• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUJUAN PENELITIAN

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 140-145)

PERJUANGAN KESETARAAN Belajar dari Rusdiyah Club

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menggali bagaimana usaha dari Rusdiyah Club untuk memberikan kesadaraan kesetaraan dengan kolonial.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Penempatan yang Sarat Kepentingan

Pembagian kategori ‘negara maju’dan ‘negara berkembang’ atau ‘negara dunia ketiga’ merupakan sebuah pembagian yang sarat dengan kepentingan. Posisi yang diciptakan menghasilkan sebuah patron dan klien, majikan dan pembantu atau penguasa dan yang dikuasai. Hubungan ini dianggap alami karena berpijak pada kesejahteraan ekonomi yang juga ditentukan oleh negara-negara tertentu. Namun jika dikaji lebih jauh akan terlihat bahwa pembagian ini telah menempatkan ‘negara-negara berkembang’ dan ‘negara dunia ketiga’ dalam posisi daya tawar yang rendah dalam negosiasi. Hal ini diakibatkan oleh asumsi bahwa ‘negara dunia ketiga’ adalah negara miskin dan terbelakang sehingga untuk lepas dari keterbelakangan tersebut maka campur tangan negara-’negara maju’mutlak diperlukan. Negara-’negara dunia ketiga’ harus rela diintervensi, dimajukan, atau di modernisasi atas nama pembangunan. Adanya intervensi karena negara-’negara dunia ketiga’ dianggap tidak mampu keluar sendiri dari masalah yang mereka hadapi justru karena faktor internal yang mereka miliki sendiri.

Menurut Budiman (2000:18) paradigma ilmu sosial dalam diskursus teori pembangunan dunia ketiga, dikenal dengan istilah paradigma teori modernisasi. Menurut teori ini, kemiskinan dan keterbelakangan bangsa- bangsa dunia ketiga disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat dalam negeri yang bersangkutan, yaitu faktor budaya mentalitas manusianya. Oleh karena itu, jika bangsa-bangsa dunia ketiga ingin melepaskan diri dari persoalan kemiskinan dan keterbelakangannya, maka sebagaimana teori modernisasi Inkeles, mentalitas mereka harus diubah dari mentalitas tradisional ke mentalitas modern (Inkeles & Smith, 2000:302). Dari sini terlihat visi modernisasi negara-’negara maju’adalah bagaimana mengubah negara-’negara dunia ketiga’ melalui standar yang telah mereka tentukan sendiri tanpa melibatkan negara yang bersangkutan. Sisi aktif justru ditunjukan oleh ‘negara maju’dan ‘negara dunia ketiga’ hanya menjadi objek dari project modernisasi mereka. Sebuah cara pandang yang jika ditelusuri lebih jauh merupakan kelanjutan cara pandang purba Eropa dan Amerika kepada Asia dan Afrika.

Adalah Edward Said yang menulis buku Orientalism menggambarkan bahwa negara-negara Eropa dan Amerika melihat negara Asia dan Afrika sebagai sesuatu yang eksotis. Cara pandang ini melahirkan pengobjekan negara-negara Asia dan Afrika dalam kacamata Eropa. Bukan melihat hal tersebut sebagai perbedaan budaya, para imperialis melihatnya sebagai sesuatu yang primitif. Situasi yang tercipta ini membuat orang-orang Asia dan Afrika dianggap rendah di mata orang Eropa dan Amerika. Dampak yang ditimbulkan sangat parah karena ternyata cara pandang tersebut juga selama bertahun-tahun diterima oleh orang-orang Asia dan Afrika itu sendiri. Ada perasaan rendah saat berhadapan dengan orang-orang Eropa dan Amerika. Kondisi ini terus dipertahankan dan bertahan sampai saat ini dalam wujud baru dengan nama ‘negara maju’dan negara berkembang atau ‘negara dunia ketiga’ .

