• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergeseran Paradigma Maqâshid al-Syarî’ah: Fikih Kebinekaan

Setidaknya ada lima pokok permasalahan tuntutan masyarakat kontemporer yang sering dibicarakan di ruang publik yang besar pengaruhnya dalam kehidupan beragama. Pertama, menyangkut soal pemerataan dan kualitas

pendidikan, termasuk di dalamnya pengetahuan keagamaan (religious literacy). Tidak hanya pengetahuan tentang agama Islam, tetapi juga tentang

agama-agama lain. Jangankan tentang agama lain, tentang aliran-aliran dan sekte-sekte di lingkungan agama sendiri saja masih sulit dipahami. Corak pendidikan yang diterima akan membentuk pandangan hidup dan keadaban manusia.

Kedua, eksistensi negara bangsa (nation-states). Tidak semua umat beragama merasa nyaman (comfortable) hidup di era negara-bangsa dengan sistem

demokrasi yang digunakan untuk mengatur lalu lintas alih kepemimpinan.

Equal citizenship, sama dan sederajat di hadapan hukum, belum sepenuhnya rela diterima oleh umat beragama.

Ketiga, pemahaman manusia beragama era modern tentang martabat

kemanusiaan (al-karamah al-insaniyyah/human dignity). Persyarikatan bangsa-bangsa selalu memantau bagaimana negara dan seluruh warganya melindungi dan menjaga martabat kemanusiaan. Keempat, semakin dekatnya hubungan antar-umat berbagai agama di berbagai negara sekarang ini. Hampir boleh dikata di mana ada orang Muslim di situ ada orang Kristen dan begitu pula sebaliknya. Lihat perkembangan demografi Muslim di Eropa misalnya juga di Indonesia di bagian mana pun. Kelima, adalah kesetaraan

dan keadilan gender. Sebagai akibat dari sistem co-education dan education for all, tingkat dan kualitas pendidikan perempuan meningkat tajam dan

berakibat pada tuntutan akan semakin baiknya kualitas pemahaman hak- hak hidupnya.

Kelima poin tersebut membawa perubahan sosial yang begitu dahsyat sekarang ini. Sedang terjadi ‘revolusi kebudayaan’ baik secara diam-diam atau terang-terangan dan berakibat pada pemahaman keagamaan secara konvensional/tradisional/taqlîdiyyah. Tidak hanya keberagamaan Islam yang menghadapi perubahan sosial sedemikian dahsyat ini, tetapi juga seluruh penganut agama-agama dunia. Untuk itulah, maka cara baca Al-Quran yang bercorak târîkhiyyah-maqâshidiyyah atau tafsir kontekstual-progresif

sangat diperlukan. Solidaritas sosial antar-umat beragama yang mengalami persoalan dan tantangan kehidupan yang sama sangat diperlukan. Tidak ada penganut agama-agama di dunia yang tidak menghadapi persoalan yang sama seperti yang kita rasakan sekarang ini.

Metode pembacaan Nash atau teks Al-Quran, setelah melewati kurun waktu 14 abad, ternyata tidak mudah. Prinsip kehati-hatian dalam menghadapi kehidupan sosial dan budaya era kontemporer perlu menjadi skala prioritas. Membaca Al-Quran sebagai ibadah memang penting. Itu pun diperlukan seperangkat pengetahuan seperti ilmu baca-tulis Arab, ‘ilm al-tajwîd dan begitu seterusnya. Tetapi, metode membaca pesan dan risalah Al-Quran, khususnya pada wilayah ethico-legal tidak semudah membacanya

secara tilâwah. Di antara masa turunnya wahyu pertama kali hingga masa kini terdapat ribuan tafsir yang diolah oleh akal pikiran manusia di dalam menatap zamannya. Tidak hanya turunnya ayat demi ayat Al-Quran yang mempunyai konteks sosial dan budaya masing-masing, tetapi masing-masing tafsir yang merupakan karya khazanah intelektual Muslim sepanjang masa, juga mempunyai konteksnya sendiri-sendiri. Kita pun yang hidup di era sekarang juga mempunyai konteks kita sendiri yang berbeda dari konteks di mana ayat-ayat itu diturunkan dahulu dan lebih-lebih lagi berbeda dari konteks di mana puluhan atau ratusan kitab tafsir Al-Quran ditulis. Konteks sosial, budaya, ekonomi, politik dan perkembangan ilmu pengetahuan perlu ikut serta membentuk cara baca dan cara memahami isi pesan dan risalah autentik Al-Quran. Perjumpaan antara cara baca Al-Quran dan al-Hadis yang bercorak taqlîddiyyah-thâifiyyah dan cara baca târîkhiyyah-maqâshidiyyah25

meniscayakan adanya pergeseran paradigma dalam membaca pesan-

25 Tentang qirâ’ah târîkhiyyah dan târîkhiyyah-maqâshidiyyah, lebih lanjut Muhammad al- Talbi, ‘Iyâlullâh: Afkâr Jadîdah fî ‘Alâqah al-Muslim bi Nafsihi wa bi al-Âkharîn, Tunisia: Dar Siras li al-Nasyr, 1992.

