• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKU KEDUA 27ketimbang mencarinya.

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 100-104)

Dipercaya secara luas bahwa Lord Kiyori telah diracun dengan empedu ikan buntal, yang telah dibubuhkan ke dalam supnya oleh putranya, Lord Shigeru, yang gila. Hanako dan pelayan lain yang menyajikan makanan langsung ditangkap pengawal pribadi Lord Kiyori. Tak ada keraguan bahwa mereka akan disiksa sampai mati, dan sudah semestinya, karena telah menjadi bagian dalam perbuatan jahat itu, baik dengan atau tanpa sepengetahuan mereka. Akan tetapi, ketika Lord Genji tiba, dia memerintahkan tabib klan untuk memeriksa mayat kakeknya. Setelah konsultasi singkat, Bangsawan Agung yang baru menyatakan bahwa kematian kakek- nya disebabkan oleh serangan jantung, yang merupakan penyakit bisaa pada usia lanjut. Dia kemudian membawa Hanako untuk bekerja di istananya, sebagaimana dikehendaki Kiyori, menyelamatkannya dari pengucilan yang pasti akan dialaminya jika tetap berada di kastel karena kecurigaan pasti akan terus ada.

Pandangan umum yang kemudian berlaku adalah bahwa Lord Kiyori memang benar telah diracuni, tetapi Genji, yang ingin memperkecil skandal, tidak menghukum pamannya yang telah membunuh ayahnya sendiri. Pula, mengetahui bahwa para pelayan tidak bersalah dan merasa kasihan kepada mereka, dia mengarang cerita tentang kegagalan jantung.

Untuk waktu yang lama, itu pula yang diyakini Hanako. Namun, setelah membaca perkamen Emily, dia tidak lagi percaya. Dia yakin pengunjung itu memainkan peranan dalam kematian Lord Kiyori, dan dengan keabadian dan kejahatannya, sangat mungkin ia masih bergentayangan di dunia bayangan antara kehidupan nyata dan tidak nyata, dengan sabar menunggu korban berikutnya, seseorang yang pemikiran dan emosinya memaparkan kerapuhan diri.

"Apakah kastel itu tujuh lantai dari awalnya?" tanya Emily

"Dahulu hanya dua lantai ketika baru dikuasai oleh Lord Masamune, ayah Bangsawan Agung kami ,vang pertama, Hironobu."

"Dikuasai? Kupikir ini kastel warisan klan Okumichi."

"Kastel ini menjadi warisan sejak saat itu. Segala sesuatu ada awalnya." Dan ada akhirnya, pikir Hanako, tetapi tidak menyuarakannya. "Masamune menambahkan empat lantai lagi selama hidupnya, dan Hironobu menambahkan lantai terakhir."

BUKU KEDUA

28

Hanako bergidik. Angin yang mengembus di atas air begitu lembut, sejuk seperti pada musim panas, tidak seperti angin musim dingin. Barangkali, dia semakin rentan terhadap angin akhir-akhir ini.

Taro tidak memperhatikan percakapan kedua wanita itu. Pemikiran lain yang lebih serius membebaninya.

Pembunuhan. Penculikan. Pengkhianatan.

Mampukah dia melakukan tindakan-tindakan semacam itu dan masih menyebut dirinya seorang samurai? Dan, jika dia tidak bertindak, apakah pengkhianatannya akan menjadi lebih buruk?

Taro sudah dewasa ketika krisis pada 1861 terjadi. Lord Kiyori meninggal secara mendadak, mewariskan wilayah ke tangan cucunya, Lord Genji, yang belum teruji. Ini membuka peluang menggoda bagi para musuh klan untuk berusaha menghancurkannya. Karena tidak menaruh kepercayaan kepadanya, kedua jenderalnya yang paling penting telah mengkhianatinya. Kesatria terbesar di wilayah ini, putra Kiyori dan paman Genji, Lord Shigeru, juga telah memilih waktu paling tidak menguntungkan itu untuk menjadi gila sepenuhnya. Situasi benar-benar tidak menjanjikan harapan. Akan tetapi, Taro dan sahabatnya, Hide, tetap setia pada sumpah mereka dan telah berjuang di samping Lord Genji dalam pertempuran bersejarah Mie Pass dan Kuil Mushindo. Dengan bantuan mereka, Lord Genji mengalahkan musuh-musuhnya. Mereka berdua telah diberi imbalan berlimpah, dan terus menanjak dalam martabat dan status. Hide sekarang menjadi kepala rumah tangga di samping kepala pengawal pribadi Genji. Taro, pada usianya yang baru 25 tahun, telah menjadi komandan kavaleri klan, kavaleri paling terkemuka di seluruh Jepang selama lima ratus tahun.