Jika ditelusuri lebih jauh lagi maka hal ini masih berhubungan dengan cara pandang positivisme. Tidak hanya sekedar pandangan positivistis mengenai ilmu pengetahuan, melainkan jauh lebih luas lagi, positivisme sebagai “cara berpikir” yang menjangkiti kesadaran masyarakat Barat modern dan masyarakat bangsa-bangsa dunia ketiga, terutama lewat paradigma ilmu sosial positivistiknya. Paradigma sosial positivisme ini meyakini bahwa ilmu-ilmu sosial harus dikembangkan menuju sikap “ilmiah”, yaitu ilmu sosial haruslah objektif, berjarak, bebas nilai, dan bersifat universal. Karena itu, tugas utamanya adalah memberi makna realitas sosial serta melakukan “rekayasa sosial” menuju masyarakat yang dicita-citakan oleh ilmuan ke arah terciptanya suatu tatanan sosial yang berpijak pada keseimbangan sosial, stabilitas sosial dan harmoni sosial (Faqih, 2002:29).

2. Hegemoni

Untuk menjelaskan mengapa pembagian negara maju dan miskin dapat diterima tanpa perlawanan yang berarti maka konsep hegemoni Antonio Gramsci bisa membantu. Konsep hegemoni menurut Gramsci adalah sebagai suatu dominasi kekuasaan suatu kelas sosial atas kelas sosial lainnya, melalui kepemimpinan intelektual dan moral yang dibantu dengan dominasi atau penindasan. Bisa juga hegemoni didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok yang lain, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominasi terhadap kelompok yang didominasi/dikuasai diterima sebagai sesuatu yang wajar dan tidak mengekang pikiran. Dari konsep yang ditawarkan Gramsci maka kita bisa menyadari bagaimana relasi negara Asia dan Afrika dibangun dalam mata negara-negara Eropa dan Amerika.

Proses pembagian kategori sebenarnya merupakan bentuk penjajahan baru. Prinsipnya bahwa negara-negara berkembang dan ‘negara dunia ketiga’ adalah negara yang lemah dan harus dibantu agar bisa menjadi negara yang mandiri dan kuat. Cara pandang ini sebenarnya melanjutkan cara pandang imperialis fisik jaman dahulu yang menganggap negara-negara Asia dan Afrika sebagai negara primitif. Jika pada masa lampau konsekuensi dari cara pandang ini adalah pendudukan fisik, maka pada saat ini yang terjadi adalah pendudukan psikologis. Negara-negara berkembang atau ‘negara dunia ketiga’ didikte dalam kebijakannya dan harus menuruti apa yang diarahkan oleh negara-’negara maju’dalam paket-paket modernisasi yang mereka tawarkan.

Jika dilihat dari hubungan antarnegara maka sebenarnya perbedaan ‘negara maju’dengan negara berkembang dan ‘negara dunia ketiga’ terletak pada fasilitas yang dianggap lebih maju. Salah satunya adalah ketersediaan peralatan teknologi untuk mempermudah pekerjaan. Keberadaan teknologi yang banyak ditemukan dan

dikembangkan di Eropa dan Amerika ini memang betul-betul membawa perubahan pada struktur masyarakat di sana. Massalisasi produk-produk terjadi hingga membanjiri pasar. Akibatnya harga menjadi murah. Agar produk- produk yang diproduksi diserap, maka pemasarannya dikembangkan dengan menjangkau negara-negara Asia dan Afrika yang dikenal memiliki jumlah penduduk yang tinggi. Apakah produk tersebut dibutuhkan atau tidak, hal itu tidak menjadi perhatian karena kebutuhan telah diciptakan bagi negara-negara Asia dan Afrika. Sekali lagi hegemoni berjalan dan masuk dalam alam pemikiran orang-orang Asia dan Afrika. Apa yang dikirimkan oleh negara-’negara maju’menjadi sesuatu yang penting karena standarnya mengikuti apa yang dikehendaki oleh negara-’negara maju’tersebut.

Praktek ideologi mempunyai agen-agennya sendiri dalam bangunan kaum intelektual yang mana mereka itu mengkhususkan diri dalam menjabarkan ideologi-ideologi organik dan mengemban tugas melaksanakan reformasi moral dan intelektual. Oleh karena itu, setiap kelas yang mempunyai kedudukan penting menciptakan satu atau lebih strata kaum intelektual yang sadar akan peranannya, bukan hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam lapangan politik dan sosial. Dengan demikian, kelas pekerja misalnya, juga harus menciptakan kaum intelektualnya sendiri jika mereka ingin berhasil membangun hegemoni tandingan. Tugas kaum intelektual ini tidak hanya membuka selubung ideologis hegemoni dominan yang eksploitatif dan menindas kaum pekerja, tetapi juga sekaligus merekonstruksi kesadaran kritis untuk senantiasa mempertanyakan setiap diskursus dominan maupun melakukan aksi konter terhadap hegemoni dominan yang dalam formasi sosial saat ini, khususnya di negara-’negara dunia ketiga’ , terutama di Indonesia, termanifestasi dalam mainstream developmentalisme. Untuk membongkar selubung ideologis tersebut, kaum intelektual pekerja memerlukan seperangkat sistem berpikir yang oleh kelompok mazhab Frankfurt, terutama lewat Habermas, dikenal dengan paradigma ideologi kritis. Paradigma ideologi kritis ini pada dasarnya adalah semua teori sosial yang mempunyai maksud dan implikasi praktis.

