• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekilas tentang Komunitas Suku Asli dan Kondisi Ekologis Mentawa

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 181-183)

POLITIK PANGAN ORANG MENTAWAI:

1. Sekilas tentang Komunitas Suku Asli dan Kondisi Ekologis Mentawa

Orang Mentawai berdomisili di Kepulauan Mentawai, salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Mentawai merupakan nama kelompok etnik di gugusan kepulauan yang terletak di pantai barat Sumatera (Tulius 2016). Sejak Zaman Hindia Belanda (tahun 1825), Kepulauan Mentawai sudah diakui sebagai daerah administratif yang dinamakan afdeeling (setingkat kabupaten). Tahun 1929-1948

Kepulauan Mentawai ditetapkan sebagai daerah administratif setingkat onder-afdeeling yakni Onder-afdeeling Mentawaian Eilanden dan menjadi bagian Afdeeling Padang. Tahun 1948, Kepulauan Mentawai menjadi bagian

dari Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Sejak reformasi, wilayah ini dimekarkan menjadi kabupaten sendiri berdasarkan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri atas 4 pulau besar ditambah gugusan pulau-pulau kecil sebanyak 98 buah. Keempat pulau besarnya yaitu: P. Siberut, P. Sipora, P. Pagai Utara, dan P. Pagai Selatan (Bacaan lebih detail tentang kondisi sosial demografi keempat pulau besar di Mentawai lihat Tulius, 2012a). Luas wilayah kabupaten ini kurang lebih 6.011,35 Km² dengan panjang garis pantai 758 Km. Ibukota kabupaten berada di Tua Pejat, di P. Sipora. Kabupaten Kepulauan Mentawai saat ini terbagi menjadi 10 kecamatan, 43 desa dan 202 dusun.

BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai (2013) melaporkan bahwa jumlah penduduk daerah mencapai 81.840 jiwa. Pertumbuhan penduduk di Kepulauan Mentawai relatif konstan dan jumlahnya masih tergolong tidak padat. Laju pertumbuhan penduduk di Kepulauan Mentawai antara tahun 2000-2010 sebesar 2,27%, lebih tinggi dari rata laju pertumbuhan penduduk Provinsi Sumatera Barat (1,34%). Namun demikian secara proporsional jumlahnya hanya kurang lebih 1,63% dari jumlah penduduk Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan jika dilihat dari segi kepadatan penduduknya, yakni 13,61 jiwa/km², distribusinya cukup bervariasi antar kecamatan. Kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Sikakap (36 jiwa/km²), disusul Kecamatan Sipora Utara lokasi ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai (24 jiwa/km²), sedangkan Kecamatan Siberut Barat paling jarang (6 jiwa/km²). Adapun rata-rata tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Kepulauan Mentawai tercatat sekitar 13-14 jiwa/km².

Tabel 1: Distribusi Penduduk Kabupaten Kepulauan Mentawai 2008 -2013

No Kecamatan Luas Daerah (km²) Jumlah Penduduk (jiwa) Kepadatan Penduduk (jiwa/ km²)

1 Pagai Selatan 901,08 9.109 10,11 2 Sikakap 278,45 10.106 36,29 3 Pagai Utara 342,02 5.514 16,12 4 Sipora Selatan 268,47 9.006 33,55 5 Sipora Utara 383,08 9.180 23,96 6 Siberut Selatan 508,33 8.654 17,02 7 Siberut Barat Daya 649,08 6.088 9,38

8 Siberut Tengah 739,87 6.103 8,25 9 Siberut Utara 816,11 8.064 9,88 10 Siberut Barat 1.124,86 6.687 5,94 Jumlah 2013 6. 011,35 81.840 13.61 2012 6. 011,35 78.511 13,06 2011 6. 011,35 77.078 12,82 2010 6. 011,35 76.173 12,67 2009 6. 011,35 74.625 12,41 2008 6. 011,35 72.972 12,14

Sumber: BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2014.

