TINJAUAN TEORITIS RESPON ORGANISASI PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK TERHADAP KELUHAN MASYARAKAT
DILEMA EXIT MECHANISM DAN VOICE MECHANISM DALAM PELAYANAN DASAR
Dalam merespon pelayanan yang diterima, masyarakat mempunyai pilihan untuk memilih “exit”, “voice” atau “layalty”. Teori Exit dan Voice ini dikembangkan oleh Albert Hirschman (Ratminto, 2006: 71) menyatakan
bahwa kinerja pelayanan publik dapat ditingkatkan apabila ada mekanisme ‘exit’ dan ‘voice’. Mekanisme ‘exit’
berarti bahwa jika pelayanan publik tidak berkualitas, maka konsumen/klien harus memiliki kesempatan untuk memilih lembaga penyelenggara pelayanan publik yang disukainya. Sedangkan mekanisme ‘voice’, berarti adanya
kesempatan untuk mengungkapkan ketidakpuasan kepada lembaga penyelenggara pelayanan publik.
Tetapi mekanisme ini ternyata tidaklah mudah. Lebih lanjut Hirchman menjelaskan bahwa mekanisme
‘exit’ biasanya terhambat oleh beberapa faktor, seperti: kekuatan pemaksa dari negara, tidak adanya lembaga
penyelenggara pelayanan publik alternatif, dan tidak adanya biaya untuk menciptakan lembaga penyelenggara pelayanan publik alternatif. Sedangkan mekanisme ‘voice’ biasanya tidak efektif karena : pengetahuan dan kepercayaan terhadap mekanisme yang ada, dan aksesibilitas serta biaya untuk menggunakan mekanisme tersebut. Selain exit dan voice, ada loyalty mechanism. Loyalty, merupakan bentuk kesetiaan terhadap birokrasi
yang melakukan pelayanan, meskipun mempunyai pilihan untuk exit, namun lebih memilih voice untuk
mengungkapkan kekecewaan kemudian tetap loyal pada organisasi meskipun mempunyai rasa kecewa.
Dari sisi konsumen, mekanisme pengelolaan keluhan diperlukan terutama untuk mengakomodasi kepentingan konsumen pada wilayah pelayanan publik yang tidak ada kemungkinan dilakukannya exitmechanism.
Pelayanan air minum, perijinan, kelistrikan dan banyak lagi adalah jenis pelayanan publik yang tidak membuka kesempatan bagi konsumen untuk beralih ke alternatif lain. Begitu pula bagi konsumen dengan tingkat ekonomi lemah, untuk memenuhi kebutuhan seperti pada pendidikan dasar, kesehatan atau transportasi, nyaris tidak ada kesempatan untuk memilih layanan publik di luar yang disediakan oleh pemerintah. Misalnya, dalam pelayanan kesehatan, karakteristik loyalty dalam pemanfaatan kartu BPJS bagi masyarakat, lebih dominan dibanding dengan
karakter exit dan voice. Biasanya, karakter exit terletak pada kelas rawat inap dan kualitas pelayanan kesehatan.
Sedangkan karakter voice, masyarakat yang mengalami ketidakpuasaan menyampaikan keluhan langsung ke
petugas di fasilitas kesehatan. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat (customer) juga terkadang menghambat
untuk melakukan mekanisme ”voice”.
Karena itu diperlukan mekanisme pengelolaan keluhan, sebagai pengganti exit mechanism untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Sementara dari sisi penyelenggara pelayanan publik, mekanisme pengelolaan keluhan diperlukan untuk perbaikan sistem pelayanan publik dan untuk meningkatkan legitimasi institusi pelayanan publik di mata publik. Berbagai saluran untuk menyampaikan keluhan harusnya sudah mulai di efektifkan, seperti penyampaian keluhan dengan Kotak saran, customer service, SMS center, dll. Perbaikan sistem dilakukan dengan memanfaatkan respon yang diperoleh dan mengolahnya menjadi bahan pengambilan keputusan. Sedangkan peningkatan legitimasi akan diperoleh seiring dengan meningkatnya keterlibatan publik dalam penyelenggaraan kebijakan publik tersebut ( Cendekia, 2007: 23)
Dalam penanganan pengaduan di Indonesia, selama ini respon publik belum mendapat perhatian serius dari pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik. Selain itu, belum ada peluang agar respon publik dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan dalam pelayanan publik ( Cendekia, 2007:14). Konsumen yang secara ekonomi cukup mampu ketika menerima pelayanan publik yang tidak memuaskan, dapat menyampaikan respon pada penyelenggara dengan cara “exit mechanism”. Yaitu dengan meninggalkan penyedia pelayanan publik tersebut dan menggantinya dengan layanan lain yang kualitasnya lebih baik meski dengan biaya yang lebih mahal. Tetapi exit mechanism ini tidak dapat diterapkan untuk sektor-sektor yang telah dimonopoli oleh penyedia pelayanan publik tertentu (baik monopoli dari instansi pemerintah maupun swasta). Penyediaan listrik, jasa telepon, air minum dan masih banyak lagi adalah contoh dari sektor pelayanan publik di mana konsumen tidak dapat melakukan
exit mechanism. Konsumen miskin umumnya juga tidak dapat menggunakan pilihan exit mechanism, meskipun pada sektor pelayanan publik yang memiliki banyak pilihan. Konsumen yang tidak puas atas pelayanan publik yang diterimanya tetapi tidak berdaya untuk mencari dengan alternatif pelayanan publik lain biasanya akan diam saja atau akan melakukan pengajuan keluhan (voice mechanism).
