• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muhammadiyah dan Masalah Hubungan Antara Umat Beragama

Sebelum saya menjelaskan isi buku Fikih Kebinekaan ini, yang mayoritas

penulisnya berlatar belakang—atau memiliki afiliasi dengan— Muhammadiyah, ada baiknya disinggung gagasan “serupa” tapi “tidak sama” yang pernah muncul di lingkungan Muhammadiyah terkait hubungan sosial antar-umat beragama. Karya cukup penting dalam Muhammadiyah adalah sebuah buku dengan judul Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama3 yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Buku tersebut lahir dari sebuah proses dan pergulatan panjang yang berkembang di dalam Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI, saat ini menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid).

Dalam organisasi Muhammadiyah, Majelis Tarjih memiliki peran vital dalam merumuskan dan menetapkan pandangan-pandangan keagamaan Muhammadiyah. Majelis Tarjih juga bertugas memberikan opini hukum terhadap pelbagai persoalan yang dihadapi umat Islam secara umum, dan warga Muhammadiyah, secara khusus.4 Meski dirumuskan secara keseluruhan oleh aktivis Muhammadiyah, terutama yang berada di MTPPI pada waktu itu, buku Tafsir Tematik Al-Qur’an tersebut dianggap sebagai upaya untuk penguatan wacana semata, bukan sebagai fatwa dan apalagi keputusan organisasi. Oleh karena itu, buku tersebut tidak menjadi pandangan resmi

3 Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Hukum Islam, Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM dan MTPPI, 2000). 4 Majelis ini berganti nama beberapa kali. Sebelumnya hanya bernama Majelis Tarjih, kemudian setelah Muktamar Banda Aceh tahun 1995 berubah menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI), dan kemudian berubah lagi pada Muktamar di Malang menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid, hingga saat ini.

organisasi Muhammadiyah. Di dalam perjalanannya, buku Tafsir Tematik Al-Qur’an ini menuai kontroversi dan perdebatan hangat di dalam dan di luar organisasi Muhammadiyah. Beberapa dialog dilakukan antara tim penulis dengan aktivis ormas Islam yang tidak menyetujui gagasan-gagasan yang muncul dalam buku Tafsir Tematik tersebut. Karena menuai protes

dari beberapa kalangan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga menahan diseminasi buku tersebut sehingga tidak diproduksi atau diperbanyak lagi.5

Di balik perdebatan terhadap karya-karya yang telah ditulis oleh kalangan Muhammadiyah dan di luar Muhammadiyah, masalah keharmonisan tetap menjadi masalah penting di Indonesia. Meski Muhammadiyah tidak banyak lagi mengeluarkan dokumen-dokumen resmi tentang kerukunan umat beragama, toleransi agama dan pluralisme, banyak di kalangan aktivis Muhammadiyah yang tetap menggeluti masalah ini pada wilayah praktis, baik melalui LSM-LSM maupun aktivisme intelektual. Dua tokoh Muhammadiyah menjadi contoh paling kasat mata untuk saat ini dalam mempromosikan harmoni umat beragama adalah Prof. Ahmad Syafii Maarif dan Prof. M. Din Syamsuddin.

Ahmad Syafii Maarif, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1998-2005, adalah tokoh Muhammadiyah yang menjelma menjadi “tokoh lintas agama” yang tidak henti-hentinya menggelorakan tentang perlunya membangun keharmonisan. Pelbagai pertemuan telah dirangkai olehnya bersama para tokoh lintas agama untuk merumuskan solusi persoalan- persoalan bangsa, mulai tindak kekerasan, diskriminasi, krisis politik, dan korupsi. Pada tahun 2008, Syafii Maarif meraih Ramon Magsaysay Award atas kontribusinya di bidang kemanusiaan. Melalui MAARIF Institute, sebuah lembaga yang didirikannya bersama para aktivis muda Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif memiliki “kaki dan tangan” yang lebih lincah dan fleksibel untuk menerjemahkan gagasan-gagasannya, termasuk di dalam mengampanyekan Islam yang terbuka dan pluralis. Dalam diskursus yang dikembangkannya, MAARIF Institute memberikan perhatian kepada masa lah hak-hak sipil, kesetaraan, hubungan mayoritas-minoritas, dan kemanusiaan.