Sebagai contoh, untuk membongkar selubung ideologis teori-teori sosial dengan paradigma teori modernisasi yang bersifat eksploitatif dan represif, maka teori dependensia –sebagai salah satu dari model teori-teori sosial kritis—merupakan sebuah keniscayaan bagi kaum intelektual pekerja. Menurut asumsi teori ini, keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat dunia ketiga, bukan karena faktor internal, yaitu faktor mentalitas, tetapi lebih disebabkan faktor eksternal, yaitu akibat dari struktur perekonomian yang bersifat eksploitatif, di mana yang kuat melakukan eksploitasi terhadap yang lemah (Budiman, 2000:18) Di sini, keterbelakangan dan kemiskinan bagi penganut teori ini bukanlah masalah dan penyebab, akan tetapi merupakan akibat dari ketidakadilan hubungan antara dunia maju dan dunia ketiga yang berwatak imperialisme. Karena itu, untuk melakukan perubahan masyarakat, maka menurut teori ini tidak mungkin dapat dicapai melalui perubahan sikap mental dari orang miskin dan masyarakat terkebelakang, selama struktur dan hubungan antara yang maju dan terkebelakang masih dalam hubungan yang tidak adil dan menghisap (Faqih, 1998:168).

Sebagai contoh, mengapa hubungan yang tidak adil dan menghisap dari dunia maju ke dunia terbelakang, bangsa-bangsa dunia ketiga menyebabkan kemiskinan dan keterbelakangan atau mengapa negara-negara yang menjadi korban imperialisme (negara-negara kapitalisme pinggiran) tidak bisa mengembangkan dirinya, berbeda dengan kapitalisme di negara-negara pusat?. Menurut Barran (dalam Budiman, 2002:57), untuk menyebutkan analisis salah seorang pendukung teori ini, kapitalisme di negara-negara pusat bisa berkembang karena adanya tiga syarat. Pertama, meningkatnya produksi diikuti dengan tercabutnya masyarakat petani dan pedesaan kedua, meningkatnya produksi komoditi dan terjadinya pembagian kerja mengakibatkan sebagian orang menjadi buruh yang menjual tenaga kerjanya sehingga sulit menjadi kaya, dan sebagian lagi menjadi majikan yang bisa mengumpulkan harta; dan ketiga, mengumpulnya harta di tangan para pedagang dan tuan tanah. Sementara yang terjadi di negara-negara pinggiran, demikian lanjut Barran, justru sebaliknya. Munculnya kekuatan ekonomi asing dalam bentuk modal kuat dari dunia Barat ke negara-’negara dunia ketiga’ membuat surplus yang terjadi di sana diambil oleh kaum pendatang melalui berbagai macam cara. Akibatnya, yang terjadi di negara-negara pinggiran bukanlah akumulasi modal, melainkan penyusupan modal. Inilah yang terjadi pada bangsa-bangsa Dunia Ketiga, perdagangan dunia yang bebas justru merupakan wadah praktek eksploitasi. Bentuk ekploitasi ini oleh Blomstroem dan Hettne (dalam Budiman, 2001: 42) diibaratkan sebagai persaingan antara dua tim sepak

bola. Tim yang sukses dan lebih kaya, pada akhirnya akan membeli pemain-pemain terbaik dari tim yang lemah. Akibatnya, tim yang lemah bukan saja dikalahkan dalam persaingan, tetapi juga akan terus mundur dan akhirnya hancur, karena unsur-unsur yang paling potensial bagi tim ini untuk maju direbut oleh tim yang lebih kuat.

