• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Multikulturalisme

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 179-182)

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh cendekiawan Muslim di atas dapat kiranya dikatakan bahwa multikulturalisme hendaknya menjadi bagian dari kehidupan kita yang berada dalam sebuah wilayah negara di muka bumi. Keberadaan multikulturalisme yang selama ini dikesankan menjadi perusak dan pembuat keroposnya keyakinan seseorang maupun masyarakat dalam beriman, merupakan pendapat yang tidak bisa dibenarkan dan tidak berdasar sama sekali. Hal itu karena yang dimuat dalam multikulturalisme adalah penguatan keimanan seseorang dan masyarakat tentang agamanya, bukan pendangkalan apalagi peleburan keimanan masyarakat.

Penjelasan seperti itu harus ditekankan, sebab selama ini telah sering terdengar bahwa multikulturalisme merupakan paham yang membuat masyarakat rapuh dan lenyap keimanannya terhadap agama dan keyakinan yang selama ini menjadi keyakinannya. Padahal multikulturalisme merupakan paham yang memperkuatkan keimanan seseorang berdasarkan keunikan dan karakteristik keyakinan yang dianutnya selama ini, hanya seseorang berkewajiban menghormati, menghargai dan mengafirmasi adanya keragaman dan menjaga agar heterogenitas tetap terjaga dan berlangsung dalam sebuah bangsa dan masyarakat. Tidak boleh terdapat kelompok yang berkeinginan menghapus adanya heterogenitas yang menjadi kehendak Tuhan.

Itulah ciri khas dari multikulturalisme yang sering kali dipahami secara salah sehingga multikulturalisme seakan-akan hendak menyamakan

semua agama dan mengajak masyarakat untuk berpindah agama atau memperlemah keimanan karena banyaknya keyakinan dalam masyarakat. Pendapat semacam ini mendasarkan pandangan tiga cendekiawan Muslim di atas jelas tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, jelaslah pandangan yang salah kaprah jika tidak mau dikatakan sebagai pandangan yang tidak berdasar argumen yang memadai dengan mengatakan multikulturalisme merupakan pandangan menyamakan semua agama dan mengajak orang menjadi lemah iman!

Pengkaji multikulturalisme Islam, Farid Esack bahkan menjelaskan bahwa Al-Quran sudah sejak semula memang menghargai adanya multikulturalisme, sehingga Al-Quran dalam kesempatan menggunakan istilah kaum Nabi Nuh, Kaum Nabi Luth, kaum Nabi Ibrahim dan seterusnya. Sementara itu di kesempatan lain mempergunakan umat manusia keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk kasus-kasus tertentu, Al-Quran mempergunakan istilah khusus seperti wahai kaum beriman-kufur, kaum berakal dan seterusnya, tetapi untuk kasus lainnya yang umum mempergunakan istilah umum yakni manusia. Di sinilah unsur multikultur dalam Al-Quran sangat jelas terkandung di dalamnya.6

Sementara itu, Will Kymlica, seorang ahli politik dan multikulturalisme memberikan penjelasan yang lebih bersifat politik dan sosiologis tentang multikulturalisme dengan membandingkan sistem pemerintahan (sistem politik) yang berkembang di zaman Romawi Kuno dengan sistem politik yang berkembang di Turki systemmillet, Prancis dan Kanada sebagai sebuah kajian multikulturalisme kontemporer. Di sana Kymlica menjelaskan bagaimana perbedaan sistem politik berjalan dan dianut, tetapi di antara keempat negara tersebut memiliki keunikannya masing-masing, tidak sama dalam menerapkan kebijakannya pada masyarakat. Keempatnya mendasarkan pada karakteristik negara masing-masing dan di antaranya saling menghargai dan menghormati keragaman kultur dan sistem politik yang terjadi. 7

Masing-masing masyarakat yang memiliki sistem nilai dan kultur berbeda-beda akan dengan mudah mendapatkan perbedaan pelaksanaan nilai yang dianut. Umat Islam misalnya akan dengan sungguh-sungguh berupaya menjalankan perintah kitab suci Al-Quran sehingga oleh agama disebut sebagai seorang yang bertakwa dan beriman bukan sebagai orang

6 Lihat Farid Esack, op cit, h. 199 7 Lihat Kymllica, op. cit. 2004, h. 187

yang kufur dan zalim. Orang Kristen pun akan berusaha sesuai dengan ajaran Kitab dan Yesus Kristus sehingga apa yang dijalankan tidak bertentangan dengan Kitab dan Yesus sebagai panutannya. Demikian seterusnya masing- masing agama memiliki teladannya sendiri-sendiri di mana tidak bisa umat yang beragam memaksakan kehendaknya kepada umat yang berbeda-beda tersebut. Tidak ada paksaan dalam agama, tegas kitab suci Al-Quran yang menjadi keyakinan setiap Muslim.

Bahkan dalam sebuah masyarakat di sebuah negara saja memiliki keragaman kultur yang sangat kuat. Di Indonesia misalnya. Antara masyarakat Jawa dengan masyarakat Papua memiliki perbedaan kultur yang sangat kuat dalam praktik kehidupan sehari-hari. Masyarakat Jawa masih sering mempercayai peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat sebagai tanda akan adanya sebuah peristiwa yang lebih besar, misalnya soal bencana yang menimpa dalam keluarga secara terus-menerus maka dipercaya akan terjadi bencana besar dalam lingkungan masyarakat sekitar bahkan dalam sebuah pulau. Sementara di Papua kepercayaan semacam itu tidak demikian kuat berkembang.

Contoh lainnya adalah berkaitan dengan adat kebiasaan yang berkembang sehari-hari dalam masyarakat. Dalam masyarakat Jawa jika kita berbarengan dengan orang banyak, sementara kita hendak duluan sampai di rumah kita maka kita menyampaikan ucapan “monggo mampir”, silakan mampir, sebagai pertanda berbasa-basi dengan teman-teman yang berbarengan dengan kita karena kita sudah duluan sampai, sementara itu yang lainnya belum sampai di rumah. Orang Jawa mengatakan “monggo mampir”, silakan mampir

kepada teman-temannya tidak berarti mereka supaya semuanya mampir sekarang, tetapi sebagai pertanda memperhatikan mereka sebagai sesama yang tengah dalam perjalanan. Jika mampir diperbolehkan, tidak mampir pun diperbolehkan. Di Papua kebiasaan seperti itu tidak ditemukan di antara mereka. Demikian pula di daerah lainnya.8

Beberapa contoh di atas hendak menjelaskan kondisi objektif tentang multikulturalisme yang menjadi kekayaan Indonesia, baik dalam hal agama maupun dalam hal kebudayaan yang berlangsung di masyarakat. Beragamnya tradisi yang berkembang memberikan gambaran kepada publik

8 Penjelasan panjang mengenai kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat Indonesia, dengan detail dan baik dijelaskan oleh Franz Magnis Suseso dalam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 1987; dijelaskan pula oleh Niels Murder, Orang Jawa, Melayu dan Thai, Kebiasaan Hidup Sehari-hari, Gramedia: Jakarta, 1997.

bahwa kondisi objektif Indonesia tidaklah mungkin dipersamakan antara satu komunitas dengan komunitas yang lain, di mana antara satu dengan yang lain berlainan. Oleh karena itu, menghargai dan mengakui keberadaan atas perbedaan kultur dan agama merupakan hal yang sangat ditekankan dan menjadi keharusan abadi.

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 179-182)