Kepulauan Mentawai adalah tanah leluhur suku bangsa Mentawai. Mereka oleh pemerintah kini disebut sebagai komunitas adat terpencil (KAT), dahulunya dikenal dengan istilah masyarakat terasing. Meskipun mereka tinggal di kawasan pulau-pulau kecil yang dikitari perairan Samudra Hindia, orang Mentawai bukanlah kategori masyaakat nelayan. Komunitas adat atau penduduk tempatan Mentawai secara tradisional biasanya hidup di hutan- hutan, mereka sangat mementingkan keserasian dan kelestarian hidup di alam. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dari alam tanpa merusaknya. Mereka menebang kayu hanya sekedar untuk membuat rumah, perahu, perkakas hidup lainnya dan seperlunya untuk ladang. Berbeda dari kebanyakan kaum peladang di penjuru lainnya (Lihat: Wolf, 1985 (1966)), termasuk di Indonesia (Lihat: Geertz, 1976), orang Mentawai tidak mengenal praktek perladangan tebang dan bakar (slash and burn): mereka bukanlah peladang berpindah.

Jika membuka ladang mereka menebang pohon secara selektif dan membiarkannya lapuk dan busuk, inilah sumber protein dan pupuk untuk lahan perladangan mereka. Di ladang mereka menanam keladi, ubi dan pisang. Ada juga yang menanam sagu, meskipun sebagian besar sagu sebenarnya juga telah tersedia karena tumbuh alami. Di sekitar areal ladangnya orang Mentawai biasa juga memelihara ternak, khususnya babi dengan sistem dilepas tetapi tidak liar. Lokasi ladang biasanya terletak di seberang sungai atau ke arah hutan, yang jarak tempuhnya dari uma permukiman permanen mereka di dusun bisa berjam atau sampai 1-2 hari berjalan kaki atau dengan menggunakan perahu. Karena itu kadang kala mereka harus tinggal di lokasi ladang untuk jangka waktu tertentu. Di hutan di sekitar areal ladang, mereka biasanya juga menjalankan aktivitas berburu untuk manangkap rusa, kera, burung dan babi hutan. Ada pula jadwalnya mereka kembali ke uma atau ke dusun untuk melaksanakan tugas-tugas sosial.

Di dalam kehidupan masyarakat Mentawai tugas-tugas sosial sudah diatur dan teratur sedemikian rupa, semua ada aturan dan tata caranya yang dilengkapi ketentuan tentang pantangan (punen) dan denda (tulou). Naim (1992) juga melukiskan betapa masyarakat Mentawai menjadi teratur karena disamping aturan ada kontrol dan ada sanksi. Dari segi tatanan sosial, ini sama moderennya dengan orang kota sekalipun. Aturan-aturan yang mereka ciptakan dasarnya adalah kesamaan, kebersamaan dan keadilan. Karena dasar tatanan sosial seperti ini maka praktek pelaksanaan aturan sosial orang Mentawai sungguhlah logis dan rasional.

Orang Mentawai tidak mengenal sistem hirarki sosial, namun ada pembedaaan fungsi dan pembagaian kerja.

Sibakat lagai sebagai kepala suku yang sekaligus mengatur tatanan adat, kurang lebih padanannya Kepala Desa. Rimata sebagai pemimpin agama dalam agama Sabulungan, padanan yang digantikan oleh pemimpin agama

lebih dukun atau seorang yang bisa diminta untuk membantu pengobatan. Anggota masyarakat dari kaum laki- laki tugasnya berburu, menyagu, membangun rumah dan menjaga kampung. Di dalam perubahan ke dalam kehidupan modern mereka inilah pula yang kemudian lebih banyak terlibat dalam urusan politik dan sosial di desa. Sedangkan kaum perempuan berbagi urusan menangkap ikan, memelihara kebun, serta mengurus anak- anak dan dapur. Di saat subuh buta sebelum fajar menyingsing, bisa saja ditemukan ibu-ibu Mentawai sudah kembali dari menangkap ikan di sungai dengan perahu dan jaringnya, untuk kemudian dimasak dengan sagu, keladi, pisang muda, dalam bumbung bambu, dan dibakar seperti membikin lemang. Sebagaimana dilukiskan juga oleh Naim (1992) kamipun masih sempat menyaksikan secara langsung kehidupan orang Mentawai di dusun-dusun perkampungan asli mereka di pedalaman, bahwa makan berepak di hadapan tungku adalah bahagian dari seremoni hari-hari yang mengasyikkan dalam keluarga. Biasanya anjing piaraan pun ikut dapat bagian, dan seolah-olah ikut sebagai anggota keluarga.

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 181-183)