• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 62-65)

TINJAUAN TEORITIS RESPON ORGANISASI PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK TERHADAP KELUHAN MASYARAKAT

PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

Pelayanan public yang harus diberikan oleh pemerintah dapat diklasifikasikan ke dalam dua katagori utama yaitu pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan umum. Menurut Mahmudi dalam Hardiyansyah (2011:20), Pelayanan kebutuhan dasar, yaitu pelayanan yang harus diberikan oleh pemerintah yang meliputi: kesehatan, pendidikan, dan bahan kebutuhan pokok masyarakat. Sedangkan pelayanan umum, yaitu pelayanan yang diberikan oleh pemerintah terbagi dalam 3 kelompok: a) pelayanan administrasi, b) pelayanan barang dan c) pelayanan jasa.

Sedangkan menurut Ratminto (2006: 8-12) bahwa berdasarkan organisasi yang menyelenggarakan pelayanan publik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik

b. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi privat ini dapat dibedakan lagi menjadi: (i) yang bersifat primer dan (ii) yang bersifat sekunder.

Perbedaan diantara ketiga jenis pelayanan publik tersebut adalah:

a. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh privat. Ini adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, perusahaan pengangkutan miliki swasta, dll. b. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah bersifat primer. Ini adalah semua penyediaan barang/ jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang didalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggaraa dan pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya pelayanan di Kantor Imigrasi, pelayanan penjara, dan pelayanan perizinan.

c. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat sekunder. Ini adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi didalamnya pengguna/klien

tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan, misalnya program asuransi tenaga kerja, program pendidikan, dan pelayanan yang diberikan oleh BUMN.

Dari uraian di atas, untuk membedakan ketiga jenis penyelenggaraan pelayanan publik, dapat dilihat dari kriteria berikut ini:

a. Adaptabilitas layanan. Ini berarti derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna.

b. Posisi tawar pengguna/klien. Semakin tinggi posisi tawar pengguna/klien, maka akan semakin tinggi peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.

c. Type pasar. Karakteristik ini menggambarkan jumlah penyelenggaraan pelayanan yang ada, dan hubungannya dengan pengguna/klien.

d. Locus kontrol. Karakteristik ini menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas transaksi , apakah pengguna ataukah penyelenggara pelayanan.

e. Sifat pelayanan. Hal ini menunjukkan kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang dominan. Perbedaan karakteristik penyelenggaraan pelayanan publik oleh privat sector dan public sector, dapat dilihat pada tabel 2.1. berikut ini:

Tabel 2.1: Karakteristik Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Karakteristik

Penyelenggara Pelayanan Publik

Privat Publik

Sekunder Primer

Adaptabilitas Sangat tinggi Rendah Sangat Rendah Posisi Tawar klien Sangat tinggi Rendah Sangat Rendah Bentuk/type pasar Kompetisi Oligopoli Monopoli

Locus Kontrol Klien Provider Pemerintah

Sifat Pelayanan Dikendalikan oleh Klien Dikendalikan oleh Provider Dikendalikan oleh Pemerintah Sumber: Ratminto, 1999:7

Berdasarkan tabel 2.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan pokok antara pelayanan publik yang diselenggarakan oleh swasta dan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik dan yang bersifat primer adalah bahwa dalam pelayanan publik yang diselenggarakan oleh swasta, posisi klien sangat kuat (empowered).

Sebaliknya dalam pelayanan primer yang diselenggarakan oleh organisasi publik, posisi klien sangat lemah (powerless).

Hal ini sejalan dengan pergeseran paradigma pelayanan publik dari model administrasi publik tradisional (Old Public Administration) ke model manajemen publik baru (New Public Management) dan kemudian mengarah pada model pelayanan publik baru (New Public Service) seperti yang terlihat dalam tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2: Pergeseran Paradigma Pelayanan publik

Jenis Birokrasi/

Unsur-unsurnya Old Public Administration New Public Management (NPM)

New Public Service (NPS)

Tujuan Efisiensi dan profesional Pelayanan Prima Kualitas pelayanan Strategi Pencapaian Tujuan Implementasi program oleh lembaga pemerintah Mendorong peran swasta dan LSM Koalisi antara Pemerintah, LSM, dan Sektor swasta Pertanggungjawaban Pada Klien dan konstituen secara hirarkhis Pada customer ala pasar Pada warga negara (citizens) secara multidimensional Kekuasaan Pada top Management Pada pekerja dan pengguna jasa Pada warga negara

Budaya

Arogan

Rutin Menyentuh hati, winning minds RamahInovatif Penekanan pada ketaatan

menjalankan aturan dan efisiensi Penekanan pada perombakan visi dan misi Penekanan pada perombakan kultur pelayanan Peran Pemerintah Rowing (pelaksana) Steering (pengarah) Serving (pelayan)

Konsep Kepentingan Publik Kepentingan Publik tercermin dalam UU yang secara politis sudah di desain pemerintah

