• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pangan Lokal sebagai Pernyataan Identitas Kolektif

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 186-192)

POLITIK PANGAN ORANG MENTAWAI:

3. Pangan Lokal sebagai Pernyataan Identitas Kolektif

Makanan pokok sehari-hari orang Mentawai meliputi sagu, keladi, pisang dan beras. Sagu, keladi dan pisang merupakan makanan pokok sehari-hari yang sudah sejak lama dikenal masyarakat setempat yang terintegrasi dalam kebudayaan dan kehidupan tradisional mereka. Hal ini sampai sekarang terutama masih dapat ditemukan di beberapa penjuru di Pulau Siberut dan Pulau Sikakap. Adapaun di pulau lainnya, seperti Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan konsumsi makanan pokok secara tradisional itu sudah semakin jarang ditemukan, karena sudah banyak warga yang menggantinya dengan beras. Namun demikian bukan berarti orang Mentawai di Sipora dan Pagai telah meninggalkan sama sekali makanan pokok tradisional mereka. Sekurang-kurangnya tidak dapat dibantah bahwa sagu, keladi dan pisang tetap diakui sebagai bahan makanan pokok asli mereka. Di sisi lain, meskipun konsumsi makanan pokok tradisional masih cukup banyak ditemukan di wilayah dusun dan perkampungan asli di Siberut dan Sikakap, dewasa ini konsumsi beras oleh penduduk lokal pun semakin meluas. Bahkan di P. Siberut yang kami sebut sebagai benteng terakhir ketahanan pangan di Mentawai, saat inipun sedang mengalami kuatnya desakan modernitas lewat introduksi pangan pokok beras.

Namun demikian optimisme untuk menjaga dan mewujudkan ketahanan pangan di Kepulauan Mentawai sesungguhnya tetap ada. Berdasarkan sejumlah wawancara kelompok terpumpun (Focus Group Discussion) yang kami lakukan, baik dengan unsur elite masyarakat maupun pemerintah kabupaten, kekhawatiran terhadap ancaman rawan pangan ataupun krisis pangan diyakini bisa dipecahkan dengan cara Mentawai sendiri. Penilaian seperti ini tampaknya didukung oleh ketersediaan sumber daya lokal yang (masih) ada dan keluhuran nilai kearifan budaya lokal, jika benar-benar diperhitungkan dan dikelola menjadi penentu jaminan pangan yang difukuskan

terhadap pangan pokok non-beras di daerah ini. Setiap tahun perkembangan tanaman sumber pangan pokok lokal non-beras seperti sagu, keladi dan pisang, serta palawija tercatat masih berkembang signifikan. BPS (2013) mencatat Kecamatan Pagai Utara merupakan daerah pengusahaan keladi terluas di Kepulauan Mentawai dengan produksi 1.192 ton. Sedangkan Kecamatan Siberut Utara tercatat sebagai daerah penghasil sagu terbesar yakni sebanyak 225 ton.

Berdasarkan pengamatan lapangan kami di P. Siberut, terutama di dusun-dusun di pedalaman sepanjang aliran Sungai Silaoinan, masyarakat di Dusun Beikkelu’, Salappa’, Magosi dan Tinambu menjadikan sagu, keladi, ubi dan pisang sebagai asupan makanan pokok rumahtangga mereka. Sagu merupakan bahan pangan pokok paling populer dikonsumsi oleh rumah tangga di dusun -- masyarakat asli Mentawai. Oleh karenanya aktivitas menyagu masih tetap dilakukan. Dengan menyagu, suatu rumah tangga atau kesatuan lebih besar uma akan menghasilkan tepung sagu untuk kemudian diolah menjadi makanan pokok. Bagi orang Mentawai sagu bahkan juga merupakan jenis tanaman yang memiliki nilai penting dalam kehidupan sosial dan budaya mereka. Pohon sagu bisa dijadikan mahar perkawinan dan alat untuk membayar denda (tulou). Oleh sebab itu memiliki lahan yang ditanami pohon sagu menjadi amat penting bagi orang Mentawai.

