• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Tekstualis dan Semi-tekstualis dalam Menafsirkan Al-Quran

Istilah al-Rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Sunnah adalah jargon dan matra yang netral.

Jargon dan matra ini bisa jatuh ke kalangan Tekstualis, Semi-tekstualis dan juga Kontekstualis. Jika jatuh ke tangan Tekstualis atau Semi-tekstualis, wajah dan cermin pelaksanaan ajaran Al-Quran dalam sisi ethico-legal, khususnya di bidang sosial-politik begitu kaku, rigid, keras, eksklusif, totalistik, non-compromise, jauh dari parameter ummatan wasatha dan lebih jauh lagi dari ukuran parameter wajah Islam yang rahmatan li al-‘âlamîn.

Mengapa demikian? Tafsir Tekstualis dan Semi-tekstualis menjadi begitu ketat, kaku, rigid dan eksklusif ketika ia dikawinkan dengan doktrin al- wallâ wa al-barrâ’ (setia, taat dan patuh hanya pada agama, golongan, sekte, aliran

dan kelompok sendiri, dan menolak, tidak taat, tidak patuh pada kelompok, agama, golongan, sekte, aliran lain yang tidak segolongan/seagama/ seorganisasi)6. Lebih mengejutkan lagi, ketika keduanya secara eksplisit juga ditambah dengan doktrin anti-Syi’ah dan anti tasawwuf. Kedua doktrin tersebut, yakni doktrin al-wallâ wa al-barrâ’ dan doktrin anti-syi’ah dan anti- tasawuf, yang bercampur-aduk dan berkait kelindan dengan doktrin al- Rujû’ ila al-Qur’ân wa al-Sunnah dan doktrin al-Hisbah (ajaran ber al-amru bi al-ma’rûf wa al-nahyu ‘an al-munkar/perintah untuk melakukan kebaikan dan melarang berbuat kemungkaran) menjadikan wajah sebagian umat Islam di

5 Ibid.

6 Roel Meijer, “Introduction”, dalam Roel Meijer (Ed.), Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, London: Hurst & Comopany, 2009, hh. 1-31, khususnya h.18.

mata dunia menjadi begitu kurang santun dan tidak ramah dan kurang cakap dalam menjalin persahabatan dengan kelompok di luar dirinya dan kurang andal dalam menjalin komunikasi sosial-politik dengan yang lain. Istilah yang lebih populer sekarang tidak ramah terhadap ide-ide ta’addudiyyah, pluralitas, kemajemukan sosial, agama, suku, golongan, aliran politik dan budaya.7

Perjumpaan, perpaduan dan persenyawaan antara empat elemen doktrin Global salafism di atas di satu sisi, disulut oleh situasi sosial politik setempat yang bercorak dictatorship dan kingship di sisi lain8, menjadi embrio munculnya gerakan ekstremisme dan radikalisme dalam Islam di Timur Tengah dan berbagai wilayah yang lain. Secara historis, dalam sejarah Islam modern, pemahaman yang kaku, rigid, keras, dan tidak kenal kompromi tersebut tidak bisa dilepaskan dari ideologi Ikhwan al-Muslimun dan Salafi (Wahhabi), seperti disinggung di atas. Kedua aliran ini menekankan corak interpretasi Islam yang bersifat purifikatif. Yaitu, purifikasi ajaran Islam dan pelaksanaannya di lapangan Jamâ’ah Islâmiyyah secara sangat ketat. Hanya

beda antara keduanya adalah jika Salafi lebih menekankan pada purifikasi keesaan Allah (Tauhîd Ulûhiyyah dan Rubûbiyyah), sedangkan Ikhwan al-

Muslimun lebih menekankan pada supremasi hukum Allah dalam mengelola negara (Tauhîd Hâkimiyyah)9.

Para pengamat dan pencinta studi gerakan Islam (Islamic movement) memang harus cermat melihat perkembangan mutakhir yang ada di lingkungan gerakan Ikhwan al-Muslimun dan juga Salafi. Di kalangan Ikhwan ada dua faksi. Pertama, faksi Hudaibiyyah (pengikut Hasan al-Hudaibi) dan kedua, faksi Quthbiyyah (pengikut Sayyid Quthb). Yang pertama disebut faksi Ikhwân Tarbiyyah adalah faksi moderat atau agak moderat, sedang yang terakhir adalah faksi radikal. Bahkan di antara para pengikut aliran Quthbiyyah ini ada yang menyempal dan membentuk gerakan ekstrem, yang kemudian dianggap sebagai Ikhwân Jihâdî, yakni Tanzhîm al-Jihâd (al-Jihâd al-Islâmî), dan al-Takfîr wa al-Hijrah. Ikhwân Jihâdî ini dianggap tidak sejalan dengan ideologi Ikhwan yang mainstream.

7 Ibid.

8 Muhammad al-Masa’ari, “Definite Proof of the Illegitimacy of the Saudi State”, dalam Ibrahim M. Abu-Rabi’ (ed.), The Contemporary Arab Reader onPolitical Islam, Edmonton, Canada: The Univesity of Alberta Press, 2010, hh. 208-214.

9 Roel Meijer, “Commanding Right and Forbidding Wrong as a Principle of Social Action: The Case of the Egyptian al-Jama’a al-Islamiyya”, dalam Roel Meijer (Ed.), Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, London: Hurst & Company, 2009, hh. 189-220.

