• Tidak ada hasil yang ditemukan

ke Târîkhiyyah-Maqâshidiyyah

M. Amin Abdullah

Pengantar

P

roblem sosial dan akademik terbesar umat Islam di mana pun berada adalah bagaimana mereka membaca kitab suciAl-Quran dan kitab al- Hadis. Problemnya terletak pada bagaimana metode yang akurat untuk membacanya? Apakah secara letterlek-harfiyyah tanpa mempertimbangkan konteks sosial-budaya ketika ayat-ayat Al-Quran ‘diturunkan’ dahulu dan juga konteks sosial-budaya-politik ketika Al-Quran dan al-Hadis dibaca pada saat sekarang ini? Metode, pendekatan dan cara baca dalam upaya memahami petunjuk Al-Quran beraneka ragam. Dalam tulisan ini akan dilihat dari 2 jenis cara baca, yaitu qirâ’ah taqlîdiyyah (Tekstual dan Semi-Tekstual), yang dalam praktiknya lebih terbimbing oleh cara baca para pendahulunya yang kemudian membentuk aliran-aliran, kelompok-kelompok, dan madzhab- mazhab. Qirâ’ah taqlîdiyyah ini, tanpa sadar, menggiring cara baca yang

bercorak kelompok-kelompok aliran pemikiran (madzhabiyyah), golongan- golongan sosial (thâ’ifiyyah), dan hizbiyyah. Para pembaca mengikuti saja

bagaimana para pendahulunya membaca dan memaknainya. Tidak ada cara baca yang bercorak kritis, yang berbeda dari kelompoknya. Sedang corak kedua adalah cara baca târîkhiyyah-maqâshidiyyah (kontekstual). Cara baca ini

mempertimbangkan secara sungguh-sungguh dinamika sejarah dan sosial- budaya secara cermat-keilmuan (qirâ’ah târîkhiyyah-‘ilmiyyah) dan tidak

hanya berhenti di situ, tetapi dilandasi dengan semangat memprioritaskan apa tujuan utama dari beragama (maqâshid al-syarî’ah). Kedua corak bacaan

ini mempunyai implikasi dan konsekuensi dalam membentuk hubungan sosial di lingkungan internal umat Islam dan eksternal dengan dunia luar. Keduanya akan diulas dan didialogkan dalam tulisan ini dan bagaimana

merancang masa depan keilmuan keislaman yang lebih ramah terhadap perkembangan pengalaman manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan yang mengiringinya, dengan tetap mempertimbangkan dinamika perjumpaan antara kedua jenis bacaan, bacaan yang mengacu pada al-turâts

(khazanah lama) dan al-hadâtsah (khazanah baru) sekaligus.

Setiap umat beragama mempunyai kitab suci. Kitab suci sebagai pedoman hidup. Kitab suci merupakan salah satu elemen yang tidak terpisahkan dari agama. Semua agama mempunyai kitab suci. Lebih-lebih agama keturunan Nabi Ibrahim, Abrahamic Religions. Sekadar untuk membedakannya dari sebutan agama-agama Timur (Eastern religions). Agama Yahudi dengan Taurat-

nya, agama Kristen dengan Injil-nya dan agama Islam dengan al-Qur’ân-nya. Dengan begitu kitab suci adalah bagian tidak terpisahkan dari eksistensi agama. Boleh dikata bukan agama jika tidak mempunyai kitab suci.

Al-Quran bagi umat Islam adalah kitab suci. Al-Quran adalah Kalam Ilahi (Kalâm Allâh). Kalâm Allâh yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad

melalui malaikat Jibril. MeskipunAl-Quran sepenuhnyaadalah bersifat divine (Ilâhiyyah; ketuhanan), namun ia sepenuhnya juga menggunakan media bahasa manusia (insâniyyah; kemanusiaan)—dalam hal ini adalah bahasa Arab. Dengan menggunakan media bahasa, maka risalah atau pesan yang disampaikan menjadi dapat dikomunikasikan, dipahami dan dimengerti oleh manusia para penerima pesan ketuhanan tersebut. Dalam hal penggunaan bahasa manusia sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan ketuhanan yang suci, maka keterlibatan dan peran budaya juga ada terselip di situ. Karena bahasa adalah fenomena budaya. Bi shawtin wa harfin (dengan

suara dan huruf) adalah fenomena budaya1.

