• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan dan Politik Pangan Orang Mentawa

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 183-186)

POLITIK PANGAN ORANG MENTAWAI:

2. Pembangunan dan Politik Pangan Orang Mentawa

Kondisi geografis Kabupaten Kepulauan Mentawai sebagian besarnya merupakan kawasan hutan. Menurut data BPS (2013) total kawasan hutan (terdiri dari hutan lebat, hutan sejenis, semak belukar) memiliki persentase terbesar yaitu mencapai 85,06% (511.338 ha). Total kawasan hutan ini disebutkan sebagian besar merupakan lahan tidur, meliputi 456.301 ha. berupa hutan lebat (75,91%), 12.348 ha. berupa hutan sejenis (2,05%), dan selebihnya sebesar 42.689 ha. berupa semak belukar (7,10%). Sementara itu komposisi luas lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya sektor pertanian adalah sebesar 86.501 ha. (14,39%), meliputi 740 hektar luas lahan untuk sawah (0,12%), tegalan 131 ha. (0,02%), kebun campur 68.506 ha. (11,40%) dan untuk perkebunan 17.124 ha. (2,85%). Sedangkan luas lahan untuk permukiman atau rumah penduduk hanya sebesar 3.096 ha. atau 0,052% dari total luas wilayah. Daerah pemukiman penduduk yang tersebar di masing-masing kecamatan di kabupaten ini untuk mencapainya ke suatu dusun atau desa pada kecamatan yang sama bisa memerlukan waktu yang lama. Hampir sebagian besar transportasi utama masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah dengan menggunakan jalur laut dan sungai.

Potensi kehutanan di Kepulauan Mentawai merupakan daya tarik yang amat menggiurkan bagi kalangan pengusaha dari Padang maupun Jakarta. Kabupaten ini memiliki areal hutan paling luas di Provinsi Sumatera Barat. kurang lebih 22,5% dari luas hutan provinsi, bahkan luas hutan produksi tetap di kabupaten ini mencapai kurang lebih 67% dari total luas hutan produksi tetap di Sumatera Barat. Lahan hutan ini tersebar di pulau-pulau besarnya seperti P. Pagai, P. Sipora, dan paling luas di P. Siberut. Faktanya, sejak di era Orde Baru Kepulauan Mentawai telah dijadikan sasaran aktivitas akumulasi kapital perusahaan HPH yang sering disebut menandai ‘tekanan pembangunan’ yang dahsyat di daerah ini. Tidak saja di P. Pagai dan P. Sipora yang lebih duluan dieksploitasi hutannya untuk pembalakan oleh perusahaan-perusahan besar HPH, P. Siberut pun kemudian juga diserbu.

‘Tekanan pembangunan’ ini telah lama dirisaukan banyak pihak, terutama karena membawa dampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan orang Mentawai. Naim (1992) sudah menyebutkan jika kita melihat peta- peta HPH yang dikonsesikan kepada sejumlah perusahaan penebangan, titik-titik yang berupa perkampungan komunitas suku asli Mentawai dari hulu sampai ke muara sebagian besar sudah berada dalam areal penguasaan HPH. Bukan saja hutan tempat mereka selama ini berburu dan mengumpulkan rotan, manau, gaharu, damar, dsb, telah berada di bawah penguasaan pemegang HPH, tetapi secara yuridis bahkan juga daerah perladangan, peternakan dan perkampungan mereka. Akibatnya orang Mentawai tidak mudah lagi dapat menebang kayu untuk perumahan dan membikin perahu yang mereka perlukan. Sementara hasil hutan kayu yang ditebang secara besar-besaran dengan penggunaan alat-alat modern adalah juga termasuk bahan kayu yang biasa dipakai orang Mentawai untuk membikin perahu dan perumahan mereka.

