhnya adalah cair (fluid), tidak

mandek atau beku. Makna teks dapat dirembesi atau ditembus oleh perubahan, yakni tergantung pada waktu, konteks penggunaan bahasa dan keadaan sosial-sejarah. Pemahaman ini adalah bagian penting yang tidak terpisahkan dari corak tafsir kontekstual yang sedang kita bicarakan. “If

the meaning is fluid and susceptible to change, that is, dependent on time, linguistic

context and socio-historical circumstances, then that has been to be an essential part of our approach to the text”. Jika seorang pembaca mengutip teks dan kemudian

menyatakan suatu ketetapan yang fixed, tetap, tidak berubah, maka pembaca itu telah menyatukan dirinya dengan teks. Pembaca menjadi satu dengan teks dan berada pada posisi yang tertutup, tak tersentuh, transenden. Teks dan konstruksi yang diberikan pembaca menjadi tunggal dan sama. Tentu saja teks tetap otoritatif dan pembaca berubah menjadi otoriter, karena kebenaran hanya disajikan melalui suatu pembacaan yang telah dipilih oleh pembaca. Khaled Abou el-Fadl menamai kecenderungan hubungan yang tertutup antara teks dan pembacanya atau penafsirnya sebagai kesewenang- wenangan intelektual (“intellectual despotism”)15. Para penafsir Al-Quran kontekstual membolehkan para penafsir Al-Quran untuk menempatkan teks atau nash dalam konteks, kemudian menafsirkannya secara lebih konstruktif.

Oleh karenanya, bagi para penafsir kontekstual-progresif, arti dan peran asbâb al-nuzûl menjadi sangat penting. Konteks sosial dan budaya saat pewahyuan sangat penting. Ayat-ayat yang bermuatan ethico-legal sangat terkait dengan asbâb al-nuzûl. Hanya saja, pemahaman makna asbâb al-nuzûl 14 Khaled Abou el-Fadl mulai memperkenalkan bentuk pola piramida-segitiga (triadik) dalam penafsiran Al-Quran, yaitu pola kerja penafsiran yang melibatkan 3 elemen yang saling terkait, yaitu text, author dan reader. Pola triadik ini berbeda dari pola dan corak tafsir pada era sebelumnya yang bercorak diadik, yaitu adanya hubungan yang hanya terbatas antara teks atau nash dan mufassir (author). Peran reader tidak begitu kelihatan dan seringkali

tidak diakui di sini. Peran author (mufassir) yang mendominasi. Pola lama ini kehilangan hubungan intrinsic-nya peran reader yang sesungguhnya punya andil dan ikut serta sebagai

active participant dalam memproduksi makna dari sebuah teks atau nash. Sebuah arti atau

makna, yang dari dahulu, turun-temurun telah didominasi, dihegemoni dan ditentukan secara sepihak oleh para pemegang otoritas keagamaan seperti mufassir, mutakallimûn

dan fuqahâ (authors) lama. Seiring dengan perkembangan kualitas pendidikan yang berdampak munculnya ‘reader-reader’ baru, maka pola lama ini hendak disesuaikan dengan perkembangan terbaru dalam perkembangan masyarakat. Lebih lanjut Khaled Abou El-Fadl,

Speaking in God’s Name, Oxford: Oneworld Publications,2003.

15 Khaled Abou El-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Wowen, Oxford: Oneworld Publications, 2003, h. 96.

perlu disempurnakan. Pertama, asbâb al-nuzûl tidak lagi hanya terbatas atau dibatasi pada konteks sosial budaya, politik, tingkat capaian ilmu pengetahuan saat ayat Al-Quranitu diturunkan pada 1400 tahun lalu, lalu berhenti dan dikunci di situ. Jika berhenti dan dikunci hanya sampai di situ, kita akan mudah jatuh ke pangkuan cara baca tekstualis dan semi-tekstualis.