Sagu biasanya ditanam atau tumbuh secara alami di tanah rawa. Tumbuhan berumpun ini amat mudah tumbuh subur di Mentawai. Cara tanamnya pun sederhana, tidak perlu pupuk, tidak butuh irigasi, hemat biaya, hemat tenaga, dan karenanya juga tidak memerlukan perlakuan khusus dalam pemeliharaannya. Hanya sesekali saja semak yang tumbuh di sekitar rumpun sagu harus dibersihkan agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman sagu itu. Pada saat bermur 8-10 tahun sagu sudahdapat dipanen. Tanaman sagu bahkan bisa hidup hingga umur 30 tahun. Namun menurut orang dusun jika terlalu tua dipanen maka tepung sagu yang dihasilaan bisa kurang enak lagi dikonsumsi. Meskipun jangka waktu tunggu panennya lama, namun sistem penanaman sagu tidak mengenal musim tanam. Karena sedemikian banyaknya batang sagu, ada yang dtanam dan ada yang tumbuh sendiri secara alamiah, sehingga panen bisa saja dilakukan setiap waktu. Di beberapa kelompok masyarakat di P. Siberut, menyagu biasa dilakukan secara bersama dalam satu uma atau clan kesatuan keluarga luas tradisional. Namun di dalam perkembangan lebih akhir menyagu juga biasa dilakukan oleh masing-masing rumah tangga atau keluarga inti saja. Yang pasti, semakin banyak tenaga yang terlibat mengerjakan, semakin besar pula jumlah hasil tepung sagu yang bisa didapat. Dalam hal ini mayoritas orang Mentawai meyakini dibandingkan bercocok tanam padi amatlah nyata menyagu jauh lebih ekonomis.

Apalagi pohon sagu juga dapat tumbuh alami. Jika mengingat Mentawai merupakan salah satu contoh masyarakat dan kebudayaan yang tidak melewati zaman logam, maka dapat dipahami sebagian besar sagu di Kepulauan Mentawai sejak zaman dahulu lebih banyak merupakan tumbuh alamiah sebagai anugerah Tuhan. Oleh karenanya aksesibilitas masyarakat terhadap sumber tanaman sagu di Mentawai sangat ditentukan oleh kepastian hak mereka atas lahan dan hutan sebagai ulayatnya. Jika ini terganggu, maka dengan sendirinya berdampak negatif bagi aksesibilitas masyarakat terhadap sumber pangan pokok mereka sagu.

Keladi juga merupakan salah satu bahan pangan pokok orang Mentawai. Penduduk asli Mentawai di Siberut biasa menjadikan keladi untuk dikonsumsi ketika siang hari. Keladi dikatakan makanan pokok yang dikonsumsi sebagai selingan sagu. Adanya keragaman konsumsi bahan makanan pokok yang dipraktekkan orang Mentawai ini dapat dikatakan juga sebagai bagian dari kearifan lokal dalam ketahanan pangan. Orang Mentawai menyadari manfaat keladi untuk energi tubuh mereka tidak sama dengan sagu. Itu sebabnya mereka biasa mengkonsumsinya sebagai selingan dari sagu, agar mereka tetap bisa menjaga tubuh tidak lapar dan tidak pula kekenyangan.

Di setiap dusun permukiman penduduk asli Mentawai di sepanjang Sungai Silaoinan di P. Siberut keladi sangat mudah ditemukan. Masyarakat dusun di Mentawai biasanya menanam keladi di sepanjang jalan dan lahan kosong di dekat permukiman mereka. Sama seperti halnya pohon sagu, tanaman keladipun mudah tumbuh secara alami di Mentawai. Dalam perkembangan lebih akhir di dusun-dusun Mentawai biasa juga ditemukan tanaman ubi, yang sengaja ditanam dengan fungsi seperti keladi, untuk dikonsumsi sebagai selingan dari sagu.

Demikian pula pisang, juga dikenal masyarakat Mentawai sebagai sumber pangan bahan makanan pokok. Pisang biasanya juga ditanam di ladang atau di sekitar permukiman. Seperti halnya keladi atau ubi, pisang

dikonsumsi sebagai makanan pokok selingan. Ketika keladi yang disajikan, maka pisang tidak disajikan, begitu pula sebaliknya. Ada saatnya hasil pisang dari ladang dibawa ke pasar terdekat untuk dijual, namun tidak berorientasi komersial.

Meskipun orang Mentawai kini semakin dirasuki nilai-nilai ekonomi uang, namun orientasi ekonomi subsisten dalam rumah tangga dan masyarakatnya tampak masih kuat. Betapapun dikatakan perubahan sosial pesat terjadi, sejatinya belum sampai menghilangkan falsafah hidup masyarakat asli Mentawai yang menjunjung tinggi hidup selaras keseimbangan alam. Nilai-nilai kesamaan dan kebersamaan yang bertumpu di atas keadilan untuk semua makhluk maupun benda masih menjadi hakiki misi budaya setempat. Disinilah dimensi inti kearifan lokal yang hendaknya didayagunakan untuk penguatan aksesibitas masyarakat Mentawai dalam mendukung ketahanan pangan.