pesan Al-Quran yang telah dirumuskan oleh para cerdik cendekia dan ulama terdahulu. Bukan matan Al-Quran dan al-Hadisnya yang berubah, tetapi perspektif, cara pandang dan penafsirannya yang berubah. Dalam menggambarkan perubahan tersebut, saya lebih memilih istilah pergeseran paradigma (shifting paradigm) daripada istilah falsification (falsifikasi).

Dalam istilah falsification menunjukkan adanya ketidaksambungan dan keterputusan antara cara baca masa lalu dan masa sekarang, sedang istilah

shifting paradigm masih menunjukkan adanya kesinambungan sejarah masa

lalu (al-Turâts) dan sekarang (al-Hadâtsah). Hanya saja terjadi penekanan atau aksentuasi yang berbeda karena perubahan sejarah dan sosial-kemanusiaan yang terjadi akibat keberhasilan pendidikan pada setiap lapis dan jenjangnya dan semakin dekatnya hubungan internasional antar-bangsa-bangsa di dunia.

Fikih kebinekaan dan fikih keindonesiaan seperti yang belakangan dirindukan oleh semua kalangan, lebih-lebih oleh para pendukungcara baca Al-Quran yang bercorak târîkhiyyah-maqâshidiyyah atau kontekstual-progresif hanya dimungkinkan adanya dan dimungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut, jika pemahaman Maqâshid al-Syarî’ah (tujuan/maksud utama beragama Islam) yang selama ini hanya dipahami secara tradisional digeser

ke pemahaman maqâshid secara kontemporer. Dari yang semula lebih menekankan pada sisi parsialitas (juz’iyyah) dan menekankan kekhususan (khassah) pada lingkungan internal umat Islamdiperluas radius jangkauan

liputan pemahamannya menjadi lebih luas, tidak sempit, lebih umum (‘ammah) dan universal (‘âlamiyyah) yang mencakup kemanusiaan universal. Dengan

mempertimbangkan masukan dari para pemikir Muslim kontemporer, maka corak maqâshid yang dulu hanya menekankan sisi penjagaan (protection; hifzh) bergeser ke arah maqâshid yang bercorak pengembangan (development; tanmiyah). Maqâshid yang dulu titik tekannya hanya menekankan pentingnya perlindungan terhadap umat Islam saja bergeser menjadi perlindungan terhadap kemanusiaan-universal. Perlindungan atau penjagaan yang dulunya hanya fokus pada keturunan (hifzh al-nasl) bergeser ke perlindungan terhadap keutuhan dan kesejahteraan kehidupan keluarga (‘âilah). Artinya hak-hak perempuan dan hak-hak anak perlu dan harus dilindungi tanpa syarat (unconditional; categorical impretative). Lebih lanjut, praktik nikah sirri (diam-diam; baca slintutan), poligami (bagi laki-laki yang telah beristri/

berkeluarga/berumah tangga) dan lainnya seperti adanya wanita idaman lain (WIL) atau pria idaman lain (PIL) perlu dijauhi untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Perlindungan yang dulu hanya dimaksudkan

untuk melindungi martabat manusia muslim (hifzh al-‘irdh) bergeser dan

diperluas menjadi perlindungan terhadap martabat kemanusiaan universal (hifzh al-karâmah al-insâniyyah). Melindungi martabat manusia tanpa pandang

bulu latar belakang agama, ras, suku, etnisitas, golongan dan organisasi, partai politik apalagi, mazhab, aliran dan seterusnya.