Dalam paradigma kritis, maka pertanyaan yang bisa timbul adalah mengapa negara-’negara dunia ketiga’ mau menerima kriteria yang ditetapkan oleh negara-negara tertentu tersebut? Pertanyaan berikutnya apakah yang diungkapkan negara-negara yang menganggap dirinya maju tersebut sudah benar dan wajib diterima oleh semua pihak bahkan pada negara-negara yang dianggap miskin dan terbelakang. Lalu yang terakhir apakah dasar modernisasi tersebut sudah dapat dijadikan dasar intervensi pada negara-negara yang dianggap dunia ketiga. Pada prinsipnya apakah negara-negara yang dianggap dunia ketiga tidak bisa mendefinisikan diri mereka sendiri?

Berbagai pertanyaan kritis tersebut sebenarnya sebuah upaya untuk merekonstruksi ulang hubungan antar’negara dunia ketiga’ dengan negara maju. Ada posisi subyek dan objek yang berlangsung selama ini di mana kontrol terhadap suatu negara justru dipegang oleh negara yang lain. Kondisi ini mempengaruhi pada saat kedua belah pihak berhadapan justru dalam konteks negara-negara merdeka dan berdaulat.

Manusia adalah makhluk yang unik, dengan kata lain, manusia memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri. Maka, tidak semua perilaku komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal mempunyai makna yang sama dalam semua budaya. Dalam berkomunikasi antarpribadi, orang haruslah memperhatikan budaya yang dimiliki individu tersebut. Dengan kata lain, DeVito (1991) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya yang efektif umumnya dapat lebih diperkuat dengan memanfaatkan karakteristik-karakteristik yang menandai interaksi antarpribadi yang efektif, misalnya keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, kesetaraan, percaya diri, kedekatan, manajemen interaksi, daya ekspresi, dan berorientasi kepada lawan bicara. Jadi, Setiap orang yang berkomunikasi antar budaya setidaknya bersikap terbuka terhadap perbedaan nilai, kepercayaan dan sikap; Menempatkan diri pada posisi lawan bicara yang berasal dari budaya yang berbeda; bersikap spontan dan deskriptif; mengkomunikasikan sikap positif; menganggap berkomunikasi adalah kesetaraan, tetap percaya diri dan tenang dalam setiap situasi serta tidak sombong. Kita harus menyadari bahwa setiap orang punya andil dalam pembicaraan. Dengan demikian, hambatan yang ada dalam komunikasi antar budaya menjadi tiada.

3. Pentingnya Perasaan Setara dalam Komunikasi Antarbudaya

Salah satu hambatan komunikasi adalah perasaan tidak setara dari peserta komunikasi. Walaupun dalam kajian komunikasi kita menyinggung konsep setara, namun konsep tersebut ditulis sambil lalu dan tidak dikaji secara mendalam. Kita sering melupakan bahwa salah satu hambatan bagi Orang Timur termasuk Indonesia dalam berkomunikasi adalah perasaan rendah diri saat berhadapan dengan orang Eropa dan Amerika.

Sebagai negara yang memiliki sejarah dijajah oleh bangsa Eropa, maka psikologis bangsa terjajah tetap bermukim di hati dan pikiran Orang Timur, khususnya Indonesia. Edward Said dalam bukunya Orientalsm sudah menggambarkan bagaimana orang Eropa dan Amerika dulunya sangat terkesima oleh eksotisme timur. Namun eksotisme itu diwujudkan sebagai bentuk pengobjekan oleh orang-orang Eropa untuk menyatakan sesuatu yang lain dari mereka, atau the other. Ungkapan ini jelas menempatkan Orang-Orang Timur sebagai mereka yang memiliki budaya yang jauh lebih rendah dari kebudayaan orang-orang Eropa pada saat itu. Akibatnya posisi Orang Timur dan Barat pada saat berhadapan dianggap tidak setara. Peninggalan cara pandang itu masih tertinggal sampai saat ini. Kondisi itu makin diperkuat oleh sejarah orang-Orang Timur yang banyak dijajah oleh bangsa Eropa. Dua sejarah itu memberikan pondasi rendah diri bagi Orang Timur saat berhadapan dengan OrangBarat . Di Indonesia sendiri kondisi ini tidak jauh berbeda. Sebagai negara yang pernah dijajah negara-negara Eropa, maka Indonesia mengalami situasi yang unik. Ada perasaan benci tapi cinta kepada hal-hal yang berbau

Barat . Kita benci saat mengenang penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat . Namun kita juga cinta kepada produk-produk Barat karena kita anggap lebih maju dan modern dari apa-apa yang kita miliki. Sebuah psikologi bangsa-bangsa terjajah yang tetap menganggap bangsa yang menjajahnya lebih tinggi atau lebih baik dari dirinya sendiri. .

