• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produk Epistemologis Fikih Kebinekaan

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 109-113)

Dengan berbasis pada epistemologi keilmuan Islam kontemporer di atas, maka produk fikih kebinekaan juga harus menyesuaikan dengan landasan epistemologis tersebut. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa epistemologi Islam klasik lebih bersifat—meminjam format filsafat Platonian—idealistik-

ontologik-metafisik, maka pada umumnya, produk fikih yang dihasilkan cenderung bersifat—meminjam perspektif M. Abed al-Jabiri—tekstual-

bayani. Atau dalam perspektif kajian literatur tafsir dan fikih klasik, prinsip

al-‘ibrah bi-umûmi al-lafzh (pemaknaan tekstual), lebih dominan. Dengan

demikian, produk fikihnya bersifat literal dan cenderung terikat dengan masa lalu kesejarahan Islam ketika Al-Quran dan Hadis diturunkan. Maka tidak mengherankan, kajian dan pengajaran kitab-kitab tafsir, hadis, akidah, fikih, tarikh dan akhlak dewasa ini umumnya masih menggambarkan “suasana dan ruang historis” yang klasik tersebut. Contoh kasus fikih tentang hukuman mati bagi yang murtad, keharusan pelaksanaan syariat secara formalistik, penegakan khilafah dan sebagainya, mencerminkan “suasana psikologi umat” di masa lalu, yang sama sekali berbeda secara diametral dengan suasana psikologis, sosiologis, dan kultural umat Islam masa kini.

Dampak lain dari fenomena studi keislaman klasik, dengan segala produk keilmuannya, lebih menggambarkan dimensi eternalitas yang serba metafisik, yang sudah pasti sangat mengabaikan dimensi perubahan dan dinamika (taghayyur dan tathwîr). Implikasi lainnya adalah bahwa penggunaan epistemologi keilmuan Islam klasik cenderung bersifat dikotomis dengan prinsip logika black or white. Cara berpikir seperti ini melahirkan sikap

keberagamaan umat yang bersifat menyukai akan pertentangan sosial

(ta’ârudh al-ijtimâ’iyyah), bahkan yang berdimensi luas dengan munculnya

fenomena clash of civilization, misalnya dikotomi antara Islam dan Barat, juga secara internal umat sendiri yang bersifat parokial-sektarianistik. Hal ini tentu melahirkan gap sosial yang mengarah pada tumbuh-suburnya logika konfliktual dan saling menegasikan antar-sesama umat dan warga bangsa. Secara organisatoris, fenomena FPI, Jamaah Ansharut-Tauhid, HTI, al-Qaeda, ISIS serta gerakan Salafi-Wahabi-radikal lainnya menggambarkan hasil produk fikih yang metafisik dan literalistik dimaksud.

Dalam perspektif teologis, produk fikih—serta khazanah Islamic studies

lainnya—dinilai terlalu berorientasi pada ketuhanan (teosentris) an sich

(teologi takbiratul-ihram), minus teologi salâm kemanusiaan (melahirkan

sikap dehumanisasi seperti kekerasan serta pelanggaraan HAM lainnya) dan minus teologi kealaman (tidak memiliki kepedulian dengan kerusakan lingkungan serta abai dengan upaya pelestarian alam (natural preservation))

lainnya. Termasuk kurang memiliki kepekaan dalam soal natural disaster

seperti upaya mitigasi sebagai langkah dini antisipasi munculnya bencana alam dan sosial (banjir, gempa, letusan gunung api, angin puting beliung, tsunami, dan sebagainya).

Berdasarkan landasan epistemologi keilmuan Islam kontemporer di atas, maka sangat mendesak untuk dilakukan kajian dan tafsir ulang terhadap keseluruhan khazanah studi Islam klasik, agar lebih relevan dan kontekstual dengan berbagai dinamika sosial dan perubahan alam yang semakin mengalami percepatan dari hari ke hari, akibat dari semakin bertambahnya penduduk bumi (demografi) dan adanya akselerasi di bidang IT. Dengan demikian, berbagai konsep keilmuan Islam klasik perlu ditafsir ulang atau juga perluasan makna seperti redefinisi konsep: maslahah, istihsân, maqâshid al-syarî’ah, sadd al-dzarî’ah, dan sebagainya. Pembacaan baru terhadap khazanah Islam klasik dengan paradigma al-‘ibrah bi-khusûsi al-sabab, menjadi

