• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Epistemologi Keilmuan Islam Kontemporer

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 104-107)

Ke depan, karena perubahan sosial terus terjadi, maka mau tidak mau berdampak pada perlunya perubahan mindset umat melalui perubahan orientasi epistemologi dari Islam klasik ke kontemporer. Adapun tawaran epistemologi keilmuan Islam kontemporer yang patut menjadi perhatian adalah sebagai berikut:

4 Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah menerbitkan buku: Fikih Antikorupsi, Perspektif Ulama Muhammadiyah, kerja sama dengan Governance Reform in Indonesia, 2006. 5 Lihat analisis panjang tentang perpaduan antara IS + SS-NS dan H, dalam: Muhammad Azhar,

‘Telaah Reflektif Pemikiran Amin Abdullah: Dari Epistemologi ke Teori Aksi’, dalam buku: Islam, Agama-agama, dan Nilai Kemanusiaan, CISForm UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013.

Pertama, dari orientasi ilâhiyyah-teologis semata menjadi diperkaya

dengan dimensi insâniyyah-humanistik dan ‘âlamiyyah-kosmologis. Dengan istilah lain, dari hablun min al-allâh semata, diperkaya dengan hablun min an- nâs dan min al-‘âlam. Kedua, epistemologi keislaman mendatang harus lebih operatif-burhani (rasional-empiris) sebagaimana pernah diintroduksi oleh

Ibn Taimiyah sesuai konteks zamannya (al-haqîqah fi al-a’yân, lâ fi al-adzhân). Perlu rekonstruksi ulang konsep keilmuan atau kuliah teologi Islam (akidah) dan etika Islam (akhlak) yang lebih bernuansa sosial, ketimbang semata- mata normatif-personal. Dari nuansa metafisis ke empiris-saintifik. Tawaran dari Hassan Hanafi dan Nidhal Guessoum6 merupakan beberapa contoh yang patut dikaji oleh para ulama dan dai serta aktivis muda Muslim masa kini dan mendatang. Untuk contoh lebih konkret lainnya, tawaran Muhammadiyah tentang Dakwah Kultural dan Fikih al-Ma’un juga menarik untuk dikaji secara lebih luas dan mendalam. Beberapa waktu yang lalu, dalam Munas Tarjih, Majelis Tarjih Muhammadiyah juga sudah memutuskan tentang Fikih Air,

dan yang akan datang tentang Fikih Kebencanaan. Ini merupakan dua contoh upaya perluasan ijtihad (epistemologi keilmuan Islam kontemporer) di bidang najâsah-thahârah lingkungan hidup. Tentu masih banyak wilayah lain yang perlu diperluas kajiannya, seperti, teologi dan fikih di bidang: sumber daya alam, human trafficking, dampak urbanisasi dan fikih tata ruang perkotaan, fikih udara, fikih kemaritiman, fikih ekonomi kreatif, fikih kuliner, dan lainnya.

Urgensi epistemologi Islam kontemporer ini terletak pada pentingnya upaya untuk mengkontekstualisasikan interpretasi keislaman sehingga tidak tertinggal jauh dengan perubahan sosial yang terus terjadi. Islam sebagai teks keagamaan (baca: Al-Quran) memang sudah final dan tidak akan mengalami perubahan, tetapi interpretasi, rumusan keilmuan Islam (‘ulûm al-Qur’ân, ‘ulûm al-hadîts, ilmu akidah, ilmu fikih, tarikh dan lainnya) harus selalu ditafsir ulang sesuai konteks zaman dan generasi Muslim yang hidup era belakangan. Bukankah Nabi Muhammad Saw. pernah berpesan: “Didiklah generasimu, karena mereka akan menghadapi zaman yang sama sekali berbeda dengan zamanmu”. Bila ditarik ke wilayah filsafat keilmuan Islam menjadi: “Buatlah epistemologi keilmuan Islam yang baru, karena yang lama sudah tidak sesuai dengan zaman kini dan mendatang”.

Dalam kesempatan ini perlu diperhatikan bahwa Al-Quran merupakan wahyu Tuhan yang Maha absolut-objektif. Adapun penafsiran atau

pemahaman manusia (ulama) terhadap Al-Quran tentu bersifat relatif- subjektif. Wahyu Al-Quran merupakan desain Allah, sedangkan tafsir merupakan desain manusia (ulama). Al-Quran merupakan kumpulan syariat, sedangkan kitab-kitab tafsir merupakan kumpulan fikih (pemahaman para ulama). Wahyu (syariat) bersifat tetap atau permanen sampai akhir zaman. Sedangkan tafsir (fikih) kebenarannya bersifat temporer, terbatas, terkait ruang dan waktu saat kitab tafsir (fikih) ditulis oleh para ulama yang terikat dengan zamannya, latar belakang pendidikan sang ulama, konteks sosial, politik, ekonomi di sekitar kehidupan sang penulis kitab tafsir (fikih) tersebut. Itulah sebabnya umat tidak perlu heran mengapa muncul perbedaan mazhab tafsir, mazhab akidah, dan mazhab fikih.

Kebenaran wahyu Al-Quran merupakan kebenaran dengan “K” (besar) atau al-haqq al-haqîqî (objektif), sedangkan kebenaran tafsir atau fikih merupakan kebenaran “k” (kecil) atau al-haq al-susiyulujî (kebenaran

sosiologis) yang bersifat subjektif. Seperti kutipan berikut: “Ia (Al-Quran) memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas . Dengan demikian, ayat selalu terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal. Kalau engkau membaca Al-Quran, arti yang

dibaca itu akan terang di hadapanmu. Tetapi kalau engkau membacanya lagi maka engkau akan mendapatkan pula arti-arti baru yang tidak sama dengan arti terdahulu dan demikianlah untuk selanjutnya sehingga engkau akan mendapatkan kalimat atau kata yg mempunyai makna bervariasi, seluruhnya benar atau mungkin benar … (ayat-ayat Al-Quran) seperti intan di mana setiap sudutnya memancarkan cahaya yg tidak sama, dan tidak mustahil apabila engkau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memandangnya, maka dia akan menemukan lebih banyak daripada sesuatu yang engkau lihat.”7 Atau mirip-mirip istilah CPU dalam komputer, ada dimensi ROM (Read Only Memory) yang permanen seperti kitab Al-Quran, namun ada aspek RAM (Random Access Memory) seperti kitab tafsir, fikih, dan lainnya yang

temporer dan bisa berubah.

Al-Quran tidak akan berubah, tetapi tafsir dan para doktor tafsir akan terus bermunculan. SyariatIslam sudah tetap pada dimensi universalitasnya (kulliyyah), sementara fikih yang berada pada dimensi juz’iyyahnya akan terus berubah sesuai dengan dinamika zaman (al-hukmu yadûru ‘ala ‘illatihi). Meminjam terma Imam Syafii, ulama sekarang harus membuat qaul jadîd

(pandangan baru), agar tidak hanya berkutat dan berkubang pada qaul qadîm

(paham lama). Bukankah tradisi kritis dalam Islam sudah terakomodasi dalam konsep ijtihâd, dengan rumusan, walaupun hasilnya salah akan tetap diberi satu pahala, sepanjang dilandasi dengan ketulusan untuk membangun peradaban baru Islam, yang sudah lama terpuruk. Penulis kutip rumusan tentang ijtihâd versi Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah: “Mencurahkan

segenap kemampuan berpikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik di bidang hukum, akidah, filsafat, tasawuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu”.

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 104-107)