Ketika kondisi tersebut dihubungkan dengan komunikasi antarbudaya, maka apa yang disebut sebagai komunikasi yang efektif sulit tercapai. Psikologi orang-orang terjajah yang cenderung menganggap negara jajahan lebih maju membuat proses komunikasi menjadi tidak setara. Dan apa yang terjadi saat komunikasi berjalan tidak setara? Jawabannya adalah ekspresi yang tertunda. Ketidaklancaran ekspresi membuat proses komunikasi berlangsung satu arah mengikuti apa yang dikehendaki oleh peserta komunikasi yang posisinya lebih tinggi. Akibatnya daya tawar mereka yang merasa posisinya lebih rendah akan terlihat lemah. Yang muncul adalah dominasi dari mereka yang kuat. Inilah yang terjadi pada bangsa Indonesia saat berhadapan dengan bangsa- bangsa yang dianggap lebih maju.

Penting digarisbawahi bahwa komunikasi antarbudaya harus dimulai dari perasaan bahwa kita setara dengan bangsa lain. Kalaupun tidak sama keahlian, bukankah bangsa Indonesia juga punya banyak hal yang dibutuhkan oleh bangsa lain. Perbedaan kebutuhan inilah yang sebenarnya menjadi daya tawar yang akan mencapai negosiasi setara sehingga dapat menguntungkan kedua belah pihak. Tanpa adanya perasaan setara maka komunikasi antarbudaya bangsa Indonesia dengan bangsa lain akan banyak merugikan kita.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Menurut Zed (2008:4-5) Setidaknya ada empat ciri utama penelitian kepustakaan yang perlu diperhatikan oleh mahasiswa atau calon peneliti dan keempat ciri itu akan mempengaruhi sifat dan cara kera penelitian yaitu:

1. Peneliti berhadapan langsung dengan teks (nash) atau data angka dan bukan dengan pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata (eye witness) berupa kejadian, orang, atau benda lainnya. Teks memiliki sifat-sifatnya

sendiri dan memerlukan pendekatan tersendiri pula. kritik teks merupakan metode yang biasa dikembangkan dalam studi fisiologi, dll. Jadi perpustakaan adalah laborat peniliti kepustakaan dan karena itu teknik membaca teks ( buku, artikel, dan dokumen) menjadi bagian yang fundamental dalam penilitian kepustakaan. 2. Data pustaka bersifat siap pakai (ready mode): peneliti tidak kemana-mana kecuali hanya berhadapan langsung

dengan bahan sumber yang sudah tersedia di perpustakaan.ibarat orang belajar naik sepeda, orang tak perlu membaca buku artikel atau buku tentang bagaimana teori naik sepeda, begitu pula halnya dengan riset pustaka. Untuk melakukan riset pustaka, orang tidak perlu menguasai ilmu perpustakaan. Satu-satunya cara untuk belajar menggunakannya perpustakaan dengan tepat ialah langsung menggunakannya. Meskipun demikian, calon peneliti yang ingin memanfaatkan jasa perpustakaan, tentu masih perlu mengenal seluk-beluk studi perpustakaan untuk kepentingan penelitian atau pembuatan makalah.

3. Data perpustakaan umummnya sumber sekunder artinya: bahwa peniliti memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan pertama di lapangan.

4. Bahwa kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Peneliti berhadapan dengan info statis: tetap artinya kapanpun Ia datang dan pergi data tersebut tidak akan berubah karena ia sudah merupakan data “mati” yang tersimpan dalam rekaman tertulis (teks, angka, gambar, rekaman tape atau film).

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Rusdiyah Club adalah wadah cendikiawan yang berada di pulau Penyengat dan berada dalam kawasan kerajaan Melayu Riau-Lingga. Keberadaan club ini bertujuan untuk melepaskan diri Kerajaan Melayu Riau-Lingga dari cengkraman kolonial Belanda (Nuraini, 1997). Club ini dipelopori oleh Ali Tengku Kelana, Raja Hitam, dan Raja Abdullah. Anggota terdiri atas orang Minang, orang Arab, dan bangsawan Melayu Riau. Gerakan organisasi ini mencapai berbagai bidang, seperti agama, komunikasi, pendidikan dan ekonomi yang kesemuanya digunakan sebagai perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda.

