• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Positif Multikulturalisme

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 182-185)

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (88,7%, BPS 2010), Indonesia menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar di muka bumi akan memberikan pelajaran yang sangat bermanfaat ketika kita mampu mengembangkan pandangan bahwa keragaman dalam hal agama dan kultur mampu hidup berdampingan secara damai, aman dan saling bekerja sama di antara yang beragam tersebut. Kita, dengan demikian, harus bersedia mengembangkan perspektif keagamaan yang menempatkan bahwa keragaman agama dan kultur merupakan kehendak Tuhan dan kemuliaan umat beragama yang beragam.

Oleh sebab itu pula, perspektif keagamaan kita harus mengarah pada perspektif positif tentang keragaman dan perbedaan, bukan perspektif negatif tentang keragaman (pluralisme dan multikulturalisme). Perspektif positif agama dan kultur akan membawa kita pada keberagamaan yang tulus, bukan keberagamaan yang culas, penuh curiga, prasangka buruk dan enggan menghargai adanya heterogenitas yang merupakan kehendak Tuhan di muka bumi Indonesia.

Bhiku Parekh (2007), penulis asal India memberikan gambaran yang cukup meyakinkan tentang multikulturalisme. Dia katakan bahwa multikulturalisme setidaknya mengandung empat wilayah kajian yang satu sama lain sangat penting dan saling mempengaruhi.9 Keempat hal tersebut adalah: pertama, satu komunitas yang memiliki sistem nilai dan

pandangan hidupnya sendiri. Dia hadir di tengah-tengah masyarakat yang beragam, tetapi sebagai komunitas minoritas, mereka ini hanya berupaya mempertahankan dirinya dari tindakan-tindakan diskriminatif yang sering mengarah pada dirinya. Mereka ini hanya hendak mempertahankan tidak untuk melawan kelompok lain yang berseberangan. Inilah komunitas yang sering disebut dengan istilah cultural diversity dalam kajian multikulturalisme. 10

9 Bhiku Parekh, Rethinking Multiculturalism, London: Sage Publication, 2007 10 arekh, Ibid.,h. 170.

Kedua, merupakan komunitas yang secara ideologis memang berbeda

dengan komunitas lainnya. Mereka ini berupaya memberikan perlawanan dan atau tandingan berbagai macam kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Mereka sebagai minoritas hendak menghadirkan kebudayaannya sendiri pada masyarakat, sekalipun sering kali ditolak oleh komunitas lainnya, namun berupaya agar mendapatkan ruang ekspresi yang maksimal di masyarakat. Mereka inilah yang dalam kajian multikulturalisme dikenal dengan sebutan imaging diversity.11

Ketiga, komunitas yang secara terang-terangan mengatakan berbeda

dengan komunitas lain karena latar belakang dan sejarah mereka yang merasa berbeda, tetapi mereka menjadi bagian dari masyarakat yang mayoritas. Mereka hendak menginginkan diberikannya ruang oleh kaum mayoritas, sebab kehadirannya sering dianggap bertentangan dengan komunitas mayoritas di masyarakat. Mereka merupakan kelompok yang berpijak pada konstruksinya sendiri tentang budaya yang mereka kehendaki, seperti komunitas gay , lesbi, LGBT dan seterusnya. Mereka dalam kajian multikultural sering dikenal dengan sebutan, minority diversity.12

Keempat, mereka disebut sebagai komunitas counter of diversity sebab mereka hendak memberikan alternatif atas wacana multikulturalisme yang berkembang. Mereka adalah para aktivis yang berkehendak untuk menghadirkan alternatif nilai di masyarakat karena berbagai pengaruh dan sebab yang telah mendahuluinya, seperti komunitas anti-pembangunan berbasiskan hutan, komunitas pecinta lingkungan (environtalism), komunitas anti-pembangunan berdasarkan utang dan seterusnya.13

Penjelasan Bhiku Parekh di atas memberikan kerangka kepada publik bahwa dalam masyarakat sekurang-kurangnya terdapat empat kelompok masyarakat yang memiliki sistem nilainya sendiri. Di antara mereka berkehendak untuk hidup, bertahan dan menjadi pijakannya masing-masing. Bahkan, secara ekstrem di antara mereka terdapat yang ingin melakukan ekspansi atas sistem nilai yang dianut oleh mereka agar masyarakat luas menjadi bagian dari komunitasnya. Metodenya adalah menyebarkan dan melakukan training-training serta sosialisasi dari komunitas ke komunitas, bahkan dari kampus ke kampus agar publik semakin mengetahui dan bersedia menjadi pengikutnya.

11 Parekh, Ibid., h. 172

12 Parekh, Ibid., h. 174

Dalam penjelasan lainnya, Bikhu Parekh mengatakan bahwa kaum multikultur adalah kaum yang secara tegas bersedia menerima perbedaan dari kaum minoritas dan memberikan kesempatan pada kaum minoritas untuk eksis, berperan dan memberikan ruang seluas-luasnya kepada mereka sehingga sebagai kaum mayoritas tidak perlu takut atau terancam oleh kehadiran kaum minoritas yang menawarkan “jalan lain” kepada kaum mayoritas yang telah lama mendapatkan ruang partisipasi dan ruang politik secara nyaman dan kekhususan-kekhususan yang diperoleh selama ini. Pendek kata, kaum multikultur adalah kaum yang sadar akan kaum minoritas dan posisi mayoritas yang dimiliki selama ini sebagai sebuah kehendak baik kaum minoritas.14

Namun demikian, kita tidak bisa berdiam begitu saja dengan perspektif positif tentang multikulturalisme, sebab di luar yang memiliki pandangan positif tentang pluralisme dan multikulturalisme masih ada yang berpandangan negatif tentang orang lain. Kaum fundamentalis atau kaum ekstremis, sebutan yang paling populer secara akademik dan sosiologis, tetap nyata adanya. Kaum fundamentalis atau radikalis, berada di seberang lain dari kaum inklusif dan pluralis, yang sering menyebabkan munculnya persoalan baru di dalam dan antar-agama seperti terjadi di beberapa Negara di dunia, baik Amerika, Eropa, Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Kaum fundamentalis-radikalis merupakan catatan kaki tersendiri dari kaum agamawan yang inklusif-toleran.

Kaum fundamentalis senantiasa memandang dunia ini dalam kerangka

clash of civilization antara Islam versus Kristen dan dengan agama lain,

sehingga antara agama-agama di muka bumi mustahil dapat bekerja sama dan toleran. Inilah persoalan yang sangat serius yang harus dijelaskan kepada publik agama, sehingga penganut agama Islam di Indonesia sebagai mayoritas tidak serta merta bahwa agama-agama tidak bisa diajak kerja sama. Bahwa ada pandangan negatif tentang agama lain merupakan hal yang tidak bisa ditolak kehadirannya. Bahkan dalam bahasa multikulturalisme dan pluralisme itulah bukti nyata dari adanya kultur yang berbeda dalam rumah yang sama.

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 182-185)