Komunitas adat suku asli Mentawai seperti halnya indegeneous community di Indonesia sejak lama diidentifikasi oleh negara, dalam hal ini pemerintah Indonesia, dengan menyebutnya sebagai Masyarakat Suku Terasing. Belakangan dirubah lagi dengan menggunakan istilah Komunitas Adat Terpencil (KAT). Ciri-ciri utama kehidupan “asli” komunitas adat ini antara lain ditandai cara hidup masyarakatnya di daerah asal yang relatif terisolir, biasanya terikat tradisi yang dipengaruhi sistem kepercayaan tradisional, dan amat bergantung dengan lingkungan alam tempat tinggal mereka di daerah pedalaman dan pinggiran sekitar hutan, rawa, sungai atau laut. Merespon tawaran dan desakan pihak luar (the outers) atau pihak lain (the others) atas nama mewujudkan pembangunan atau dalam rangka memajukan kesejahteraan hidup suku-suku asli ini agar sejajar dengan suku-suku bangsa lainnya, kini semakin banyak komunitas adat suku asli juga telah menjalani kehidupan pedesaan. Mereka berinteraksi dengan ekonomi pasar yang menggunakan mata uang tunai, berkonversi agama menjadi Kristen atau Islam, dan generasi mudanya pun mulai banyak yang pergi melanjutkan pendidikan formal atau bekerja dan menetap ke kota. Pendek kata dewasa ini banyak komunitas adat suku asli juga mengalami dinamika dan perubahan sosial, meliputi keadaannya yang mengalami desakan kemasan modernitas yang dipromosikan kepada mereka.

Tak terkecuali orang Mentawai pun sejak lama telah menjadi medan kontestasi agenda modernitas yang seringkali dinyatakan bertolak atas niat baik, dalam rangka penyelenggaraan pembangunan, atau bertujuan memperbaiki kesejahteraan masyarakat bersangkutan. Hasilnya, sekitar kurang lebih setengah abad setelah diperkenalkannya tanaman pangan pokok padi (beras), kini semakin banyak orang Mentawai mengkonsumsi beras, sedangkan pangan pokok tradisionalnya yakni sagu, keladi dan pisang mulai ditinggalkan. Semakin banyak orang Mentawai dewasa ini yang berpandangan dengan mengkonsumsi beras gengsi sosial lebih tinggi, atau prestise sosial lebih baik.

Padahal sejatinya dengan secara tradisional orang Mentawai mengkonsumsi sagu, keladi dan pisang mencerminkan kearifan lokal yang luhur dan merupakan fakta adanya diversifikasi pangan yang relevan dengan tujuan mewujudkan ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu maka tidaklah berlebihan jika saat ini ada kekhawatiran akan runtuhnya ketahanan pangan orang Mentawai di daerah asal mereka sendiri. Terkecuali merupakan keberhasilan ataupun merupakan strategi negara dalam bidang ketahanan pangan dengan mengintrodusir pangan pokok beras kepada orang Mentawai, respon orang Mentawai sendiri atas kebijakan tersebut diperkirakan merupakan bagian strategi pertahanan diri.

Penelitian ini juga menemukan bahwa persoalan ketahanan pangan di Kepulanan Mentawai berkait erat dengan isu seputar kemasan modernitas dan kompleksitas masalah ketahanan pangan dalam komunitas adat tersebut. Lebih dari sekedar mengetahui respon orang Mentawai terhadap kemasan modernitas yang dipromosikan negara terhadap mereka dalam bentuk kebijakan dan implementasi introduksi pangan pokok beras, amatlah penting pula untuk menemukenali makna di balik respon mereka. Respon orang Mentawai terhadap program introduksi pangan pokok beras pada dasarnya merupakan bagian dari proses reproduksi identitas kolektif mereka. Perilaku konversi konsumsi pangan pokok dari bahan lokal non-beras ke beras di Kepulauan Mentawai merupakan ekspresi relasi kuasa antara negara atau aktor-aktor ‘the other’ di satu pihak dan komunitas suku asli Mentawai di pihak lain dalam merealisasikan agenda masing-masing. Dalam hal ini tampaknya orang Mentawai tidak pasif, melainkan mereka juga merupakan pihak yang aktif dalam merespon dominasi negara. Dalam pada

itu mereka pun memiliki strategi pertahanan diri dan terus mereproduksi identitas kolektifnya. Inilah dimensi kuasa yang dimainkan orang Mentawai dalam merespon kemasan modernitas di bidang ketahanan pangan: sebisanya mereka akan tetap melanjutkan kontinuitas tradisi pangannya.