Asbâb al-nuzûl bagi para mufassir kontekstual-progresif perlu melibatkan

pemaknaan arti ayat-ayat Al-Quran (dan juga Hadis) dalam sinaran konteks perkembangan nilai-nilai baru-modern, seperti hak asasi manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini.16

Adalah Muhammad Syahrur, salah satu pemikir Muslim kontemporer, yang berpendapat bahwa umat Islam hendaknya berkeyakinan bahwa Al-Quran seolah-olah turun hari ini dan kemudian dimaknai dalam konteks sekarang. Dan bukannya seolah-olah turun hari ini, tetapi dimaknainya lewat cakrawala berpikir manusia masa lalu. Teori gerak ganda (double movement)-nya Fazlur

Rahman juga kurang lebih seperti itu. Teori 4 langkah (four stages)-nya Abdullah Saeed17 tidak jauh dari itu. Hanya saja Abdullah Saeed lebih rinci daripada Fazlur Rahman, karena Saeed melanjutkan upaya yang telah dirintis oleh Rahman. Sealur dengan ini, Jasser Auda menggunakan istilah al-qiyâs al wâsi’ (qiyâs yang diperluas)18. Bukan qiyâs seperti yang selama ini dipahami. Muhammad al-Talbi menyebut bahwa cara berpikir keagamaan Islam yang menggunakan qiyâs—seperti yang dipahami selama ini—lebih cenderung

bermakna literalis dan statis dan bukannya dinamis19. Dengan begitu, makna al-tsawâbit dan al-mutaghayyirât, atau juga qat’iy dan zhanny juga perlu

dirumuskan ulang sesuai dengan tingkat perkembangan ilmu pengetahuan. Apa yang dulu dikategorikan dan dimasukkan dalam wilayah al-tsawâbit,

bisa jadi berubah menjadi wilayah al-mutaghayyirât. Begitu pula sebaliknya.

Amina Wadud hanya berpesan lirih bahwa para ahli tafsir (mufassir), para

ahli teologi Islam (mutakallimûn), para ahli fikih (fuqahâ’), para ahli hukum (Qudhât) dan para juru dakwah modern sekarang (du’ât), para pengurus besar organisasi sosial-keagamaanyang menguasai kehidupan publik dan

16 Tentang Asbab al-Nuzul al-Qadim dan al-Jadid, lebih lanjut bandingkan dengan M. Amin Abdullah, “Metode Kontemporer Dalam Tafsir al-Qur’an: Kesalingterkaitan Asbab al-Nuzul al-Qadim dan al-Jadid dalam Tafsir al-Qur’an kontemporer”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 13, No. 1, Januari 2012, hh. 1-21.

17 Abdullah Saeed, Op. cit., h. 150-152. 18 Jasser Auda, Op.cit. h. xxv-xxvi.

19 Ronald L. Netler, “Mohamed Talbi on understanding the Qur’an”, dalam Suha Taji-Farouki (Ed.),

para netizens di media sosial sekarang perlu juga “mendengar suara dari

perempuan”20. Suara, aspirasi dan kritik dari perspektif perempuan dalam melihat realitas kehidupan sosial-keagamaan. Dan begitu selanjutnya.

Mengingat masih sedikit dan langkanya literatur keagamaan Islam yang membahas metode tafsir kontekstual–progresif, dengan mengadopsi teori Systems yang diusulkan oleh Jasser Auda untuk memperbaiki rumusan hukum Islam21, saya ingin memasukkan 6 fitur pendekatan Systems sebagai bagian tidak terpisahkan dari cara kerja tafsîr atau mufassir kontekstualis. Pendekatan Systems dengan keenam fiturnya sebagai sumbang saran

merancang bagaimana mode of thought dan basis filosofi yang diperlukan oleh

para mufassir kontekstualis dan bagaimana mengoperasionalisasikannya di alam pikiran dan kehidupan praksis Muslim era kontemporer sekarang.