Kepulauan Mentawai dikenal juga kaya potensi perikanan dan kelautan yang besar, antara lain seperti kerapu, kakap, tongkol, teripang, dan rumput laut. Hasil perikanan dan kelautan dari perairan wilayah ini sudah lama dikenal sebagai komoditas ekspor, dibawa ke Padang dan dikapalkan melalui pelabuhan Dumai, Riau menuju Singapura dan Malaysia. Ini belum termasuk yang sering dindikasikan juga sudah cukup lama ada praktek penyelundupan hasil ikan di pasar ekspor gelap langsung dari kawasan perairan Samudra Hindia ke

luar negeri. Selain itu, potensi pariwisata juga tidak kalah menarik. Perairan bagian barat Kepulauan Mentawai dikenal sebagai tempat paling menantang oleh pecinta olahraga selancar air atau surfing sehingga menjadi incaran

wisatawan mancanegara, terutama dari Australia. Lokasi selancar ini terutama terdapat di Nyangnyang, Karang Bajat, Karoniki, dan Pananggelat Mainuk di Kecamatan Siberut Selatan, Katiet Bosua di Kecamatan Sipora, serta pantai selatan dan barat Kecamatan Pagai Utara.

Namun derap pembangunan di Kepulauan Mentawai faktanya belum berhasil memecahkan persoalan keterisolasian dan kemiskinan masyarakatnya. Menurut laporan BPS, jumlah penduduk miskin dan prosentase penduduk miskin di Kabupaaten Kepulauan Mentawai masih yang terbesar di Provinsi Sumatera Barat. Apabila data ini diperdetail, kita akan segera mengetahui bahwa angka kemiskinan utamanya adalah penduduk tempatan komunitas suku asli Mentawai. Trendnya memang tampak menurun dari tahun 2010 sampai 2012, namun gambarannya masih amat nyata menunjukkan kesenjangan pembangunan di kabupaten ini. Pada tahun 2010 penduduk miskin di Kabupaten Kepulauan Mentawai tercatat sebesar 15.100 atau 19,74% dari jumlah penduduk kabupaten itu. Berturut-turut terjadi penurunan pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin 14.560 jiwa (18,85%) dan tahun 2012 sebanyak 13.100 (16,71%). Namun jika dibandingkan dengan rata-rata prosentase penduduk miskin di daerah provinsi Sumatera Barat, prosentasenya lebih dua kali lipat dibanding angka prosentase penduduk miskin tingkat provinsi 2010 (9,44%), 2011 (8,99%), dan 2012 (8,00%).

Agenda pembangunan di Kepulauan Mentawai tampaknya tidak hanya berdampak pada pembatasan aksesibilitas orang Mentawai terhadap lahan pertaniannya, melainkan juga kian mengancam ketahanan pangannya (Indrizal et.al., 2015). Eksplorasi sumber daya alam terutama kehutanan, kelautan dan pariwisata justru ternyata lebih banyak dinikmati orang luar. Pembentukan daerah otonomi kabupaten Kepulauan Mentawai yang semestinya dapat mendekatkan pelayanan pemerintahan dan jangkauan pemerataan pembangunan tampaknya belum cukup menyentuh tujuan pembangunan ketahanan pangan, bahkan terindikasi makin memperburuk aksesibilitas masyarakat terhadap sumber pangannya.

Juniator Tulius (2012, 83-83) menyebutkan sejak 1980-an pemerintah Orde Baru telah semakin intensif melakukan pelbagai upaya untuk merubah gaya hidup orang Mentawai. Sebagaimana juga ditunjukkan oleh Indrizal et.al (2015) bahwa dalam upaya memodernkan orang Mentawai, sejak masa rezim pemerintahan Orde Baru pemerintah nasional maupun pemerintah provinsi juga telah memulai mengintroduksi makanan pokok beras sebagai pendamping sagu di Kepulauan Mentawai. Program pencetakan sawah dilaksanakan di beberapa lokasi di pulau-pulau besar yang ada di Kepulanan Mentawai, di P. Pagai, P. Sipora hingga P. Siberut. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir kami mencatat implementasi program cetak sawah baru juga makin diintensifkan di P. Siberut yang kami sebut sebenarnya merupakan benteng terakhir ketahanan pangan lokal orang Mentawai. Meskipun sawah-sawah yang dibuat ini dicetak hingga berproduksi, namun secara umum dapat dikatakan program ini kurang berhasil. Di P. Siberut program ini sempat dilakukan semasa rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Suharto dan masa Gubernur Sumatera Barat Harun Zein hadulunya. Kemudian program ini sempat terhenti untuk kurun waktu yang cukup lama. Kalaupun kemudian di era reformasi dan pascapemekranan kabupaten program cetak sawah baru kembali dilakukan, diperkirakan ke depannya tetaplah sulit untuk bisa berhasil. Perencanaan pembangunan di Kepulauan Mentawai tampaknya tidak jauh berbeda dengan temuan Tania Murray Li (2012) di Sulawesi bahwa niat baik serta rencana hebat untuk memakmurkan kehidupan rakyat sama sekali bukan jaminan bahwa kemakmuran tersebut akan terwujud. Orang Mentawai, sebagaimana sebagian besar indigenous community lain di Indonesia, tampaknya mengerti benar bahwa janji manis pembangunan seringkali tidaklah sebanding dengan dampak penderitaan yang mereka peroleh.