Sungguhlah ironis, dewasa ini jika ketahanan pangan orang Mentawai dibiarkan terus kian terancam akibat desakan kemasan modernitas yang dipromosikan ‘the other’, baik negara, swasta maupun LSM/NGO. Kebijakan pembangunan ekonomi yang diluncurkan negara yang diikuti kehadiran dan ekspansi perusahaan-perusahaan skala besar di bidang kehutanan di Kepulauan Mentawai selama ini secara nyata telah semakin membatasi aksesibilitas orang Mentawai terhadap pangan pokok non-beras yang teramat penting dalam kehidupan mereka turun temurun. Di sisi lain upaya introduksi pangan pokok beras yang dipromosikan oleh pemerintah sejak era Orde Baru hingga era Reformasi justru menyebabkan ketergantungan baru orang Mentawai terhadap makanan pokok beras ini.

Ekspansi ekonomi pasar dan aktivitas perusahaan-perusahaan akumulasi kapital ke Kepulauan Mentawai, terutama tampak dengan hadirnya perusahaan-perusahaan di sektor kehutanan, selanjutnya diikuti juga sektor pariwisata, justru semakin membatasi aksesibilitas komunitas suku asli Mentawai terhadap sumber pangan pokok tradirional mereka yakni non-beras. Kini yang tersisa hanya tinggal P. Siberut, itupun diperkirakan terus akan mengalami ancaman bilamana tidak ada langkah inisiatif yang lebih tepat dan cerdas dalam merekonstruksi gerakan ketahanan pangan di daerah ini.

Selama ini memang dijumpai adanya LSM/NGO dan para akademisi pemerhati Mentawai terus berupaya memperjuangkan kepentingan komunitas suku asli Mentawai dan ketahanan pangan lokalnya. Namun demikian sebagaimana aktor-aktor lainnya mereka pun umumnya ‘the outer’. Tak jarang mereka pun juga turut berperan dalam mempromosikan kemasan modernitas lewat gerakan-gerakan yang dibangunnya. Oleh karenanya upaya mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan di Kepulauan Mentawai ke depan perlu dirancang dengan melakukan rekonstruksi gerakan ketahanan pangan secara lebih subtantif dan partisipatif. Gerakan ketahanan pangan kini semakin dituntut untuk dirancang sebagai suatu gerakan sosial berlandaskan partisipasi masyarakat, yang disesuaikan dengan potensi-potensi setempat sekaligus menjamin kontinuitas identitas diri komunitas suku asli. Haruslah dipastikan posisi komunitas suku asli Mentawai tidak sekedar menjadi pemangku kepentingan utama, tetapi juga sebagai pemanfaat utama dalam pembangunan (Lihat juga: Barlett, 1980; Dove, 1985; Uphoff, 1988).

KESIMPULAN

Pemaparan di atas memperlihatkan bahwa bagi orang Mentawai, makanan tidak hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan biologis melainkan pula memiliki makna kultural. Karenanya, ketika negara mengintroduksi beras sebagai makanan pokok, maka kontroversi pun tidak dapat dihindari. Kepulauan Mentawai memiliki keterbatasan aksesibilitas terhadap bahan pangan beras, karena ketidaksesuaian lahan, teknis budidaya dan penanganan pascapanen menghendaki perlakukan tersendiri yang sangat jauh berbeda dengan pengelolaan pangan lokal. Ketahanan pangan masyarakat Mentawai akan terganggu, manakala pemerintah semakin fokus untuk mengembangkan beras sebagai bahan pangan pokok. Ketahanan pangan rumahtangga penduduk Mentawai justru akan terjamin dengan tetap memelihara tradisi pangan lokalnya.

Pemaparan di atas juga menunjukkan bahwa sejatinya antara masyarakat lokal Mentawai, orang luar dan khususnya pemerintah sesungguhnya terjalin “relasi kuasa” yang menarik didalami lebih lanjut. Ketahanan pangan penduduk di Kepulauan Mentawai khususnya pada kominitas adat Mentawai yang mengkonsumsi makanan pokok tradisionalnya sesungguhnya memiliki rasionalitas dan landasan kultural yang kuat sehingga seyogyanyalah untuk terus diperhatikan sebagai bagian dari potensi pembangunan. Semakin kuatnya semangat Pemerintah Kabupaten untuk mengembangkan beras sebagai makanan pokok, hendaknyalah diikuti perhatian yang sama terhadap pengembangan bahan pangan pokok lokal. Dalam hal inilah kami memandang setidak-tidaknya dewasa ini P. Siberut dapat diidentifikasi sebagai benteng terakhir pertahanan pangan dan sesungguhnya juga dapat dijadikan fondasi untuk membangun kembali ketahan pangan yang lebih kokoh di Kepulauan Mentawai. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai perlu lebih fokus mengembangkan komoditas pangan pokok lokal secara berkearifan lokal karena sudah turun temurun menjadi makanan pokok masyarakatnya melalui diversifikasi

produk. Kalaupun program introdusir beras terus dilanjutkan, sebaiknya bukan untuk menggantikan bahan pangan lokal sebagai makanan pokok, melainkan memperkuat ketahanan pangan masyarakat di Kepulauan Mentawai.