Dewasa ini, sebenarnya telah banyak tawaran redefinisi dan rekonseptualisasi paham-paham Islam klasik tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh: Jasser Auda tentang perluasan makna maqâshid al-syariah8. Juga tawaran Abdullahi Ahmed an-Na’im yang menawarkan paradigma fikih yang bercorak “back toMakkiyyah” yang ia nilai lebih bernuansa universal-

humanitarian, sekaligus me-nasakh (menghapus)paradigma fikih Madaniyyah

yang cenderung parokial-eksklusif dan sektarian, serta kurang familiar dengan komunitas non-muslim maupun kaum perempuan. Munculnya kajian tentang corak pemahaman tafsir, hadis, dan fikih yang bernuansa misoginis mencerminkan hal ini. Secara umum, an-Na’im ingin menjembatani antara pola pemikiran kaum sekular maupun muslim fundamentalis.

Dari perspektif hubungan antar-komunitas Muslim dan Barat, tawaran konsep Western Islam ala Tariq Ramadan9 menarik untuk dicermati. Tariq Ramadan juga mengkritisi tentang kurang terampilnya para imigran muslim yang hijrah ke dunia Barat dalam beradaptasi dengan budaya Barat, sepanjang tidak menafikan prinsip-prinsip universal dalam Islam (the problem of assimilation and integration). Tariq Ramadan juga mengkritisi konsep jihad yang dipahami kaum minoritas Muslim di Barat secara sempit dengan menolak fenomena suicide bombing. Tariq juga mengemukakan tentang perlunya “moratorium” tentang fikih hudûd yang ia anggap terlalu literal serta menghindarkan diri dari sikap judgement dalam soal khilâfiyyah. Tariq juga mendorong untuk menggunakan prinsip: unzhur ila mâ-qâla, walâ tanzhur ila man-qâla. Ia juga berpandangan bahwa tidak semua dari Arab itu

Islami, dan tidak semua dari Barat itu buruk. Ia juga merekomendasikan tentang perlunya intra dan extra-community dialogue. Selain itu, ia menolak

pembagian biner dunia ke dalam Darul Islam dan Darul Harb, tapi ia lebih konsen dengan Dar al-Dakwah. Tariq juga mendorong umat Islam untuk meniru sikap akademis budaya “kritik” dan tradisi “keraguan” dari Barat.

Penutup

Untuk lebih memudahkan proses pengamalan nilai Al-Quran dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural di masa depan, ada baiknya para pembaca mendalami secara kritis beberapa pemikiran—selain al-Jabiri, an-Na’im,

8 Lihat Jasser Auda, Maqasid as-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach,

London & Washington: The International Institute of Islamic Thought, 2008.

9 Karya Tariq Ramadan antara lain: Western Muslim and the Future of Islam, USA: Oxford University Press, 2003; Islam Radical Reformism, Islamic Ethics and Liberation, USA: Oxford University Press, 2009; The West and The Challenge of Modernity, Penguin: Spring, 2012.

Jasser Auda dan Tariq Ramadan di atas—sebagai berikut: 1) Gagasan tentang

Al-Quran sebagai korpus terbuka maupun konsep masyarakat kitab dari Mohammed Arkoun; 2) Demikian pula dari Fazlur Rahman tentang ideal moral

dan legal spesifik serta teori double movement dalam memahami Al-Quran;

3) Konsep religious democracy dari Abdul Karim Soroush maupun konsepnya tentang penyusutan dan pengembangan studi Islam; 4) Teologi sosial versi Asghar Ali Engineer dan Hassan Hanafi; 5) Gagasan tentang fundamentalisme autentik dan fundamentalisme politik dari al-‘Asymawi; 6) Juga menarik pula dicermati tulisan Abdullah Saeed yang berjudul Interpreting the Qur’an, Towards a Contemporary Approach. Karya-karya pemikir muslim kontemporer ini (bisa dilacak via Google) yang intinya memuat tentang berbagai kegelisahan akademik mereka, agar nilai-nilai Qur’ani bisa ditafsir ulang sesuai dengan konteks kekinian dunia Islam. Melalui epistemologi keilmuan Islam kontemporer, umat Islam juga perlu memperluas pemahaman tentang fikih kebinekaan yang berbasis pada prinsip globalitas dan universalitas kemanusiaan ala Fethullah Gülen10, maupun warisan pemikiran intelektual Muslim kontemporer lainnya yang cukup menarik dan relevan untuk dikembangkan, khususnya di Indonesia. Wallahu a’lam bi al-shawab.[]

10 Muhammwed Çetin, The Gülen Movement, Civic Service Without Borders, New York: Blue Dome Press, 2010.

Dalam dokumen Fikih Kebinekaan Antara Chitizenship Dan Ummah (Halaman 109-113)