• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Memahami Al-Quran dan al-Sunnah

Aspek divinitas dan humanitas menjadi persoalan serius dalam pembicaraan para mutakalllimûn (ahli teologi Islam) dan juga fuqahâ (para ahli fikih) sejak awal munculnya Islam. Apakah Al-Quran 100 persen divinitas dan 100 persen humanitas? Atau 50 persen dan 50 persen pembagiannya. Atau 75 dan 25 persen? Berapa pun persentase pembagiannya tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Dalam ketegangan yang kreatif (creative tension)

seperti itu maka muncullah para sahâbat dan tâbi’ûn dan tâbi’u al-tâbi’în yang ikut memaknai, menjelaskan, dan menafsirkan kepada lingkungan sekitarnya. Adalah Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa pada era kenabian, yakni ketika nabi masih hidup (living Sunnah) ada hubungan yang organik antara

al-Qur’an, al-Sunnah, al-ijmâ’ dan ijtihâd. Hubungan antara keempatnya tidak terbaca secara atomistik, terpisah-pisah antara yang satu dan lainnya dan tidak struktural-mekanistik seperti dipahami pada era ulama-ulama mazhab seperti saat sekarang ini. Yang jelas pada saat Nabi masih hidup belum ada ulama Kalâm (Mutakallimûn) dan belum ada pula ulama fikih (fuqahâ) seperti yang dijumpai pada abad ke-3 Hijriyah dan seterusnya. Kehidupan agama di awal kenabian menjadi begitu informal dan dinamis, tidak struktural, rigid dan kaku.

Karenanya, untuk kepentingan memperoleh pemahaman yang secara metodologis valid, Fazlur Rahman mengambil langkah sebagai berikut;

ucapan, tindakan, perilaku, keputusan Nabi Muhammad ketika belum ditulis dan terhimpun dalam buku-buku hadis (seperti Kutub al-sittah; 6 buku kumpulan Hadis) yang terkenal saat ini. Sedang al-Hadîts, atau hadis adalah

ketika ucapan, tindakan, perilaku dan keputusan Nabi telah dikumpulkan, ditulis, diedit dan dihimpun oleh para perawi hadis dan kemudian dibukukan dan dicetak dalam bentuk buku-buku hadis yang terkenal dalam sejarah umat Islam. Selain itu, yang kedua, Rahman juga membagi 3 periodisasi munculnya apa yang belakangan dikenal sebagai al-Hadîts (seperti yang telah tertulis dan

terhimpun dalam kitab-kitab kumpulan hadis terkenal) menjadi 3 periode: yaitu periode Informal (ketika hubungan antara al-Qur’ân, al-Sunnah, Ijma’ dan

Ijtihad masih menjadi satu secara organik; masih belum ada kitab-kitab hadis seperti yang kita jumpai saat sekarang ini), Semi-formal (ketika perilaku dan

hidup sehari-hari Nabi Muhammad masih tercatat kuat dalam ingatan para sahabat dan disebarluaskan melalui tradisi lisan), dan Formal (ketika ingatan

para sahabat, tâbi’ûn dan tâbi’u al-tâbi’în tersebut telah tercatat resmi melalui

para perawi hadis dalam lembar-lembar resmi pencatatan hadis.3

Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan sosial, budaya, politik dan ilmu pengetahuan manusia, metode penafsiran al-Qur’ân dan al- Hadîts menjadi niscaya. Menurut Abdullah Saeed, secara garis besar, pada era modern sekarang ini, ayat-ayat al-Qur’ân—dan juga al-Hadîts—, khususnya

ayat-ayat yang terkait dengan permasalahan etika dan hukum (ethico-legal)

{baca: bukan hal-hal yang terkait dengan persoalan ‘ibâdah dan ‘aqîdah}, ada 3 corak, yaitu pertama bercorak Tektualis, kedua, Semi-tekstualis dan yang ketiga adalah Kontekstualis. Klasifikasi ini berdasarkan pada tingkat dan

seberapa kuat para penafsir 1) bertumpu pada kriteria kebahasaan (linguistic)

untuk menentukan makna teks atau ayat-ayat Al-Quran; 2) seberapa kuat dan penting para penafsir mempertimbangkan konteks sosial dan sejarah (context) ketika Al-Quran turun dan juga konteks sosial dan sejarah ketika Al-Quran dipahami pada era kontemporer sekarang.4

3 Lewat klasifikasi periodisasi pertumbuhan al-Hadis tersebut sebenarnya Fazlur Rahman ingin menjawab tantangan pandangan konservatif ulama di Pakistan yang menolak hasil ijtihad pemahaman keagamaan Islam para era baru/modern dan seolah-olah mereka benar- benar meyakini bahwa Hadis adalah benar-benar ada pada era ketika nabi masih hidup dan

sekaligus juga menjawab tantangan Orientalis yang menyatakan lewat penelitiannya bahwa Hadis adalah “diciptakan” oleh umat Islam generasi abad ke 3. Tidak terkait sama sekali dengan kehidupan nabi yang sebenarnya. Rahman menolak dan memberi catatan kritis terhadap keduanya. Lebih lanjut Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965, h.139.