Pada era reformasi dan pascapemekaran daerah menjadi berdirinya Kabupaten Kepulauan Mentawai program perluasan areal sawah memang kembali dilakukan di Mentawai. Pro dan kontra terhadap implementasi program inipun hingga kini masih berlangsung. Pemerintah kabupaten yang menginisiasi langkah ini berargumentasi bahwa ini dilakukan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan. Tidak hanya itu, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai bahkan semakin mengukuhkan langkah ini menjadi bagian dari upaya mengurangi ketergantungan daerah sebagai target penerima program bantuan beras untuk rumah tangga miskin, biasa disebut Program Raskin.

Pada tabel 4 berikut ini diperlihatkan gambaran keadaan luas tanam dan produksi tanaman padi sawah di Kabupaten Kepualauan Mentawai dalam kurun antara tahun 2008-2012.

Tabel 2. Luas Tanam, Luas Panen dan Produksi Tanaman Padi Sawah, Menurut Kecamatan di Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2008 -2012

No Kecamatan Luas Tanam (ha) Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktifitas (ton/ha)

1 Pagai Selatan 28,00 39,00 163,80 4,20 2 Sikakap 85,00 104,00 436,80 4,20 3 Pagai Utara 5,00 20,00 84,00 4,20 4 Sipora Selatan 20,00 25,00 105,00 4,20 5 Sipora Utara 60,00 76,00 319,20 4,20 6 Siberut Selatan - - - -

7 Siberut Barat Daya 93,00 90,00 378,00 4,20

8 Siberut Tengah 2,00 2,00 8,40 4,20 9 Siberut Utara - - - - 10 Siberut Barat 34,00 83,00 348,60 4,20 Jumlah 2012 619,00 521 1843,80 4,20 2011 363,00 224 945,4 4,28 2010 630,00 619 2691,2 4,35 2009 398,00 221 1376,30 6,14 2008 307,00 439 1582,00 3,04

Sumber: BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2013.

Meski data statistik di Kec. Siberut Selatan tidak cukup tersedia, namunsalah seorang informan penelitian di Kecamatan Siberut Selatan yang merupakan pemilik sawah di Desa Puro menyebutkan di desanya juga sudah dibuka sawah baru pada awal tahun 2013. Kawasan itu dulunya rawa. Bermodal sedikit pengetahuan tentang teknik bercocok tanam padi yang diperoleh melalui teman dari desa tetangga Madobag dan dibantu bibitnya dari Pemerintah Kabupaten, ia sendiri juga telah mencoba memanfaatkan lahan kosong milik klannya. Dari sawah itu ia sempat satu kali melakukan panen. Hasilnya hanya sebatas untuk konsumsi keluarga, jauh dari cukup untuk bisa dijual. Menurut penuturannya dia dan keluarganya yang terdiri dari 5 anggota keluarga bisa menghabiskan ± 2 liter beras per hari. Itupun mereka tetap juga mengkonsumsi sagu dan keladi yang secara turun temurun dijadikan makanan pokok orang asli Mentawai. Pada tahun 2014 lalu ia masih melanjutkan cocok tanam padi dengan bibit padi yang diperolehnya juga dari petani di Desa Madobag. Selain itu, juga tak jauh pusat ibukota Kecamatan Siberut Selatan pertanian padi juga kami temukan di Desa Meileppet, bahkan di sini sudah memiliki kelompok tani yang dibina oleh Balai Taman Nasional Siberut (TNS).

Dewasa ini cetak sawah baru semakin gencar dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Hal ini tak lain sebagai upaya pemerintah mengantisipasi krisis ketahanan pangan karena pergeseran pola konsumsi makanan pokok dari sagu ke beras semakin meluas di Mentawai, termasuk di P. Siberut. Pada Tahun 2014 Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Kepulauan Mentawai bahkan mencanangkan akan memperluas lahan pertanian padi di P. Siberut, yang meliputi: Dusun Srilanggai di Desa Malancan di Kecamatan Siberut Utara, Desa Sigapokna dan Tiniti di Kecamatan Siberut Barat, Desa Toro Laggok Katurai di Kecamatan Siberut Barat Daya, dan Desa Saibi di Kecamatan Siberut Tengah.

