• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 Mata Liar

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 158-164)

1882, Biara Mushindo

"Dan siapakah

orangtua Anda?" Biarawati

Kepala Jintoku bertanya.

Pemuda itu tertawa dan berkata, "Itu pertanyaan yang bagus, sungguh sangat bagus."

"Tentu saja itu pertanyaan yang bagus. Saya Bia- rawati Kepala di sini. Peran saya dalam hidup ini adalah untuk mengajukan pertanyaan yang bagus. Siapa nama Anda?"

"Makoto."

Itu hanya nama pemberian. Tak apa. Bukan haknya untuk menilai atau menuntut. Jika pemuda Itu tidak berkenan mengungkap dirinya lebih banyak, itu urusannya.

Biarawati Kepala berkata, "Saya percaya, Makoto-san, bahwa Anda sedang memper- timbangkan untuk meninggalkan kesenangan duniawi."

"Mengapa Anda berpikir begitu?" tanya Makoto. "Jalan hidup seperti itu paling kecil kemungkinannya untuk masa depanku."

"Saya berbakat untuk melihat renjana spiritual" sahut Biarawati Kepala. Dia tidak mem-punyai kemampuan semacam itu. Apa yang sungguh-sungguh dimilikinya adalah mata yang awas untuk pakaian mahal, rambut yang dipotong rapi, dan hanya kepercayaan diri yang muncul dari kemudahan keuangan seumur hidup. Semua itu dilihatnya dengan sangat jelas pada diri Makoto. Biara Mushindo, sebagaimana tempat-tempat keagamaan lain, selalu dapat menerima tambahan jemaah. Sedikit pula kesalahan sering mengenai sasaran. Bahkan, mereka yang merasa sepenuhnya tidak mempunyai kepercayaan cenderung melunak ketika diberi tahu bahwa mereka terpanggil.

Aku selalu mengira tugas pemimpin agama adalah menjawab pertanyaan."

"Saya bukan pemimpin agama," sahut Biarawati Kepala. "Jika diibaratkan, saya tak lebih dari seorang pembersih dan penjaga. Saya membersihkan dan menjaga segala sesuatu tetap pada tempatnya. Maukah Anda minum teh bersama saya? Kita bisa bahas persoalan ini lebih jauh."

"Terima kasih, Biarawati Pembersih dan Penjaga," kata Makoto, membungkuk dengan kedua tanan dirapatkan di depan dadanya, memberikan penghormatan Buddhis. "Barangkali, lain waktu saja. Sekarang, aku harus kembali ke Tokyo."

"Untuk menemukan orangtua Anda," kata Biarawati Kepala, "atau dirimu?" "Bukankah yang satu akan mengarah ke yang lainnya?"

"Pertanyaan yang bagus, Makoto-san. Barangkali Anda juga berbakat untuk menjadi pem- bersih dan penjaga."

"Terima kasih atas pujian Anda," kata Makoto. Setelah membungkuk untuk terakhir kalinya, dia berbalik dan melintasi jalan setapak menuju gerbang biara.

Biarawati Kepala mengikutinya dengan matanya sampai dia menghilang dari pandangan. Pemuda itu telah mengingatkannya akan seseorang. Namun, siapa? Oh, biarlah, nanti juga akan teringat sendiri. Atau, mungkin tidak. Tidak menjadi masalah. Dia yakin akan bertemu dengan pemuda itu lagi. Komentarnya tentang sejarah yang sebenarnya, dan tentang pertempuran itu, menunjukkan kadar minat tehadap Mushindo yang melebihi biasanya. Ya, Makoto-san akan kembali, barangkali sebagai donatur tetap yang murah hati. Biarawati Kepala membalikkan tubuh dari gerbang dan melanjutkan langkah ke ruang kerjanya.