Namun, apakah semua itu masih mempunyai makna? Orang-orang asing telah memasuki Jepang dengan kapal-kapal perang, senapan, dan ilmu pengetahuan mereka, dan dunia yang pernah menjadi milik samurai selama-lamanya mulai menguap bagai kabut terpapar matahari pagi. Pasukan Kebajikan berkata hanya ada satu solusi. Usir bangsa barbar itu dan tutup negeri ini sekali lagi. Taro semakin yakin bahwa mereka benar.

BUKU KEDUA

29

mengikuti Lord Genji. Namun, Genji, yang paling tidak bersikap sebagaimana samurai sejati dari semua bangsawan agung seluruh wilayah di kekaisaran ini, tampak tak pernah memegang teguh kode kesatriaan yang menjadi fondasi kewenangannya. Sesuatu yang sudah berlaku sejak zaman leluhur tidak cukup bagi Genji. Dia menginginkan fondasi logika untuk tindakan- tindakannya. Logika alih-alih tradisi. Betapa miripnya dia dengan orang asing. Samurai sejati tidak bertanya mengapa. Dia bertindak sebagaimana leluhurnya bertindak, dan tanpa ragu mengikuti rambu-rambu jalan para kesatria. Ketika Taro mengemukakan hal itu, Genji tertawa.

"Jalan para kesatria," kata Lord Genji waktu itu, "Bushido. Tentunya, kau tidak berpikir leluhur kita benar-benar mempercayai omong kosong itu?"

Taro begitu terkejut sampai ternganga.

"Kesetiaan kepada seorang junjungan," kata Genji, "tak peduli betapapun tolol atau bejatnya dia. Mengorbankan diri, istri, orangtua, bahkan anak-anak sendiri, demi kehormatan sang junjungan. Mungkinkah kejahatan seperti itu bisa menjadi fondasi filosofi mulia? Jika aku pernah memintamu mengorbankan anak-anakmu untukku, Taro, kau mendapatkan izinku untuk membunuhku di tempat."

"Saya tak punya anak, Tuan."

"Kalau begitu, dapatkan beberapa segera. Kata kakekku, pria tanpa anak tidak memahami apa pun yang layak dipahami."

"Anda juga tak punya anak, Tuan."

"Aku sedang berpikir dengan serius untuk mengobati kekurangan itu. Sekarang, sampai di mana aku tadi? Oh ya, tentu saja, balas dendam. Jangan sekali-kali melupakan pembalasan yang salah, sekecil apa pun, dan setimpal, sekalipun perlu sepuluh generasi untuk melakukannya. Ini bukan ajaran leluhur, Taro, Ini karangan para Shogun Tokugawa. Mereka menciptakan mitos ini untuk memastikan bahwa mereka akan selalu berkuasa selamanya, dengan memastikan tak ada orang lain yang akan berpikir untuk melakukan apa yang mereka lakukan, yaitu bersumpah palsu kepada junjungan mereka, mengkhianati ahli waris junjungan mereka, berbuat hanya demi perluasan kekuasaan mereka, dan mengarahkan perhatian orang lain ke masa lalu sehingga masa depan menjadi milik mereka sendiri."