Pemerintah kabupaten menggalakkan cetak sawah baru untuk memperluas areal pertanian sawah dilandasi beberapa alasan. Wakil Bupati Rijel Samaloisa mengatakan pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai bermaksud menghapus program Raskin, karena besaran biaya operasional yang dibutuhkan untuk pendistribusian bantuan beras raskin di di daerah ini menyedot APBD hingga ± 2.5 Milyar pertahun. Karenanya pemerintah setempat berencana memperluas areal lahan sawah. Hal sama ditegaskan Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabbagalet yang memandang selama ini ongkos pendistribusian beras Raskin terlalu besar dibanding nilai bantuan yang disalurkan. Karenanya, dana sebasar 2,5 Milyar yang biasanya dihabiskan untuk pendistribusian beras dialihkan untuk mencetak sawah baru di Mentawai.

Sedangkan kelompok yang kontra dengan program perluasan areal sawah di Mentawai, terutama dari kalangan NGO dan beberapa akademisi pemerhati Mentawai memandang bahwa sebenarnya pertanian sawah tidak cocok dengan kondisi alam fisik Kepulauan Mentawai yang minim sumber pengairannya. Tidak hanya itu, pertanian sawah dipandang juga tidak cocok dengan sokoguru pertanian masyarakat asli Mentawai yang tidak mengenal cocok tanam padi. Mereka mengkritik rencana pemerintah yang mengabaikan potensi pangan pokok non-beras yang seyogyanya justru harus dipertahankan dan dikembangkan. Adapun terjadinya kecenderungan masyarakat meninggalkan pangan pokok lokal non-beras dan semakin menyenangi makanan pokok beras mengikuti budaya orang tepi justru akibat Pemerintah selama ini tidak perhatian pada potensi lokalnya.

Peralihan konsumsi pangan pokok pada masyarakat Mentawai dari sagu ke beras dinilai sebagian pihak merupakan bom waktu yang siap meledak nantinya, dan karenanya tidak akan menyelesaikan krisis ketahanan pangan atau ketergantungan baru masyarakat lokal terhadap pangan pokok dari luar. Frans R. Siahaan salah seorang peneliti ekologi usaha tani mengatakan setidaknya ada beberapa hal yang harus dipertimbangakan ketika pergeseran ini semakin terasa di Mentawai, khususnya di P. Siberut. Pertama, hanya sedikit lahan di P. Siberut yang sesuai untuk tanaman padi, yaitu sekitar 7-10% dari luas total P. Siberut. Kedua, tanaman sagu, kebun campuran, bakau, dan semak belukar umumnya terdapat pada satuan lahan alluvial dan marin. Ekosistem pada kedua satuan lahan ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan ekosistem lainnya yang terdapat di P. Siberut. Perubahan ekosistem karena ketidak-cermatan dalam pembukaan lahan sawah untuk tanaman monokultur padi akan mempengaruhi ekosistem lainnya, dan pada gilirannya akan merusak karakter hidro-orologis Siberut yang memang sangat rawan. Pada akhirnya kerusakan ini bukan hanya berdampak pada manusia, flora, fauna, dan bencana alam, tetapi juga akan turut menyusutkan luasan P. Siberut dalam jangka panjang. Ketiga, sagu merupakan makanan pokok yang merupakan bagian dari budaya masyarakat asli P. Siberut yang telah diwariskan secara turun temurun.

Salah seorang informan penelitian kami berasal dari Dusun Salappa’ Desa Muntei Kecamatan Siberut Selatan yang sudah biasa berkunjung ke Kota Padang mengatakan baginya serasa belum makan kalau belum makan sagu. Ini kurang lebih sama saja dengan orang Minang atau orang Jawa yang merasa belum makan, kalau belum makan nasi. Memang bagi orang Mentawai, terutama dari kalangan generasi tua, yang dinikmatinya sebagai bahan makanan pokok itu adalah sagu. Kalaupun harus digantikan atau diselingi, sagu biasanya bisa ditukar dengan keladi atau pisang. Itu sebab dalam berladang, biasanya keladi dan pisang juga ditanam

.

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 183-186)