• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk-bentuk Sanks

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 124-127)

INTERAKSI MASYARAKAT DENGAN HUTAN DAN PERANNYA DALAM KONSERVASI HUTAN DI SEKITAR OBJEK WISATA ALAM

TEMUAN DAN PEMBAHASAN 1 Fungsi Hutan

5. Bentuk-bentuk Sanks

Aturan selalu ditegakkan dengan adanya sanksi. Dengan adanya sanksi tersebut maka pihak yang melakukan pelanggaran akan merasa jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Dalam konteksnya dengan interaksi dan pemanfaatan hutan, sanksinya dalam awig-awig pada tiap daerah tentu beragam. Di sini akan dilihat apa yang menjadi sanksi di masing-masing lokasi.

Di Aik Nyet sanksi yang diberikan dalam bentuk lain-lain. Karena pilihan pada pembahasan sebelumnya mayoritas menyatakan bahwa tidak ada awig-awig, maka lain-lain di sini memiliki maksud bahwa tidak ada sanksi yang diberikan dan berjalan bagi masyarakat. hanya sebagian kecil yang memilih sanksi dalam bentuk penanaman pohon pengganti dan denda berupa uang.

Informasi yang lain terdapat di Kerta Gangga. Di sana porsi paling banyak dalam pemberian sanksi berupa lain-lain yang dari penggalian saat wawancara lain-lain ini bermakna tidak ada sanksi atau sanksi yang seharusnya sebenarnya ada namun tidak berjalan semestinya. Meskipun demikian terdapat angka yang signifikan yang menyebutkan bahwa ada sanksi dalam bentuk denda uang dan penanaman pohon pengganti. Artinya di sini meskipun awig-awig tidak sepenuhnya berjalan, namun pelaksanaan sanksi sudah lebih berjalan dibandingkan dengan di Aik Nyet.

Tabel 5. Sanksi yang Diterapkan

Sanksi yang diterapkan Aik Nyet Kerta Gangga Sendang Gile

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Denda uang 1 2 11 22 17 34

Denda penanaman pohon pengganti 4 8 14 28 3 6

Denda penanaman pohon pengganti dan lainnya 0 0 9 18 10 20

Dikucilkan dari masyarakat 1 2 3 6 10 20

Lain-lain 45 91 21 42 3 6

Sumber: data primer, 2015

Kondisi yang lebih baik terdapat di Sendang Gile. Pilihan terbanyak pada pilihan denda berupa uang, kemudian diikuti dengan penanaman pohon pengganti dan lainnya, serta dikucilkan dari masyarakat. Di Sendang Gile memang terdapat kelompok masyarakat yang masih memegang aturan adat. Awig-awig adatnya salah satunya adalah sebagaimana terdapat dalam pilihan poin-poin dalam tabel ini. Ini setidaknya peneliti peroleh ketika berdiskusi dengan tokoh adat penjaga hutan (pawang bangket) dan ketua adat di Bayan. Aturan adat tersebut sangat menekankan pada aspek konservasi hutan, khususnya pada konteks hutan adat. Adapun butir-butir awig- awig pada hutan adat telah disebutkan dalam pemaparan sebelumnya terkait dengan awig-awig.

Awig-awig ini kemudian dilengkapi dengan perangkat berupa sanksi sebagai konsekuensi jika terjadi pelanggaran atas awig-awig. Sanksi yang diberikan dalam pelanggaran terhadap awig-awig ini tergolong sangat berat. Beberapa poinnya antara lain adalah sebagai berikut. Bagi masyarakat yang melanggar salah satu awig-awig maka wajib membayar denda berupa satu ekor kerbau, beras satu kuintal, uang bolong/kepeng sebanyak 244 biji, kelapa 40 buah, gula merah, dan kayu bakar, ayam satu ekor, dan beras satu rombong. Bagi pelanggar yang tidak mematuhi dengan tidak membayar denda tersebut akan dikenakan hukuman yang lebih berat yakni (1) tidak akan diberikan penghulu/kyai dalam penyelenggaraan upacara selamatan, (2) dikucil-diasingkan dan tidak akan diakui sebagai masyarakat adat.

Aturan adat ini sangat ditaati oleh masyarakat karena sanksi yang diberikan begitu berat. Bagi mereka yang memiliki kecukupan ekonomi, sanksi yang bersifat material mungkin akan lebih mudah dibayarkan ketika melanggar aturan itu. Namun sanksi yang paling berat sebenarnya bukan sanksi yang bersifat material, namun justru sanksi dalam bentuk sanksi sosial di dalam bentuk tidak diberikan layanan penghulu/kyai. Tidak adanya layanan itu tentu akan sangat merepotkan bagi masyarakat adat karena dalam setiap aktivitas yang berhubungan dengan ritual keagamaan dan adat maka kehadiran penghulu/kyai menjadi sebuah keharusan sehingga pasti sangat dibutuhkan setiap anggota masyarakat. Sanksi yang paling berat tentunya adalah perlakuan pengucilan dari masyarakat dan dianggap sebagai bukan bagian dari anggota masyarakat adat.