Pertama, fitur kognitif -Idrâkiyyah, Cognition). Para penafsir

agama, lebih-lebih penafsir al-Qur’an perlu mampu memisahkan terlebih dahulu antara ‘Wahyu’ dan ‘Kognisi’ terhadap wahyu. Itu artinya, fikih yang selama ini berjalan umumnya diklaim sebagai bidang ‘pengetahuan Ilahiah’ perlu digeser menjadi bidang pengetahuan ‘kognisi (pemahaman rasio) manusia terhadap pengetahuan Ilahiah’. Ibn Taimiyyah pernah berpendapat bahwa agama adalah “apa yang ada dalam benak para ahli fikih” (fi dzihn

al-faqîh). Pembedaan ini akan berakibat pada pembedaan antara Syarî’ah

dan Fiqh. Syarî’ah adalah jalan menuju ketuhanan (Divinity), yang bersifat suci, sedang Fiqh (Fikih) atau pendapat seorang Faqîh (ahli fikih) adalah tafsir manusia (humanity) terhadap jalan tersebut, yang bersifat profan. Antara ‘wahyu’ dan ‘pemahaman dan penafsiran manusia tentang wahyu’22. Pemahaman adanya fitur kognisi dalam pemahaman keagamaan ini akan menjawab permasalahan akut dalam pemahaman dan keyakinan keagamaan, antara sisi ‘kemutlakan’ dan sisi ‘kenisbian’. Termasuk isu ‘pendangkalan akidah’ yang beredar luas di masyarakat.

Kedua, fitur kemenyeluruhan ; al-Kulliyyah, Wholeness). Elemen fitur ini ingin membenahi kelemahan Ushûl Fiqh klasik yang sering menggunakan pendekatan reduksionis dan atomistik. Pendekatan atomistik terlihat dari

20 Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam, Oxford: Oneworld, 2006. 21 Jasser Auda, Maqasid al-Syari’ah as a Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach, London

dan Washington: The International Institute of Islamic Thought, 2008.

22 Bandingkan dengan pendapat Abdul Karim Soroush yang disitir Clinton Bennett, Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates, London dan New York: Continuum, 2005, h. 122.

sikap mengandalkan hanya pada satu nash untuk menyelesaikan kasus-kasus

yang dihadapinya, tanpa memandang nash-nash lain yang terkait. Solusi yang ditawarkan adalah menerapkan prinsip holisme melalui operasionalisasi ‘tafsir tematik’ yang tidak lagi terbatas pada ayat-ayat hukum, melainkan juga melibatkan seluruh ayat Al-Quran, termasuk ayat-ayat yang terkandung di dalamnya pedoman kehidupan sosial dan budaya, sebagai pertimbangan dalam memutuskan hukum Islam secara komprehensif.

Ketiga, fitur keterbukaan al-Infitâhiyyah; Openness). Fitur ini berfungsi untuk memperluas jangkauan makna ‘Urf (adat kebiasaan). Jika

sebelumnya ‘Urf dimaksudkan untuk mengakomodasi adat kebiasaan yang berbeda dengan adat kebiasaan Arab (titik tekannya hanya pada zamân

(waktu) dan makân (tempat), maka ‘Urf dalam konteks saat ini titik tekannya

lebih pada ‘pandangan dunia dan wawasan keilmuan seorang faqîh

Nazhariyyah al-Ma’rifah yang dimiliki seorang faqîh), selain ruang, waktu dan

wilayah. Akan tetapi, ‘pandangan dunia’ seorang faqîh (ahli agama) haruslah ‘kompeten’, yaitu dibangun di atas basis fondasi ‘ilmiah’. Setidaknya ada dua implikasi dari reformasi ini dalam cara pandang terhadap hukum Islam, yaitu mengurangi literalisme dalam hukum Islam yang akhir-akhir ini kembali marak; serta ‘membuka’ sistem hukum Islam terhadap kemajuan dalam ilmu-ilmu alam, sosial dan budaya. Selain itu, hukum Islam juga dapat melakukan pembaruan diri melalui sikap keterbukaannya terhadap keilmuan lain, yang akan ikut membentuk ‘pandangan dunia seorang faqîh

yang kompeten’, termasuk di dalamnya adalah keterbukaan para ahli agama, para ahli fikih, terhadap masukan-masukan dari ilmu-ilmu sosial dan filsafat (Critical Philosophy).23

