• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 110-112)

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai salah satu Negara besar dan terbesar dengan warisan kebudayaannya akan memiliki peran yang cukup penting dalam memindahkan unsur-unsur kebudayaan dari generasi ke generasi guna memelihara identitas dan melawan pengaruh westernisasi yang kian gencar menyelimuti segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia, dengan kembali kearifan lokal dan agama sebagai budaya asli masyarakat. Kembali mempelajari dan memahami agama dan kearifan lokalnya, dengan suatu harapan bahwa pada suatu ketika akan terdapat kesesuaian pendapat secara luas bahwa kepercayaan agama dan kearifan lokal sebagaimana dipahami secara tradisional, secara mencolok akan menawarkan nilai-nilai, norma-norma, dan makna intrinsiknya bagi sebagian besar masyarakat modern dan post-modern (Agus Suryano: 2012). Penguatan nilai-nilai budaya tersebut dibangun dan dijalankan sesuai dengan kondisi suatu daerah berdasarkan hak asal usul dan hak tradisionalnya dalam mengurus, mengatur kepentingan masyarakatnya dengan harapan adanya kesesuaian antara nilai-nilai adat dan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah berbasis adat (Habullah Malau, 2014: 296).

Wacana penguatan kearifan local tersebut, untuk mengatasi pergeseran nilai-nilai budaya dan agama, bukanlah sesuatu hal yang baru dalam mengatasi problematika keseharian di masyarakat. Hal ini senada dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, sehingga kearifan lokal di tingkat desa mendapat pengakuan kembali setelah hampir 32 tahun mengalami penyeragaman berdasar Undang-undang UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, pada Tahun 1983 Nagari yang berjumlah 453 Nagari dijadikan struktur 3516 desa dan selanjutnya dikurangi menjadi 1700-an desa. Akhirnya jumlah Nagari jadi desa tidak diketahui jumlahnya secara pasti karena adanya perubahan nagari jadi desa hanya untuk mendapatkan dana bantuan desa (Bandes) dan tidak semua kabupatan dan kota di Sumatera Barat menjadikan desa menjadi nagari seperti kabupaten Mentawai misalnya pemerintahan terendah tetap menggunakan istilah desa.

Perubahan tersebut, dibaringi semenjak reformasi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah terjadi transformasi paradigma pemerintahan. Perubahan paradigma dalam kebijakan negara adalah terjadinya kebijakan yang berorientasi serba negara ke orientasi pasar atau publik (market or public interest). Perubahan

paradigma ini diharapkan memperkuat sendi-sendi kebijakan pemerintahan lokal, seperti Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat, Benda–Beckmann & Franz (2001) mengemukakan “the return to the nagari has led to a new interest in adat as a legitimation of political authority”.

Kebijakan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 dan No 2 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari adalah persamaian pengakuan pemerintahan desa berbasis adat. Walaupun pendekatan dan prakteknya seringkali mengabaikan masalah-masalah empirik dalam masyarakat, sehingga meminggirkan keberadaan budaya lokal itu sendiri. Padahal, tujuan desentralisasi adalah terciptanya political equality di tingkat lokal (Smith, 1985:24). Political equality dalam desentralisasi merupakan kontribusi dari penguatan demokrasi lokal, dimana masyarakat memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memberikan suaranya dalam pemilihan dan pengambilan keputusan, membentuk asosiasi politik dan menggunakan hak kebebasan berbicara. Kesempatan berpartisipasi yang lebih besar bagi masyarakat merupakan konsekuensi logis dari perpindahan tempat pengambilan keputusan dari pemerintah nasional kepada pemerintah lokal. Dalam hal ini, kekuasaan pengambilan keputusan diserahkan dari pemerintah nasional kepada masing-masing pemerintah. Sehingga hal ini mencerminkan karakter demokrasi yang lebih origin dan alami, daripada demokrasi yang dilaksanakan di tingkat nasional. Sedangkan Putnam (1993), menjelaskan budaya masyarakat merupakan faktor yang sangat menentukan kinerja institusi pemerintahan. Bahkan leabih lanjut Putnam (1993), menjelaskan bahwa masyarakat yang memiliki modal sosial (social capital) manifestasi kebajikan warga (civic virtue) yang tinggi dapat membantu terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Modal sosial ini meliputi adanya nilai-nilai saling percaya, toleransi, kerja sama, saling menghormati, dan tanggung jawab bersama sehingga membantu terwujudnya pemerintahan yang lebih demokratis.

Sementara disisi lain, konsep enam dimensi sosial, ekonomi, geografis, legal (hukum), politik dan administrative sebagaiman yang dikemukakan Muttalib dan Ali Khan (1982: 2-19), jelas belum mempertimbangkan kearifan lokalyang merupakan esensi individu atau manusianya yang melekat padanya seperti agama dan adat sebagai sinergi nilai-nilai kearifan lokal kedalam pemerintahan daerah, yang merupakan salah satu unsur pendukung teori pemerintahan daerah (local government). Pertimbangan tersebut sebagaimana Tishkov (2002: 5) di dalam Tishkov dan Filippova (2002) mengatakan bahwa pemahaman terhadap local self-government membutuhkan suatu tipe baru dari ilmu sosial yang melibatkan pendekatan antar disiplin ilmu (inter disciplinary approach). Perbedaan pandangan terhadap sesuatu hal terkait localself-government, misalnya dari studi sosial, budaya, antropologi dan etnografi, akan sangat membantu menjelaskan apa yang diperlukan dalam penyelenggaraan local self-government.