5 Untuk melihat perdebatan tersebut dan dinamika wacana yang berkembang di kalangan Muhammadiyah dan aktivisnya perihal Tafsir Tematik tersebut, lihat “Post-Puritanisme Muhammadiyah: Studi Pergulatan Wacana Keagamaan Kaum Muda Muhammadiyah 1995- 2002” (Post-Puritanism: A Study of Muhammadiyah Youth’s Religious Discourse 1995-2002),

Tanwîr, 1, No. 2, July 2003, hh. 43-102; juga Ahmad Najib Burhani, “Lakum dinukum wa-liya dini: The Muhammadiyah’s Stance towards Interfaith Relations,” Islam and Christian–Muslim Relations, 2011, Vol.22 (3), hh.329-342.

Sementara itu, M. Din Syamsuddin, yang menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat dua Periode (2005-2010 dan 2010-2015), juga aktif menggeluti masalah agama dan perdamaian. Sebagai ketua ormas besar seperti Muhammadiyah, Din Syamsuddin dapat memainkan perannya sebagai intelektual publik yang memberikan perhatian pada masalah- masalah kerukunan, dialog antar-agama, dan perdamaian. Partisipasi Muhammadiyah dalam forum-forum internasional di bidang perdamaian semakin menguat. Din Syamsuddin juga mendirikan sebuah lembaga yang secara khusus menjadi tempat perumusan gagasan-gagasannya tentang perdamaian dan dialog agama-agama, yaitu CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations). Ia telah dipercaya memegang posisi kultural strategis, antara lain sebagai President and Moderator of Asian Conference on Religion for Peace (ACRP), Co-President World Conference on Religions for Peace (WCRP/RfP), dan Member of Strategic Alliance between Rusia and the Muslim World. Kiprah Din Syamsuddin dalam membangun dialog antaragama telah mengantarkannya untuk meraih penghargaan dari warga dunia di bidang perdamaian dan dialog antar-agama.

Perlu pula disebutkan di sini nama Syamsi Ali, kader Muhammadiyah yang lama melanglangbuana di luar negeri. Setelah menimba ilmu dan pengalaman di Makassar, Pakistan dan Saudi, Syamsi Ali tinggal di New York, dan menjadi Imam di Islamic Center of New York serta pengurus Jamaica Muslim Center. Syamsi Ali bukan saja harus merepresentasikan Muslim Indonesia di Amerika, tetapi juga harus menyampaikan pandangan- pandangan Islam tentang banyak hal kepada warga non-Muslim di Amerika. Ia aktif memprakarsai dan juga terlibat dalam dialog antar-agama dengan tokoh-tokoh agama Yahudi dan Kristen di Amerika. Bahkan, pandangan- pandangan moderatnya tentang Islam telah menarik banyak warga Amerika, termasuk para pengambil kebijakan untuk mengundangnya tampil mewakili masyarakat Muslim Amerika dalam acara “A Prayer for America.” Syamsi Ali berupaya menangkal Islamphobia di sebagian kalangan masyarakat Barat, khususnya Amerika, dengan menampilkan inklusivitas Islam.

Apakah kalangan Muslim Indonesia secara umum, dan warga Muhammadiyah, secara khusus, selalu memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad Syafii Maarif, Din Syamsuddin dan Syamsi Ali? Apakah semangat membangun dialog dan merumuskan Islam yang terbuka selalu mendapat dukungan kuat dari kaum Muslim yang lainnya? Tentu saja tidak. Banyak kalangan yang mengkritik dan tidak setuju dengan pandangan dan

kiprah tiga sosok kader Muhammadiyah tersebut di atas. Ketidaksetujuan yang muncul boleh jadi disebabkan beberapa hal: perbedaan cara pandang, kesalahan memahami, atau ketidaksamaan cara merumuskan sikap keislaman. Apalagi dewasa ini hubungan kaum Muslim dengan non-Muslim tidak selalu berada dalam kondisi yang harmonis, baik di kalangan elite maupun masyarakat akar rumput (grassroots), dan oleh karena itu gesekan

sosial, kecurigaan dan kesalahpahaman selalu ada.