Di kalangan Salafi, baik faksi dakwah—bagian dari Wahhabi—maupun faksi politik atau Sururi (pengikut Muhammad Surur), juga masih bisa dianggap agak moderat walaupun cenderung puritan yang fanatik dengan menganggap kelompok lain sebagai bid’ah dan syirik. Di antara kelompok

Salafi ini juga ada faksi yang ekstrem, yang disebut Salafî-Jihâdî. Lagi-lagi, faksi ini pun dianggap tidak sejalan dengan sistem Salafi mainstream. Pimpinan al-

Qaedah (Abdullah Azzam, Osamah bin Laden dan kini Ayman al-Zawahiri) adalah pengikut ideologi Ikhwân Jihâdî dan Salafî-Jihâdî10. Istilah yang umum

disebut oleh media sebagai kekerasan atas nama agama atau religious violence

tidak bisa dihindarkan dan terlepas sama sekali dari konotasinya dengan

Ikhwân Jihâdî dan Salafî-Jihâdî ini.Sekarang, ideologi Jihadi telah menyebar ke seluruh dunia. Fenomena inilah yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan

Global Salafism. Kelompok Jihadi ini terdapat di banyak negara dengan menggunakan berbagai nama, seperti Taliban (Afganistan), al-Syabab (di Somalia), Boko Haram (Nigeria), Mujahidin Asia Tenggara dan Negara Islam di Iraq dan Suria (NIIS/ISIS).

Adalah kelalaian dan ketidakpedulian sejarah yang patut disesalkan, jika sampai literatur studi Islam dan para dosen di perguruan tinggi agama baik yang negeri (UIN/IAIN/STAIN), dosen agama di perguruan tinggi umum, perguruan tinggi agama yang dikelola oleh swasta (Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah dan lain-lain dengan ratusan sekolah tinggi agama) dan guru-guru yang menjadi alumninya dan mengajar di sekolah tingkat menengah bawah dan atas tidak atau belum menyentuh dan bahkan tidak memahami perkembangan terakhir pola gerakan Islam ini, apalagi jika tidak mampu menjelaskannya kepada mahasiswa.

Suka atau tidak suka, fenomena ekstremisme dan radikalisme dengan berbagai skala ukurannya memang sudah menjadi bagian sejarah umat Islam pada abad ke-20 dan ke-21. Abdullah Saeed menyebut bahwa pada era sekarang ini ada 6 kecenderungan aliran pemikiran Islam. Salah satunya adalah Muslim Extremist11. Sedemikian akutnya problem ini di Timur Tengah, mahasiswa saya dari Libia, yang mengambil kuliah di program doktoral, Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), UGM dan mengambil salah satu mata kuliahnya di program pascasarjana Universitas Islam Negeri

10 Reuven Paz, Debate within the Family: Jihadi-Salafi debates on the Strategy, Takfir, Extremism, Suicide Bombings and the sense of Apocalypse”, dalam Roel Meijer (Ed.), Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, London: Hurst & Company, 2009, hh. 267-280.

(UIN) Sunan Kalijaga menulis tugas general review kuliah Hermeneutika

Quran sebagai berikut:

“One problem is the Middle East in the editing of Islamic heritage. For

example, most books of Hadith dan Tafsir were edited and abridged. The

editor removes some Hadiths or part from tafsir, which he does not want other to read it. For example, Hadiths related to Ahl al-Bayt or to the war between Muawiyah and Imam Ali. Here in Indonesia, these topics are not

sensitive, but in the Middle east are problematic. If anyone asks about

Ahl al-Bayt for example, he will be labeled as Shia immediately. Then, it is permissible to kill him according to the Sunni fatwa. If another read about Battle of Shiffin, he will be not a Sunni! Justifications to religious violence expanded to include the restriction of critical thinking. Social media gave alternative voices to thousands of people who ask questions and seek answers from the religious institutions. As traditional institutions, they fail

to understand the change in history and ordered people to stop asking.

The religious institutions want people to follow which is the impossible request in modern time”12.

Pergolakan politik di kawasan Arab sekarang (Arab Spring) dan beberapa

negara berpenduduk Muslim yang lain seperti Afganistan dan juga Pakistan mengundang tanya dari seluruh penduduk di muka bumi. Apakah memang sedemikian kaku dan eksklusifkah penafsiran Al-Quran, dengan meniadakan ruang sama sekali bagi golongan dan kelompok lain yang tidak sepaham dengan kelompok tekstualis dan semi-tekstualis? Terlepas dari kesalahan para diktator yang memerintah dalam waktu sangat lama di negara-negara ini, tapi apakah tidak ada jalan tengah (ummatan wasathan)—seperti yang umum didengung-dengungkan—untuk mencapai kesejahteraan bersama?

Pertanyaan besar yang belum bisa terjawab dengan baik hingga saat ini. Di Indonesia sendiri belakangan mulai muncul spanduk anti-Syi’ah, selain persoalan di Madura tentang kasus penyerbuan dan pengusiran warga Syi’ah dari kampung halaman yang belum kunjung selesai hingga hari ini. Sebuah gejala sosial-politik yang campur aduk dengan pemahaman aliran atau mazhab teologi agama Islam tertentu yang tidak kondusif dalam bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Penyakit endemik sosial-politik-agama di kawasan Arab telah menyebar dan diekspor ke seluruh penjuru dunia.

12 Mowafg Abrahem Masuwd, “Re-reading of the Islamic Heritage: Reality and the Qur’an between the Tafsîr, Hermeneutics and Takfîr”, paper kelas belum diterbitkan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Januari, 2015