Keempat, fitur hierarki-saling berkaitan ; al- Harâkiriyyah al-Mu’tamadah Tabaduliyyan; interrelated hierarchy). Fitur ini

setidaknya memberikan perbaikan pada dua dimensi Maqâshid Syarî’ah

(Tujuan utama disyariatkannya agama). Pertama, perbaikan jangkauan

wilayah liputan Maqâshid. Jika sebelumnya Maqâshid tradisional umumnya hanya menekankan sisi yang bersifat partikular atau spesifik saja, sehingga berdampak pada pembatasan wilayah jangkauan Maqâshid, maka fitur hierarki-saling-terkait ini mengklasifikasi Maqâshid secara hierarkis yang 23 Bandingkan Ibrahim M. Abu-Rabi’, “A Post-September 11 Critical Assessment of Modern islamic History”, dalam Ian Markham dan Ibarhim M. Abu-Rabi’ (eds.), 11 September: Religious Perspectives on the Causes and Consequences, Oxford: Oneworld Publications, 2002, hh. 34-6.

meliputi tiga wilayah jangkauan: yaitu, Maqâshid Umum yang ditelaah dari

seluruh bagian hukum Islam yang menyentuh sisi kemanusiaan dan keadilan secara umum; Maqâshid Khusus yang dapat dilihat dari seluruh isi ‘bab’ hukum

Islam tertentu; dan Maqâshid Partikular yang diderivasi dari suatu nash atau hukum tertentu. Implikasinya, jika ketiga-tiganya secara bersama-sama ikut dipertimbangkan, dari yang paling umum, khusus hingga partikular, maka langkah demikian akan menghasilkan ‘khazanah’ Maqâshid yang melimpah, tidak hanya tertuju untuk kepentingan umat Islam saja. Kedua, perbaikan

wilayah jangkauan yang diliput oleh Maqâshid. Jika Maqâshid tradisional bersifat individual, maka fitur hierarki-saling terkait memberikan dimensi sosial dan publik pada teori Maqâshid kontemporer. Implikasinya, Maqâshid

menjangkau masyarakat, bangsa bahkan umat manusia. Selanjutnya,

Maqâshid publik itulah yang harus diprioritaskan ketika menghadapi dilema dengan Maqâshid yang bercorak individual dan partikular.24

Kelima, fitur multi-dimensionalitas Ta’addud al-Ab’âd; Multi- dimensionality), dikombinasikan dengan pendekatan Maqâshid, dapat mena-

war kan solusi atas dilema dalil-dalil yang bertentangan . Contoh- nya, sebuah atribut jika dipandang secara mono-dimensi, seperti perang dan damai, perintah dan larangan, kelaki-lakian atau kewanitaan dan seterusnya, akan menimbulkan kemungkinan besar pertentangan antar- dalil. Padahal, jika seseorang mau memperluas jangkauan penglihatannya dengan memasukkan satu dimensi lagi, yaitu Maqâshid, bisa jadi dalil-dalil yang seolah-olah bertentangan antara satu dan lainnya, sesungguhnya ti- dak lah demikian jika dilihat dan dibaca dalam konteks yang berbeda-beda. Jadi, kedua dalil yang tampaknya bertentangan dapat dikonsiliasi

pada suatu konteks baru, yaitu ‘Maqâshid’. Implikasinya adalah hukum Islam menjadi lebih fleksibel dalam menghadapi problematika kontemporer yang kompleks, bahkan dalil-dalil yang selama ini tidak difungsikan dapat difungsikan kembali melalui fitur multi-dimensionalitas ini, dengan catatan dapat meraih Maqâshid.

Keenam, fitur kebermaksudan atau tujuan utama al- Maqâshidiyyah; Purposefulness) ditujukan pada sumber-sumber primer, yaitu Al-Quran dan Hadis dan juga ditujukan pada sumber-sumber rasional, yaitu

24 Adagium hukum menegaskan bahwa diskreasi hukum/peraturan diperbolehkan hanya jika dimaksudkan untuk mencapai nilai yang lebih tinggi dalam hierarki nilai umum dan tidak dibenarkan regresi hukum/peraturan jika menghalangi pemenuhan nilai yang lebih tinggi dan umum.