4 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporarary Approach, London and New York: Routledge, 2006, h. 3

Para penafsir tekstualis kuat berpendapat bahwa penafsiran Al-Quran harus mengikuti secara ketat (bunyi) teks/nash dan mengadopsi pendekatan kebahasaan (linguistic) terhadap teks. Bagi Tekstualis, adalah ayat-ayat

Al-Quran yang dipahami secara verbatim, secara harfiah, dan tekstual lah yang harus memandu dan membimbing kehidupan manusia Muslim, dan bukan berdasarkan kepada ‘kebutuhan’ yang diperlukan manusia modern- kontemporer sekarang ini yang terus berkembang-meluas dari kurun waktu tertentu ke kurun waktu yang lain. Mereka dengan gigih berpendapat bahwa makna atau arti ayat-ayat Al-Quran adalah tetap (fixed), tetap seperti itu adanya, seperti yang terbaca, dan universal dalam penerapannya. Sebagai contoh, jika Al-Quran mengatakan bahwa laki-laki boleh mengawini empat wanita/istri, maka perintah ini harus dilaksanakan selamanya, kapan pun dan di mana pun, tanpa memerlukan pertimbangan konteks sejarah, sosial, ekonomi, budaya di mana ayat Al-Quran tersebut ‘diturunkan’ dahulu. Bagi para pendukung tafsir tekstualis, memahami dan mencari uraian atau penjelasan tentang mengapa Al-Quran membolehkan laki-laki mengawini empat wanita/istri pada abad pertama/abad ke tujuh di Hijaz tidaklah penting. Contoh cara baca tekstualis yang paling jelas di era sekarang dapat dengan mudah dijumpai di kalangan Tradisionalis atau Salafi.

Sedangkan Semi-tekstualis pada dasarnya mengikuti model tekstualis dalam hal yang terkait dengan menaruh pentingnya peran bahasa (linguistic)

serta tidak menaruh perhatian pada pentingnya faktor konteks sosial- sejarah di mana Al-Quran diturunkan. Bedanya ada pada pengemasan isi dari etika dan hukum (ethico-legal) Al-Quran dalam istilah-istilah dan idiom- idiom ‘modern’, sering kali dalam bentuk wacana yang bersifat membela dan mengunggul-unggulkan diri dan kelompoknya sendiri (apologetic). Umumnya mereka terlibat dalam berbagai cabang, ranting atau rumpun gerakan besar yang terkait dengan gerakan Neo-revivalist modern, seperti Ikhwan al- Muslimun (Mesir) dan Jama’at Islami (Pakistan), juga bagian penting dari kelompok yang menamakan diri dan kelompoknya sebagai kelompok para modernis.

Adapun yang disebut dalam kategori Kontekstualis adalah mereka yang menekankan betapa pentingnya memahami konteks sejarah, sosial dan budaya dari etika dan hukum (ethico-legal) dari isi Al-Quran dan berikut khazanah tafsir yang menyertainya sepanjang zaman. Mereka menekankan betapa pentingnya memahami muatan isi etika dan hukum Al-Quran dalam cahaya sinaran konteks politik, sosial, sejarah, budaya dan ekonomi pada saat

ia diturunkan, kemudian diinterpretasikan/ditafsirkan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu mereka berpendapat adanya kebebasan yang tinggi bagi para cerdik-cendekia dan ulama setiap masa yang dilalui sejarah peradaban Islam, lebih-lebih era modern sekarang ini, untuk menentukan apa dan mana saja yang diyakini atau dianggap sebagai hal yang tidak tetap (unchangeable/al-mutaghayyirât) serta apa dan mana saja

yang diyakini dan dianggap sebagai hal yang tetap (changeable/al-tsawâbit) dalam wilayah muatan dan isi etika dan hukum. Para mufasir kontekstualis ada dalam apa yang disebut Fazlur Rahman sebagai Neo-modernist atau juga disebut Ijtihadist atau yang sekarang dikenal dengan istilah Progressive

muslim5.

Metode Tekstualis dan Semi-tekstualis