Perlindungan terhadap harta benda (hifzh al-mâl) diperluas jangkauan wilayah cakupannya menjadi upaya yang sungguh-sungguh dari negara dan para warganya untuk mengurangi jarak atau jurang yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin. Sedang perlindungan terhadap agama (hifzh al-dîn), yang dulu hanya fokus pada perlindungan umat Islam, sekarang

sesuai nilai-nilai baru era modern hasil kesepakatan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berubah menjadi perlindungan terhadap hak-hak beragama dan berkepercayaan manusia secara umum, di mana pun dan kapan pun mereka berada. Tidak ada lagi tindakan bullying antara umat beragama seperti yang dengan mudah kita saksikan sekarang ini. Tidak ada intimidasi, mengejek, tindakan kekerasan atas nama agama, merendahkan umat dan agama lain dengan cara dan dalih apa pun. Perlindungan dan penjagaan terhadap akal (hifzh al-‘aql), yang dulunya hanya terkonsentrasi

pada upaya pencegahan terhadap minum-minuman yang memabukkan (al-muskir), sekarang diperluas kandungan wilayahnya meliputi dorongan

umat manusia Muslim untuk menggunakan kemampuan akal pikirannya semaksimal mungkin untuk melakukan riset dan penelitian ilmiah dan mencari ilmu pengetahuan untuk mengejar ketertinggalan dalam kajian ilmu pengetahuan pada umumnya. Dunia tahu bahwa sumbangan umat Islam kepada pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu sosial dan humaniora masih terlalu sangat sedikit dibanding sumbangan yang diberikan oleh bangsa-bangsa lain di dunia26.

Penutup

Makna al-Rujû’ ila al-Qur’ân dan al-Sunnah ternyata lebih luas dari apa yang biasa kita dengar dan kita advokasikan selama ini. Ada pertanyaan klasik oleh Ulama dari Syiria, Syekh Amir Sakib Arsalan, sekitar 100 tahun yang lalu. Limâdzâ ta’akhkhara al-Muslimûn wa taqaddama ghairuhum? Mengapa

umat Islam tertinggal dari bangsa-bangsa lain di dunia? Mengapa bangsa- bangsa lain dapat cepat menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan dan

perubahan kehidupan yang lebih maju daripada umat Islam? Jika pertanyaan itu dilanjutkan, mengapa 100 atau 150 tahun kemudian bangsa-bangsa Muslim di wilayah Timur Tengah jatuh pada apa yang disebut oleh dunia media sebagai Arab Spring, konflik kepentingan sosial-politik yang diberi muatan agama, yang hingga kini masih jauh dari jalan pemecahannya? Siapa pun dapat mengajukan jawabannya dengan versinya masing-masing. Jangan-jangan salah satu jawabannya yang masih tersembunyi di bawah alam sadar umat Islam di seluruh dunia adalah jenis pilihan bacaan terhadap kitab suci yang masih bercorak tekstualistik, semi-tekstualistik yang berujung pada pilihan bacaan yang bernuansa dan bermuatan thâifiyyah, madzhabiyyah

dan hizbiyyah yang sangat eksklusif.

Dunia Muslim di mana pun berada, lebih-lebih Indonesia yang bercorak pluralistik-multikulturalistik, merindukan dan menginginkan corak dan jenis bacaan terhadap kitab suci yang lebih kondusif dengan konteks budaya dan sosial setempat. Yang lebih cocok dan kondusif dengan situasi keindonesiaan kontemporer yang inklusif, toleran terhadap berbagai perbedaan interpretasi keagamaan secara umum dan perbedaan interpretasi keagamaan Islam secara khusus dan tidak memonopoli kebenaran (truth claim) yang mana pun. Jenis bacaan kitab suci yang ramah terhadap berbagai perbedaan dan tidak marah terhadap perbedaan. Salah satu jawabannya adalah dengan cara melipatgandakan, memproduksi dan mereproduksi, mendiseminasikan corak bacaan kitab suci yang lebih bercorak târîkhiyyah- maqâshidiyyah, bacaan yang kontekstual-progresif. Tidak hanya terbatas dan

terjebak pada jenis bacaan bercorak tekstual-taqlîdiyyah-thâifiyyah. Sebagai kerja panjang sejarah dan budaya, kerja intelektual ini memerlukan napas panjang, kerja berkesinambungan, tanpa kenal lelah dan penuh optimisme. Tanpa semangat itu, kita akan kehilangan segala-galanya. Tulisan ini diakhiri dengan pesan mulia dan himbauan Nabi Muhammad, “Jika saja hari kiamat datang besok pagi, tetaplah tanam pohon kurma sekarang”. Betapa optimismenya Nabi! Tidak mudah memang mendiseminasikan cara baca kitab suci yang bercorak târîkhiyyah-‘ilmiyyah-maqâshidiyyah. Tugas generasi ilmuwan sekarang memang perlu fokus di situ untuk menyemai fikih keindonesiaan, kemodernan dan kebinekaan dan tetap berdialog secara santun dengan jenis bacaan kitab suci yang bercorak tekstual-taqlîdiyyah-

71

DAN METODOLOGI USUL FIKIH