Qiyâs, Istihsân, dan lain-lain. Contoh reformasi ini adalah Al-Quran ditelaah

dengan pendekatan holistik, sehingga surah-surah maupun ayat-ayat yang membahas tentang keimanan, kisah-kisah para Nabi, kehidupan akhirat dan alam semesta, seluruhnya akan menjadi bagian dari sebuah ‘gambar utuh’, sehingga memainkan peranan dalam pembentukan hukum-hukum yuridis. Otentitas Hadis tidak sekadar mengacu pada koherensi sanad dan matan, melainkan ditambah juga dengan koherensi sistematis. Oleh karena itu, ‘koherensi sistematis’ dapat menjadi sebutan bagi metode yang diusulkan oleh banyak reformis modern, yang berpendapat bahwa otentitas Hadis Nabi Saw., perlu ‘didasarkan pada sejauh mana hadis-hadis tersebut selaras dengan prinsip-prinsip Al-Quran’. Jadi, ‘koherensi sistematis’ harus ditambahkan kepada persyaratan autentisitas matan hadis Nabi. Di atas itu, prinsip-prinsip dasar seperti rasionalitas (Rationality), asas kemanfaatan (Utility), keadilan (Justice) dan moralitas (Morality) menjadi bagian tidak

terpisahkan dari tujuan dan maksud utama dari disyariatkannya agama Islam. Jika wajah dan penampilan agama (Islam) dalam kehidupan sehari- hari jauh dari keempat prinsip kriteria penilaian dasar tersebut maka ia semakin jauh dari prinsip dasar Maqâshid al-Syarî’ah dan semakin menjauh pula dari sifat Islam umumnya yang diklaim sebagai rahmat bagi semesta alam atau rahmatan li al-‘âlamîn.

Pada intinya, Jasser Auda menegaskan bahwa Maqâshid hukum Islam

merupakan tujuan inti dari seluruh metodologi ijtihad Ushûl, baiklinguistik maupun rasional. Lebih jauh, realisasi Maqâshid, dari sudut pandang teori

sistem, ingin mempertahankan keterbukaan, pembaruan, realisme dan keluwesan dalam sistem hukum Islam dan pandangan dunia umat Islam pada umumnya. Oleh karena itu, validitas ijtihâd maupun validitas suatu hukum harus ditentukan berdasarkan tingkatan realisasi Maqâshid al-Syarî’ah yang ia lakukan. Dengan demikian, hasil ijtihâd atau konklusi hukum untuk mencapai

Maqâshid harus diprioritaskan. Ijtihâd menjadi sangat penting perannya

karena hanya dengan ijtihâd, manusia Muslim dapat merealisasikan Maqâshid

dalam hukum Islam.

Enam fitur di atas sesungguhnya merupakan satu entitas keutuhan alat berpikir, yang saling terkait dan saling menembus antara yang satu dan lain (semipermeable) yang kemudian membentuk satu kesatuan sistemberpikir. Satu entitas keutuhan alat berpikir yang dapat digunakan untuk melihat seluas apa wawasan dan pandangan (Worldview) para calon mufassir dan lebih-lebih para mufassir, termasuk mutakallimûn, fuqahâ, du’ât dan publik

figur dan intelektual publik lainnya dalam memahami persoalan sosial- kemasyarakatan dan sosial-keislaman yang sedang dihadapi sekarang ini. Para mufassir keagamaan yang otoritatif memang pelu melewati ‘uji

komptensi’ jika ingin keluar ke wilayah publik. Tafsir kontekstual-progresif hanya mungkin dilakukan jika worldview dan metode yang digunakan oleh

para mufassir-nya disempurnakan dengan melibatkan beberapa komponen

dasar berpikir yang tergambar dalam 6 fitur di atas. Tanpa uji kompetensi, lalu lintas kehidupan beragama akan mengalami ketidaknyamanan untuk tidak menyebutnya sebagai chaotic.