Sanksi yang terakhir ini bisa jadi memiliki efek yang berbeda bagi tiap anggota masyarakat. Penelitian Budiwanti (2000) misalnya menyebutkan bahwa pada kasus tertentu, memang ada anggota masyarakat yang sanksi sosial tersebut tidak begitu memiliki efek secara pribadi. Ini berlaku khususnya bagi mereka yang sudah memiliki ikatan yang longgar dengan adat. Namun bagi mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dan relasi sosial yang sangat kuat dengan adat, maka sanksi ini akan dirasakan begitu berat.

4. KESIMPULAN

1. Masyarakat sekitar objek wisata alam di ketiga tempat memiliki pandangan yang berbeda terhadap fungsi hutan. Masyarakat di Aik Nyet lebih memandang hutan dari fungsi ekonominya yakni untuk memenuhi hajat hidup dan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Sementara itu di Kerta Gangga masyarakatnya cenderung melihat hutan dari sisi fungsi perlindungan lingkungan seperti menjaga mata air, dan mencegah tanah longsor. Masyarakat di sekitar Sendang Gile juga memiliki kecenderungan yang sama dengan di Kerta Gangga, bahkan kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan lebih tinggi.

2. Dari aspek keterlibatan masyarakat dalam melakukan pemanfaatan hutan didapatkan kesimpulan bahwa di Aik Nyet masyarakatnya banyak terlibat dalam pemanfaatan hutan secara langsung. Dalam artian mengambil manfaat ekonomi dari sumber daya hutan, khususnya yang berupa hasil hutan bukan kayu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sementara itu di Kerta Gangga dan Sendang Gile masyarakat sangat minim dalam pemanfaatan hutan secara langsung. Masyarakat di Kerta Gangga lebih memanfaatkan hutan sebagai sumber mata air yang dimanfaatkan sebagai air irigasi dan juga dapat menjadi tujuan wisata. Sementara di Sendang Gile masyarakat memanfaatkan hutan untuk dinikmati lingkungannya yakni kesejukannya dan adanya mata air dari dalam kawasan hutan yang menjadi daya tarik wisata.

3. Dari aspek frekuensi masuk ke dalam hutan, masyarakat di Aik Nyet memiliki frekuensi tertinggi. Ini disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang memanfaatkn hutan sebagai sumber mencari nafkah/ekonomi. Sementara itu di Kerta Gangga orang lebih jarang masuk ke hutan, dan di Sendang Gile masyarakat paling jarang masuk ke dalam kawasan hutan.

4. Terkait dengan awig-awig didapatkan kesimpulan bahwa di Aik Nyet belum terdapat awig-awig, sementara di Kerta Gangga sudah ada namun bekum begitu berjalan. Sementara itu untuk kasus di Sendang Gile, dari hasil survei ditemukan bahwa awig-awig belum begitu berjalan, namun dari hasil FGD dan temuan di lapangan menunjukkan bahwa awig-awig di Sendang Gile merupakan yang paling eksis dibandingkan dua lokasi yang lain.

5. Terkait dengan sanksi yang diterapkan disimpulkan bahwa masyarakat di Aik Nyet memilih opsi lain-lain yang maknanya adalah sanksi belum berjalan. Sementara itu di Kerta Gangga dan Sendang Gile sanksi yang berjalan beragam mulai dari menanam pohon pengganti, denda uang, sampai dengan dikucilkan dari masyarakat. Untuk Sendang Gile penerapan sanksi ini relatif paling baik dibandingkan Kerta Gangga, apalagi Aik Nyet. Bahkan aturan adatnya memiliki sanksi sosial yang sangat kuat.

DAFTAR PUSTAKA

Dietz, Ton. 1998. Pengakuan Hak atas Sumberdaya Alam: Kontur Geografi Lingkungan Politik. Jogjakarta: Pustaka

Pelajar, Insist Press dan REMDEC.

Bryant, Raymond dan Sinead Bailey. 2005. Third World Political Ecology. London: Taylor & Francis. Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima. Jogyakarta: LKiS.

Kartodihardjo, Hariadi (Ed). 2013. Kembali Ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Jogjakarta: FORCI Development dan Penerbit Tanah Air Beta.

Diamantis, Dimitrios. 1999. The Concept of Ecotourism: Evolution and Trends. Current Issues in Ecotourim.

Vol. 2. No. 2 & 3.

The International Ecotourism Society. 2014. Ecotourism Definition. Website: https://www.ecotourism.org/book/ ecotourism-definition. Diakses 13 Juli 2016.

The Lombok Guide. 2016. Website: http://www.thelombokguide.com /map_of_lombok_ preview.html. diakses 13 Juli 2016.

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 124-127)