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, Laurens. 2002. ‘Art and Art Trade in Siberut, Mentawai Archipelago’. Islam and the Malay World.

30(88): 337-356.

Barlett, Feggy F. 1980. Agricultural Decision Making, Anthropological Contributions to Rural Development. New York: Academic Press.

Delfi, Maskota. 2013a. ‘Islam and Arat Sabulungan in Mentawai’. Al-Jamiah. 51(2): 475-499.

Delfi, Maskota. 2013b. ‘Contemporary Mentawai Recapitulates Ancestry: The Position of Women in Siberut Society’. Humaniora. 25(1): 14-24.

Dove, Michael R (ed.), 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional dalam Pembangunan. Jakarta: YOI.

Eindhoven, Myrna. 2002. ‘Translation and Authenticity in Mentawaian Activism’. Islam and the Malay World.

30(88): 357-367.

Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara.

Gomes, Alberto G. 2007. Modernity and Malaysia: Settling the Menraq Forest Nomads. London and New York: Routledge.

Indrizal, Edi et.al. 2015. Kearifan Lokal dan Penguatan Aksesibilitas Masyarakat terhadap Bahan Pangan Lokal Non-Beras dalam Mendukung Ketahanan Pangan Rumahtangga di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Padang:

LPPM Universitas Andalas.

Li, Tania Murray. (ed.). 2005. Transforming the Indonesian Uplands: marginality, Power and Production. Canada: Harwood Academic Publisher.

Li, Tania Murray. 2012. The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia. Yogyakarta:

Marjin Kiri.

Naim, Mochtar. 1992. Dampak Pembangunan terhadap Tanah Adat: Kasus Mentawai, Pasaman Barat dan Lombok Barat. Ditulis untuk Suara Pembaruan berdasarkan Survey Lapangan Agustus-September 1992. Jakarta. Schefold, Reimar. 1985. “Keseimbangan Mentawai dan Dunia Modern”,Michael R. Dove. Peranan Kebudayaan

Tradisional dalam Pembangunan. Jakarta: YOI.

Schefold, Reimar. 1991. Mainan Bagi Roh, Kebudayaan Mentawai. Jakarta:Balai Pustaka.

Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

Scott, James C. 1985. Weapon of the Weak: Everiday Forms of Peasant Resistance. New Haven and London: Yale University Press.

Scott, James C., 1990. Domination and the Art of Resistence: Hiddenn Trancripts, London: Yale University Press

New Haven and London.

Swastika, D.K.S. 2004. Developing Maize for Imporving Poor Farmers Income in Indonesia. CGPRT Flash, 2(4): 45-53. Undang-Undang Negara Republik Indonesia No.7 tahun 1996 tentang Pangan Kantor Menteri Negara Pangan

Republik Indonesia (RI) Tahun 1996-1997.

Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Pangan Secara Nasional Indonesia 2000.

Uphoff, Norman. 1988. ‘Menyesuaikan Proyek pada Manusia’, Michael M. Cernea (ed.). Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan. Publikasi Bank Dunia. Jakarta: UI Press.

Tulius, Juniator. 2012a. Family Stories: Oral Tradition, Memories of the Past, and Contemporary Conflict over Land in Mentawai Indonesia. Ph.D Thesis Universiteit Leiden.

Tulius, Juniator. 2012b. ‘Stranded People: Mythical Narratives about the First Inhabitants of Mentawai Island’.

Wacana. 14(2): 215-240.

Tulius, Juniator. 2016. ‘The Pig Story “Tiboi Sakkoko”: Storytelling of Kinship, Memories of the Past, and the Rights to Plots of Ancestral Land in Mentawai’. Wacana. 17(2): 336-373.

Wahyuni. K.S. dan K.S. Indraningsih. 2002. Dinamika Program dan Kebijakan Peningkatan Produksi Padi. Forum

Agro Ekonomi, Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor, 21 (2): 143-159. Wolf, Eric R. 1985. Petani Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: Rajawali Pers.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS DESIGN THINKING DALAM RANGKA MEWUJUDKAN

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 186-192)