Kepentingan publik merupakan agregat kepentingan individu

Kepentingan publik merupakan hasil dialog mengenai nilai-nilai yang ingin dicapai

Sumber: Purwanto: 2005:7

Perbedaan antara NPM dan NPS secara substantial sebenarnya hanya pada bagaimana birokrasi melihat warga negara. Dalam NPM warga negara hanya dilihat sebagai customer yang harus dilayani dengan baik sedang dalam

NPS warga negara harus dilihat sebagai owner, yang empunya negara yang demokratis. Paradigma baru mengenai

organisasi pelayanan aparatur birokrasi pada dasarnya menuntut adanya perubahan orientasi pelayanan, dimana aparatur dituntut memiliki visi dan misi yang jelas dalam mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat.

KEPUASAN PELANGGAN (CUSTOMER SATISFACTION): RESPON TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

Konsep kepuasan pelanggan (customer satisfaction) menurut Kotler yang dikutip oleh Tjiptono (1996:146) bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (hasil) yang dirasakan dengan harapannya. Sedangkan tingkat kepuasan adalah fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan.

Organisasi atau instansi pemberi layanan dapat mengetahui kepuasan pelanggan melalui umpan balik yang diberikan oleh pelanggan (masyarakat) kepada organisasi pemberi layanan sehingga menjadi masukan bagi keperluan pengembangan dan implementasi serta peningkatan tingkat kepuasan masyarakat. Setiap keluhan atau komplain masyarakat yang masuk akan dijadikan poin penting untuk memperbaiki kualitas pelayanan yang diberikan.

Artinya bahwa penilaian kepuasan pelanggan sangat bermanfaat bagi upaya peningkatan kualitas pelayanan. Konsep kualitas pelayanan menurut Savas (1987:5) adalah menunjukkan pada seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan para pelanggan atau masyarakat atas layanan yang diterima. Dengan demikian terdapat dua unsur utama dalam kualitas layanan yaitu layanan yang diharapkan (Expected Service) dengan layanan yang diterima (perceived service). Apabila jasa yang diterima atau yang dirasakan sesuai dengan yang diharapkan maka kualitas pelayanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Demikian pula sebaliknya jika layanan yang diterima kurang sesuai dengan yang diharapkan maka kualitas layanan dipersepsikan buruk dan tidak memuaskan.

Berdasarkan sintesis terhadap berbagai riset yang telah dilakukan, Gronroos seperti yang dikutip Tjiptono(2005: 261) mengemukakan enam kriteria kualitas pelayanan yang dipersepsikan baik yakni sebagai berikut:

1. Profesionalism and skills. Pelanggan mendapati bahwa penyedia jasa, karyawan, sistem operasional dan sumber

daya fisik memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah mereka secara profesional (outcome related criteria)

2. Attitudes and behavior. Pelanggan merasa bahwa karyawan jasa (customer contact personal) menaruh perhatian

besar pada mereka dan berusaha membantu memecahkan masalah mereka secara spontan dan ramah (process related criteria)

3. Accesibility and Flexibility. Pelanggan merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, operasi, jam operasi, karyawan dan

sistem operasionalnya, dirancang dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat mengakses jasa tersebut dengan mudah. Selain itu, juga dirancang dengan maksud agar dapat menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan secara luwes (process related criteria)

4. Reliability and trustworthiness. Pelanggan memahami bahwa apapun yang terjadi atau lebih disepakati, mereka

bisa mengandalkan penyedia jasa beserta karyawan dan sistemnya dapat memenuhi janji dan melakukan segala sesuatu dengan mengutamakan kepentingan pelanggan (process related criteria)

5. Recovery. Pelanggan menyadari bahwa bila terjadi kesalahan atau sesuatu yang tidak diharapkan dan tidak diprediksi, maka penyedia layanan akan segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari solusi yang tepat (process dan related criteria)

6. Reputation and Credibility. Pelanggan menyadari bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai/imbalan yang sepadan dengan biaya yang dikeluarkan (image related criteria).

Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan sebagai respon terhadap pelayanan yang diterima, yaitu melalui metode:

1. Sistem Keluhan dan Saran, artinya setiap instansi yang berorientasi pada pelanggan perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para pelanggan untuk menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan. Media yang digunakan bisa melalui kotak saran, kartu komentar, maupun melalui saluran telepon.

2. Survei Kepuasan Pelanggan, artinya mengukur kepuasan pelanggan dilakukan dengan metode survei, baik melalui telepon, kuisioner, maupun wawancara pribadi.

3. Ghost shopping, artinya metode ini dilaksanakan dengan mempekerjakan beberapa orang (ghost shopper) untuk berperan sebagai pelanggan.

4. Lost Customer Analysis, artinya instansi menghubungi pelanggan yang telah berhenti melakukan pelayanan, dan diharapkan mendapatkan informasi penyebab terjadinya hal tersebut.

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 62-65)