Di bidang agama untuk menjalin persatuan, Rusdiyah Club melakukan pertemuan keagamaan. Rusdiyah Club sangat menyadari pentingnya penyebarluasan pemikiran dalam rangka penyadaran. Oleh karena itu untuk

mendukung aktifitas keagamaan maka perkumpulan ini juga membuat majalah Al-Iman yang berisi pemikiran- pemikiran Islam.

Di bidang komunikasi Rusdiyah Club juga menunjukan gerakan yang strategis. terdapat aktifitas penyebaran brosur tentang kemenangan perang Jepang atas Rusia. Kemenangan Jepang ini seakan-akan menunjukan bahwa orang Asia juga mampu bertarung melawan orang barat. Brosur ini disebarluaskan untuk memberi keyakinan kepada bangsa Melayu agar jangan takut kepada kolonial Belanda. Selain itu juga terdapat aktifitas diplomasi di mana Rusdiyah Club juga pernah mengirim Raja Hitam untuk meminta Jepang mengusir Belanda. Terdapat juga Ahmadie Press Di Singapura yang menjadi mitra tokoh-tokoh intelektual Rusdiyah Club. Dikarenakan Rusdiyah Club merupakan tempat berkumpulnya orang-orang intelektual dan sastrawan Melayu. Sementara Mathba’atul Riauwiyah dan Mathba‘atul Al Ahmadi adalah percetakan dan penerbitan milik kesultanan. Akhirnya, baik Mathba’atul Riauwiyah dan Mathba‘atul Al Ahmadi beserta Rusdiyah Klab menjadi elemen utama pengembangan ilmu pengetahuan di pusat kesultanan pada satu abad lampau kawasan (Umrah Press, 2015).

Di bidang pendidikan tokoh-tokoh Rusdiyah Club mendirikan Riau Studie Fond. Lembaga yang membantu siswa-siswa Riau yang ingin melanjutkan sekolah. Sementara di bidang ekonomi Rusdiyah Club telah merintis kemandirian ekonomi dengan membentuk koperasi. Lembaga ekonomi yang pernah dibentuk ini dikelola dengan managemen yang baik. Hal ini diakui oleh Muhammad Hatta yang pernah mengunjungi Tanah Midai tempat lembaga ekonomi ini berdiri. Lembaga ekonomi ini pada masanya disebut dengan serikat dagang dengan nama Asyarikatul Ahmadiyah (Putra, 2013).

PEMBAHASAN

Menurut Gonggong dalam Hendiyanto (2014) Rusdiyah Club merupakan perkumpulan yang aktif mempublikasikan tulisan-tulisannya dan melakukan diplomasi ke berbagai negara (termasuk ke negara Jepang dan negara India) untuk mendapatkan pengakuan sebagai sebuah negeri. Gonggong juga mengatakan bahwa Rusdiyah Club adalah organisasi yang sudah berkembang di masa-masa awal tahun 1900-an. Mereka sudah bergerak melakukan perlawanan terhadap penjajah, jauh sebelum Budi Utomo berdiri. Namun, kelompok ini tidak pernah tersebut dalam literature yang ditulis dalam sejarah bangsa ini (Hendriyanto, 2014). Rusdiyah Club adalah sebuah simbol dari pusat keunggulan dan pemikiran Riau Lingga. Dari lembaga inilah pemberontakan kultural Riau Lingga melawan Belanda dimulai dan digerakkan (Liamsi, 2013).

Perjuangan Rusdiayah Club merupakan perlawanan ideologi untuk melawan ideologi yang ditanamkan oleh kolonial Belanda. Istilah ideologi di sini dalam pengertian Gramsci, yaitu ideologi organik yang bersifat historis (historically organic ideology), yaitu ideologi yang diperlukan dalam kondisi sosial tertentu, yang mengatur manusia,

dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya. Ideologi dalam pengertian ini, terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat atau ekuivalen dalam “agama dalam pengertian sekuler, satunya pemahaman antara konsepsi dunia dan norma tingkah laku”

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 140-145)