Dengan demikian, bahwa pemanfaatan nilai-nilai adat Nagari kedalam sistem Pemerintahan Nagari untuk menjamin keberlangsungan dan keberadaan Nagari sebagai kearifan lokal agar generasi terdahulu, sekarang dan yang akan datang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menikmati kearifan lokal (Pemerintahan Nagari) yang ada. Hal tersebut, seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi, politik, pembangunan, sumber daya alam, pertanian, perkebunan dan industri pariwisata di Sumatera Barat, local indigenous yang ada di Sumetara Barat sering kali dimodifikasi, dicampur dengan kearifan lokal atau unsur lain-lain, dan yang lebih tragis lagi diperjualbelikan untuk kepentingan kegiatan perekonomian dan politik. Ancaman terhadap kepunahan aset yang beharga tinggi ini semakin besar jika pemerintah, pelaku pariwisata, praktisi, budayawan, pemangku adat dan pelaku ekonomi ikut punyah (mabuk) dan tergiur dengan keuntungan ekonomi yang diperoleh sehubungan dengan pemanfaatan kearifan-kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Sumatera Barat.

Fakta empiris tersebut, apakah yang menjadi alasan mempertahankan pemerintahan nagari sehingga menemukan nilai-nilai adat yang masih tetap dipertahankan dan dipergunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan Nagari yang bersumber dari (a) nilai-nilai adat Minangkabau (buku-buku, tambo adat, karya ilmiah, pemuka adat dan cendikiawan) di Nagari (b) bentuk dan praktek adat istiadat yang ada dalam masyarakat Minangkabau (c) Pepatah petitih yang dipakai dan digunakan serta dijadikan pedoman bagi penyelenggaraan pemerintahana Nagari (d) Peran Ninik Mamak, Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam memberikan masukan kepada Wali Nagari dalam menyusun dan menyelola hal-hal berhubungan dengan adat dan sakko, pusako dan sangsako. Sedangkan nilai-nilai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam Bab V

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Pasal 23 Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa dan Pasal 24 Penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan asas (i) kearifan lokal. Maka penyelenggaraan desa memiliki kewenangan sebagai Pasal 18 Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.

Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tersebut dijelaskan sebagaimana pasal 1, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara dalam urusan penyelenggaraan desa sebagaimana pasal 2 Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Uraian konsep-konsep di atas, maka didapat ditarik atau diperoleh semacam ‘benang merah’ antara keberadaan konsep nilai-nilai adat (kearifan lokal), (local custom dan local knowledge), desentraliasi, otonomi daerah dan local government (daerah otonom, fungsi dan organ) dengan konsep local self-government. Namun, realitasnya masih banyak penelitian yang ada kotraversial, antara hasil-hasil penelitian yang cenderung mendukung nilai-nilai keadatan yang harus diakomudasi oleh Pemerintahan Nagari yang demokratis, dengan manajemen Pemerintahan Nagari sebagai bahagian pemerintahan di atasnya (kabupaten, provinsi, dan nasional), yang berdasarkan kepada nilai-nilai konstitusi dan perundang-undangan yang diterbitkan sebagai dasar pengambilan keputusan pada pemerintah nagari (orientasi kenegaraan/state oriented). Kontraversial ini membawa dampak dalam pemerintahan Nagari sebagai instrumen dalam penyelenggaraan Pemerintahan Nagari. Maka untuk mendalami penyelenggaraan Pemerintahan Nagari berbasis nilai-nilai adat (kearifan lokal), yang memiliki karakteristik nilai-nilai keadatan, budaya lokal dan bersinergi dengan Nilai-Nilai Adat dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa maka dirumuskan permasalahannya Nilai-nilai adat (kearifan lokal) apakah yang dimiliki dan masih tetap dipertahankan dalam penyelenggaraan pemerintahan Nagari untuk disinergikan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan tujuan agar Nilai-nilai adat tersebut tetap sebagai budaya masyarakat dalam menjalankan pemerintahan nagari sehingga pemahaman masyarakat nagari yang berbeda budaya, suku dan agama terhadap nilai-nilai adat bernagari mampu mengitari perberbedaan tersebut tanpa mengabaikan unsur demokrasi lokal.

Namun demikian, apakah dengan menggunakan nilai-nilai adat (kearifan lokal) masih tetap sebagai keinginan, kemauan, aspirasi masyarakat di masing-masing nagari untuk tetap mempertahankan adatnya atau keingain alit adat (pemangku adat). Sementara disisi lain, bagaimana masyarakat luar bermukim di Nagari seperti PNS, Tentara, Politisi dan pedagang apakah mereka bisa memiliki hak yang sama seperti warga nagari lainnya.

TELAAH LITERATUR

Dalam dokumen full proseding JILID 1 (Halaman 110-112)