• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reinterpretasi dan Kontekstualisasi Ummah dalam Kebinekaan Konsep kewargaan dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 171-174)

memang perlu dipikirkan ulang, setidaknya bila beranggapan bahwa agama masih memberikan pengaruh kuat dalam memberikan makna terhadap masalah hak dan kewajiban seseorang. Bila diskursus tentang isu kewargaan (citizenship) yang dimunculkan selama ini adalah bagaimana negara menempatkan warga dalam posisi yang setara, terlepas dari latar belakang agama, budaya, etnik, dan bahasa warganya, maka bisa pula dikembangkan perspektif lain, yaitu bagaimana agar warga juga memiliki kesadaran bahwa mereka setara dengan sesamanya. Secara khusus, di kalangan Muslim Indonesia, konsep ummah dapat diinterpretasikan dan dikontekstualisasikan dalam kebinekaan Indonesia. Terkait hal itu, ada beberapa isu dan strategi yang bisa ditawarkan.

Kedua, melakukan universalisasi makna ummah. Di dalam Al-Quran

maupun hadis terdapat banyak keterangan tentang ummah dan padanan serta asosiasi maknanya, baik yang berorientasi eksklusif maupun inklusif. Oleh karena itu, dalam konteks kebinekaan Indonesia para aktivis sosial dan intelektual Muslim perlu merumuskan makna ummah yang egaliter. Salah satunya dengan mentransformasikan makna ummah yang terbatas dan sempit yang merujuk kepada sekelompok orang dengan identitas keagamaan tertentu, misalnya kaum Muslim, menjadi umat manusia. Sebagai ilustrasi, masalah solidaritas dan persaudaraan menjadi bagian dari agenda yang dikampanyekan umat bergama. Di kalangan Muslim dikenal

pada umumnya dengan istilah ukhuwwah islamiyyah, yang umumnya berarti

persaudaraan Islam. Ahli tafsir Indonesia, M. Quraish Shihab, dalam salah satu karyanya memaknai ukhuwwah Islamiyyah bukan saja dalam pengertian ukhuwwah sesama orang Islam, tetapi juga “ukhuwwah dengan cara Islam” yang harus dibangun dan dikembangkan, termasuk dengan orang-orang non-Muslim. Saat ini juga dikenal konsep-konsep baru di kalangan Muslim, yaitu ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan). Begitu pula dengan istilah ummah. Ia dapat dimaknai sebagai “umat manusia” yang satu sama lain saling membutuhkan dan membantu untuk mencapai tujuan yang lebih besar di bidang sosial, ekonomi dan politik.

Pertama, menginterpretasikan makna ummah secara lebih egaliter dalam

konteks kebangsaan. Posisi makna dari konsep ummah secara politik memang menunjukkan superioritas di satu sisi, dan identitas politik di sisi lain yang dalam konteks tertentu mengeksklusikan anggota selain ummah. Bila kita membawa diskursus tentang ummah dalam konteks kebangsaan di Indonesia,

maka ada banyak tugas yang juga diemban oleh para aktivis dan intelektual Muslim, yaitu mendefinisikan konsep ummah dalam konteks Indonesia,

dan merumuskan hak dan kewajiban mereka. Prinsip egalitarianisme dapat ditentukan ketika kita sudah berbicara tentang hak dan kewajiban, tentang peran dan partisipasi seseorang sebagai warga negara dan sebagain bagian dari ummah (masyarakat Indonesia). Perundangan-undangan dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh negara adalah hal pokok yang harus mengakomodasikan kepentingan seluruh ummah atau warga negara yang ada di Indonesia. Dalam konteks Indonesia yang bineka sangat mungkin negara mengeluarkan kebijakan yang memfasilitasi kelompok anggota umat tertentu yang berbeda dari anggota umat yang lain, namun dalam konteks mendorong memberikan kemaslahatan bersama dan bukan tindakan yang diskriminatif yang berdampak negatif.

Kedua, memfungsikan ummah sebagai agensi perubahan kolektif. Indonesia adalah negara yang bineka, dan Indonesia menghadapi pelbagai persoalan sosial, ekonomi dan politik yang akan berdampak kepada seluruh warganya, terlepas latar belakang agama, ras, etnik dan bahasa. Masalah kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, diskriminasi, ketidakadilan, dan lain sebagainya adalah beberapa bentuk persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Oleh karena itu, seluruh anggota masyarakat di Indonesia, dalam pengertian ummah, dapat memfungsikan diri sebagai agensi perubahan

kolektif. Ummah dapat memandang persoalan-persoalan tersebut di atas

sebagai persoalan bersama yang harus dihadapi bersama-sama. Bila sudah terjadi banjir, kemacetan, bencana alam, kebocoran anggaran negara, korupsi yang merugikan rakyat, maka yang akan terkena dampaknya adalah semua anggota masyarakat. Untuk memperbaiki bangsa, tentu saja kerja sama antara anggota masyarakat menjadi hal yang niscaya dan bahkan tidak dapat dihindari. Dengan demikian, kesetaraan warga negara dan anggota

ummah, akan berbanding dengan partisipasi mereka dalam membangun

174

Pendahuluan

D

iskusi tentang multikulturalisme di Indonesia merupakan hal yang bisa dikatakan relatif baru, setelah sebelumnya diskusi diramaikan dengan istilah pluralisme yang berkembang sejak tahun 1990-an. Namun diskusi tentang pluralisme sejak tahun 1990-an sampai sekarang penuh dengan kontroversi. Sedikit berbeda dengan istilah multikulturalisme, sekalipun belakangan istilah ini juga dipersoalkan disebabkan menggunakan kata isme yang dianggap sangat dekat dengan pluralisme bahkan isme-isme lainnya seperti sekularisme, komunisme, liberalisme dan sosialisme.

Kontroversi yang berkembang tentu saja tidak akan menjadikan kondisi realitas Indonesia semakin baik. Kesetaraan, kesejahteraan dan keadaban publik yang diharapkan terus berkembang di tanah air sulit berkembang ketika kontroversi atas istilah terus berlangsung tanpa adanya penjelasan yang memadai. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu upaya yang meminimalkan dan memungkinkan membuka wawasan dan wacana baru tentang multikulturalisme di Indonesia.

Kita ketahui, Indonesia merupakan wilayah yang benar-benar multietnik, agama, suku, kelompok-kelompok sosial bahkan multikultur dalam hal apa saja. Kondisi semacam ini tentu saja tidak mungkin ditolak keberadaannya, namun begitu dipergunakan istilah multikulturalisme apalagi istilah pluralisme ditolak oleh sebagian dari umat Islam. Sebagian umat Islam hanya bersedia menggunakan kata pluralistik, plural, multikultur tetapi tidak bersedia mempergunakan istilah pluralisme ataupun multikulturalisme. Hal inilah yang menyebabkan diskusi tentang dua istilah di atas menjadi perlu dilakukan agar semakin terbuka dan berkembang wawasan dan wacana mengenai pluralisme dan multikulturalisme di negeri yang nota bene pluralis dan multikulturalis.

MULTIKULTURALISME

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 171-174)