Dari fenomena di atas, sangat diperlukan kesetaraan posisi tawar antara pemberi pelayanan dengan masyarakat pengguna layanan dalam manajemen pelayanan publik (khususnya pelayanan perizinan). Untuk mewujudkan kesetaraan hubungan agar dapat meningkatkan pelayanan publik, yang harus dilakukan adalah: (a) memperkuat posisi tawar pengguna jasa layanan; (b) memfungsikan mekanisme ‘voice’. Sedangkan faktor-faktor manajerial
yang menjadi penentu kualitas pelayanan publik (perizinan) adalah: (a) adanya birokrasi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat khususnya pengguna jasa; (b) terbangunnya kultur pelayanan dalam oranisasi pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan perizinan; (c) diterapkannya sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa pelayanan (Ratminto, 2006: 38).
Interaksi diantara lima faktor tersebut dapat di atas, akan dapat membentuk model manajemen pelayanan, seperti yang terlihat dalam gambar berikut ini:
Lkultur Organisasi Sistem Pelayanan Pengguna jasa Pelayanan SDM pelayanan Mekanismevoice
*Media *LSM *Organisasi Profesi *Ombudsmen *Media *LSM *Organisasi Profesi *Ombudsmen
Mekanismevoice
Sumber: Ratminto, 2006: 54
Dalam konteks pelayanan public, paradigma baru yang menempatkan masyarakat hanya sebagai pelanggan sudah saatnya ditinggalkan. Pelayanan publik bukan semata-mata kegiatan untuk mencari keuntungan tetapi harus dilihat juga sebagai kegiatan yang bernuansa social (bukan semata-mata bersifat ekonomis). Dalam aktivitas pelayanan publik, masyarakat tidak hanya sebagai pelanggan tetapi juga sebagai pemilik negara dan pemerintah (penyelenggara layanan)àdari hanya sebagai customer ke posisi sebagai owner. Sebagai pemilik dan pemberi mandat kepada pemerintah, sudah sewajarnya masyarakat dilibatkan dalam setiap tahapan perumusan dan pengambilan kebijakan public termasuk kebijakan dalam pelayanan publik, yang di dalamnya menyangkut jenis pelayanan yang dibutuhkan, cara terbaik untuk menyelenggarakan pelayanan public, mekanisme untuk mengawasi proses pelayanan dan mengevaluasi pelayanan publik (Dwiyanto, 2005: 194). Dengan demikian, pertisipasi merupakan salah satu pilar dari good governance dalam pelayanan publik selain transparansi, akuntabilitas, dan fairness. Untuk mewujudkan goodgovernance maka dipandang perlu diatur partisipasi masyarakat dalam perymusan kebijakan pelayanan publik. Pemberian ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi ini sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi. Prinsip ini mengharuskan Penyelenggara Negara (pemerintahan) membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggaraan negara. Partisipasi public dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas public dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Secara lebih terperinci, menurut Ratminto (2005: 72-79), keseimbangan posisi tawar antara instusi penyelenggara jasa pelayanan dengan masyarakat selaku pengguna jasa pelayanan dapat dicapai dengan menerapkan beberapa konsep seperti berikut:
• Customer’s charter
Customer’s charter atau sering disebut citizen’s charter merupakan dokumen yang didalamnya mengatur
diri customers, serta sanksi bagi kedua belah pihak tersebut apabila tidak dapat memenuhi kewajiban yang
ditetapkan.