"Lord Genji," kata Taro, ketika suaranya pulih. "Anda tahu itu tidak demikian. Para leluhur kita yang mulia—"

BUKU KEDUA

30

"—merupakan manusia yang kasar dan kejam," kata Genji, "hidup pada zaman kasar dan kejam. Zaman yang tidak seperti zaman kita. Jalan mereka bukan bushido, melainkan budo, jalan perang. Budo bukan soal tradisi. Tetapi, soal efisiensi maksimal. Sebelum kita mengenal ilmu Barat, budo adalah ilmu kita. Samurai yang berjalan kaki tidak seefektif samurai di atas kuda, jadi kita menjadi samurai berkuda. Pedang tachi yang panjang dan lurus terbukti sulit digunakan dalam kondisi seperti itu. Jadi, kita meninggalkan dan menggantinya dengan katana yang lebih pendek dan melengkung. Ketika kastel menjadi arena perang yang umum, kita dapati bahwa pedang yang lebih pendek lagi diperlukan untuk pertempuran di dalam ruangan—sering berupa serangan pengkhianatan mendadak, tentunya—jadi kita membawa pedang kedua, wakizashi yang lebih pendek lagi untuk kita sandang bersama katana. Untuk pekerjaan dengan jarak yang sangat dekat—misalnya, jika kita perlu menusuk seseorang dengan tiba-tiba pada saat makan atau perjamuan teh atau pesta kita juga membawa belati tanto."

"Itu tidak benar," kata Taro, begitu marah oleh kata-kata Genji sehingga lupa berbicara dengan sopan. "Kita membawa tanto karena seorang samurai harus selalu siap membunuh dirinya jika kehormatan menuntut demikian."

Genji tersenyum kepada Taro seakan-akan dia seorang anak yang tidak terlalu cerdas, tetapi tetap disayanginya, "Itulah yang dikehendaki Shogun Tokugawa untuk kita percayai. Jadi, ketika kita berpikir hendak menusuk, kita akan berpikir tentang menusuk kita sendiri, bukan mereka."

Percakapan itu terjadi tepat sebelum Taro melakukan perjalanan ini.

"Jika kita benar-benar menjadi orang sebagai, mana leluhur kita dahulu," Genji berkata, "kita akan mempelajari semua yang kita bisa dari orang-orang asing secepat yang kita bisa, dan kita akan meninggalkan tanpa ragu atau sesal segalanya yang menghalangi kemajuan kita. Segalanya."

Taro, terlalu ngeri dan marah untuk mempercayai dirinya berbicara, hanya menunduk dalam-dalam, Lord Genji barangkali menganggapnya sebagai tanda persetujuan. Padahal, dia tidak pernah sependapat.

Tidakkah pengkhianatan Genji jauh lebih buruk ketimbang yang sedang dipertimbangkan Taro? Pengkhianatannya melawan jalan samurai itu sendiri. Genji bertekad untuk mengubahnya dalam citra bangsa asing yang aneh, tidak bermoral, tidak terhormat. Apa

BUKU KEDUA

31

gunanya kesetiaan ketika nilai yang tersisa hanyalah keuntungan? Apa gunanya keberanian ketika seseorang membunuh musuh, bukan dengan saling berhadapan dalam jarak dua pedang, melainkan tanpa terlihat dan tanpa melihat, dari kejauhan berkilo-kilometer, dan dengan mesin- mesin yang meledak berisik dan licik?

Taro melirik dua wanita yang dipercayakan kepadanya untuk dilindungi. Dia adalah komandan kavaleri paling terhormat di kerajaan ini, tetapi berapa lama kavaleri akan bertahan di dunia yang hendak diciptakan Genji? Hanako adalah istri sahabatnya, Hide, tetapi Hide secara keras kepala dan membabi buta setia kepada Genji. Emily adalah orang asing, yang kehadirannya telah memastikan kemenangan klan Okumichi dalam krisis, tetapi sekadar itulah dia—orang asing.

Suatu hari tak lama lagi

Tangan Taro tidak menyentuh pedangnya. Pikirannya sudah terlebih dahulu menyentuh- nya.

Derik tajam rantai mendahului bunyi ceburan jangkar jatuh ke dalam air dangkal. "Kita pulang," kata Hanako.

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 100-104)