Tanpa menggunakan bahasa manusia, dalam hal ini adalah bahasa Arab, pesan dan risâlah ilâhiyyah, yakni Al-Quran tidak dapat dipahami oleh manusiapenerimanya. Dalam periodisasi pewahyuan, keterlibatan sejarah juga nyata adanya, yaitu rentang waktu 10 tahun di Makkah, yang kemudian disebut sebagai ayat-ayat Makkiyyah dan rentang waktu 13 tahun di Madinah,

yang kemudian dikenal sebagai ayat-ayat Madaniyyah. Dalam rentang waktu

selama 23 tahun itulah Al-Quran diwahyukan oleh Allah melalui malaikat- Nya kepada Nabi Muhammad. Adalah Nasr Hamid Abu Zaid, lewat perspektif kajian linguistik, budaya dan sejarah, yang menegaskan bahwa Al-Quran tidak dapat dipisahkan dari fenomena budaya dan sejarah Arab pada saat

1 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirasah fi Ulum al-Qur’an, Maghrib: al-Markaz al- Tsaqafy al-Araby, Dar al- Baidha’, 2000, h. 25

Al-Quran diturunkan (muntâj al-tsaqâfî, produk budaya). Bahasa lain dari apa

yang biasa dan umum digunakan dalam ‘Ulûm al-Qur’ân yaitu asbâb al-nuzûl

(sebab-sebab diturunkannya Al-Quran).

Nabi atau rasul dalam pandangan dan pemahaman agama-agama juga sangat penting, khususnya, agama-agama keturunan Nabi Ibrahim atau agama-agama wahyu (revealed religions). Peran dan fungsinya menjadi begitu sentral dalam agama, terlebih-lebih agama Islam. Begitu pentingnya, dalam Islam sampai disebut bahwa Nabi Muhammad adalah khatam al-anbiyâ2,

nabi penutup atau nabi terakhir dalam konteks nabi-nabi keturunan nabi Ibrahim. Karena tanpa nabi dan atau rasul, sebagai perantara antara dunia

ketuhanan (divinity; ilâhiyyah) dan kemanusiaan (humanity; insâniyyah), pesan wahyu ketuhanan tidak akan sampai kepada manusia. Dengan begitu, nabi atau rasul tidak terpisahkan dari fenomena agama, karena Nabilah yang menerima wahyu ketuhanan tersebut. Kedudukan dan perannya menjadi sangat pokok. Sesentral kitab suci. Perilaku, tindak-tanduk, sikap, akhlak, kebijakan nabi adalah merupakan cerminan risâlah ilâhiyyah yang termaktub dalam kitab suci. Wa innaka la’ala khuluqin ‘azhîm, kata Al-Quran Surat Nun, ayat 4. Kitab suci dan nabi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam keberlangsungan agama di muka bumi. Dalam hal ibadah, misalnya, umat Islam sepenuhnya mengikuti bagaimana Nabi Muhammad melakukannya dan kemudian diikutinya.

Penghormatanumat Islam terhadap kitab suci luar biasa. Tidak hanya dibaca saat melakukan ibadah, tetapi juga pada waktu-waktu tertentu seperti setelah salat Maghrib atau salat Subuh dan waktu-waktu yang lain. Menghapal kitab suci Al-Quran 30 Juz adalah salah satu bentuk budaya keberagamaan umat Islam yang berbeda dari budaya agama-agama yang lain. Melombakan tilâwah al-Qur’ân juga hanya ada dalam budaya Islam. Perilaku,

akhlak Nabi selalu terinspirasi, terilhami dan terpandu oleh Al-Quran. Tidak hanya pada hal-hal yang terkait dengan persoalan ibadah atau ritual, tetapi juga masalah kehidupan pada umumnya. Oleh karenanya, umat Muslim di seluruh dunia sangat menghormati kitab suci dan nabi pembawanya. Mereka selalu terilhami, terinspirasi dan terpandu oleh Al-Quran dan perilaku serta akhlak kenabian.

Mengingat penting dan sentralnya peran dan fungsi Al-Quran dan Nabi dalam kehidupan beragama umat Islam maka keduanya dijadikan sumber

patokan, pedoman dan inspirasi bagi kehidupan seluruh umat Islam di mana pun berada. Dalam hal yang terkait dengan persoalan keimanan, ibadah, dan akhlak atau kehidupan moral, manusia Muslim selalu merujuk atau kembali kepada tuntunan Al-Quran dan Nabi (al-sunnah). Bahkan belakangan, ketika diskusi umat manusia di abad modern mulai membicarakan tentang bentuk negara, sebagian para penafsir Al-Quran juga melebar ke wilayah sosial- politik, dengan mengatakan bahwa Islam atau nabinya telah menentukan bentuk negara—negara Islam, misalnya. Pendapat yang tidak disepakati

banyak kalangan. Adagium “kembali kepada al-Qur’ân dan al-sunnah” atau al- rujû’ ila al-Qur’ân wa al-sunnah yang sangat populer dalam kehidupan umat

Islam era sekarang dalam beragama, bersosial, berbudaya, berpolitik, bahkan berekonomi bermula dari pemaknaan Al-Quran dan nabi pembawanya seperti itu.