• Customer service standard
Ini merupakan standar pelayanan yang melekat dalam suatu jenis pelayanan umum tertentu. Konsep ini disebut juga standar pelayanan minimal (SPM).
• Customer Redress
Customer redress adalah merupakan pemberian ganti rugi kepada customers, apabila pelayanan umum yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada baik dalam customer’s charter
maupun yang disebutkan dalam customer’s service standard.
• Quality guarantees
Konsep ini dapat diterjemahkan menjadi garansi kualitas, artinya suatu jaminan yang diberikan oleh kualitas, artinya suatu jaminan yang diberikan oleh instansi pemerintah atau penyelenggara pelayanan umum bahwa pelayanan umum yang diselenggarakan pasti memenuhi standar tertentu. Apabila standar tersebut tidak dapat dipenuhi, maka customers berhak untuk meminta pemenuhan standar tersebut.
• Quality inspectors
Ini merupakan suatu jabatan yang tegas, kewenangan dan tanggungjawabnya adalah memeriksa dan memastikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh instansi pemerintah atau penyelenggar pelayanan benar- benar telah sesuai denga standar yang telah di tetapkan.
• Customer complain system
Ini adalah merupakan sistem penanganan keluhan yang efektif. Idenya adalah menciptakan suatu sistem penanganan keluhan yang efektif dan responsif, sehingga customers tahu pasti bahwa pengaduan ini pasti akan di tindaklanjuti.
• Ombudsmen
Ini adalah semacam lembaga pengawasan independen, yaitu suatu lembaga yang tugas, kewenangan dan tanggungjawabnya adalah untuk melakukan pengawasan dan penilaian terhadap pelaksanaan pelayanan umum. • Competitive public choice system
Konsep ini sebenarnya adalah merupakan perwujudan dari mekanisme “exit”. Disini customer diberi kesempatan
untuk memilih provider yang disukainya karena ada beberapa provider yang memberikan pelayanan umum
yang sejenis yang saling bersaing dalam penyelenggaraan pelayanan umum yang berkualitas. • Vouchers and reimbursement programs
Konsep voucher and reimbursement hampir sama dengan competitive public choice system.
Konsep-konsep tersebut tidak perlu semuanya diterapkan, tetapi dapat dipilih beberapa yang sesuai dengan karakteristik pelayanan umum yang diselenggarakan. Dengan adanya berbagai strategi tersebut, diharapkan masyarakat akan lebih kuat posisi tawar dan bisa ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan pelayanan publiknya.
KESIMPULAN
Di Indonesia, pengajuan keluhan tersebut sering manifest dalam bentuk-bentuk protes-protes sporadis, misalnya dalam bentuk demonstrasi menggugat institusi pelayanan publik, surat pembaca di media massa, protes-protes publik dalam berbagai event. Pengajuan keluhan dengan cara seperti itu kadang-kadang mampu memperkuat posisi konsumen dalam negosiasi dengan institusi penyedia pelayanan publik. Kadang-kadang berhasil dicapai kesepakatan-kesepakatan positif untuk perbaikan sistem pelayanan publik. Karena penyelenggaraan pelayanan publik yang sifatnya primer dan sekunder, posisi tawar clien/customer sangat rendah (powerless).
Sebaliknya dalam pelayanan primer yang dilakukan oleh pihak swasta, posisi customer sangat kuat (empowered) (Ratminto, 2006:12).
Hal ini menguatkan argumen bahwa baik word of mouth likelihood ataupun word of mouth valence tidak
berpengaruh terhadap masyarakat dalam memilih pelayanan perizinan dari organisasi publik. Sedangkan pada pelayanan kesehatan, pada kondisi tertentu word of mouth likelihood ataupun word of mouthvalence, bagi masyarakat
tertentuakan berpengaruh terhadap pilihan pelayanan atau melakukan exit mechanism (pindah ke pelayanan
yang diberikan swasta yang dinilai lebih baik pelayanannya). Untuk menguatkan posisi tawar pengguna layanan, perlu dilakukan beberapa pilihan konsep yang harus dilakukan, diantaranya Customer’s charter, Customer service standard, Customer Redress, Customer complain system, Competitive public choice system, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Cendekia, Ilham, dkk. 2007. “Implementasi Mekanisme Komplain terhadap Pelayanan Publik Berbasis Masyarakat.
Jakarta: PATTIRO.
Daryanto, 2014. “Konsumen dan Pelayanan Prima”. Yogyakarta: Gava Media.
Davidow. Mosche. 2003. ”Organizational Responses of Customer Complaints: What Works and What Doesn’t”.