Dari sekian banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya, Biarawati Kepala Jintoku paling menikmati penyiapan cendera mata suci. Sebelum bisa ditawarkan kepada pengunjung, peluru, potongan arang kayu, robekan perkamen, semuanya harus dimasuk-masukkan ke dalam tabung- tabung bambu yang besarnya sekelingking dan tampak kering serta keriput. Tabung bambu itu merupakan pengingat yang berguna bagi pengunjung kuil akan kelemahan dan nasib akhir semua makhluk hidup. Setelah sebuah tabung dipilih oleh jemaah dan isinya dipastikan, sumbangan akan diterima dengan penuh syukur dan lubangnya ditutup lagi dengan sumbat bambu. Pada mulanya, cendera mata dijual dengan harga per set, tetapi Biarawati Kepala adalah pengusaha wanita yang berbakat dengan pemahaman tajam tentang sifat-sifat manusia. Dia percaya bahwa sumbangan akan memberikan pemasukan lebih besar, suatu keyakinan yang segera terbukti dengan peningkatan pendapatan sepuluh kali lipat. Ketika dibiarkan menentukan sendiri jumlah

sumbangan mereka, jemaah yang mengharapkan bantuan materiil dari dunia lain cenderung bernurah hati karena takut akan menyinqggung perasaan para ruh yang mereka mintai pertolongan.

Akhir-akhir ini, Biarawati Kepala mulai mernperkecil kepingan arang dan robekan perkamen yang dimasukkannya ke dalam tabung. Popularitas mereka telah mengakibatkan pengurangan berarti pada persediaan yang semula tampak tak akan pernah habis. Ketika persediaan benar-benar habis nanti, dia tidak akan ragu-ragu untuk membuat tiruannya—menurut keyakinannya yang teguh, kepercayaan tulus jauh lebih penting ketimbang realitas materi—tetapi, untuk kemudahan, dia lebih suka menyediakan benda-benda asli selama mungkin. Namun, dia melihat tidak ada manfaat dalam kejujuran yang tak bertanggung jawab. Jika Biarawati Kepala sampai kehabisan cendera mata untuk ditawarkan, arus pengunjung akan berhenti, dan akibatnya demikian pula kehidupan sejumlah besar penduduk Desa Yamanaka. Sebagai pemimpin spiritual yang dipercaya masyarakat, secara sadar dia tidak bisa membiarkan itu terjadi.

Pekerjaan ini, yang telah dilakukan Biarawati Kepala selama bertahun-tahun, memiliki irama alami tersendiri, yang membebaskannya dari beban pikiran. Tangan kirinya memegang tabung bambu, tangan kanannya, secuil perkamen; matanya mengawasi kedua tangan, tabung bambu, dan kertas kuno itu; dia mendengar, tanpa berusaha menyimak, bunyi detak jantungnya, napasnya, suara anak-anak di kejauhan, tertawa; dia menutup tabung dengan sumbat bambu yang pas, cukup erat sehingga tidak terlepas dan menghilangkan isinya, tetapi tidak terlalu kuat sehingga menyulitkan jemaah untuk membuka dan memeriksa isinya sebelum memilih; dia meletakkannya di dalam kotak untuk tabung berisi serpihan perkamen. Kemudian, dia memulai proses itu lagi.

Tangan kirinya meraih tabung bambu, yang diambil dari rumpun bambu di samping kuil. Tangan kanannya menjumput serpihan perkamen, yang telah ditinggalkan di kuil oleh Lady Emily.

Jantung di dadanya mengeluarkan bunyi desih bagaikan makhluk laut berenang santai di air yang tenang.

Napasnya sangat ringan, melambat dan berhenti kemudian berlanjut lagi dengan iramanya sendiri.

Terdengar tawa anak lagi, lebih jauh sekarang, bergerak ke arah lembah. Biarawati Kepala menutup tabung dengan sumbat bambu yang pas.

Beberapa embusan napas, menit, atau jam berlalu seperti itu. Karena dia memulai proses baru dengan setiap tabung, dan tidak menyertai pekerjaanya dengan pikiran, dia tidak menyadari

berlalunya waktu. Hanya ketika dia menghentikan pekerjaannya untuk hari itu, dan melihat jumlah tabung, atau menangkap panjangnya bayang-bayang, atau terkadang ketiadaan cahaya yang nyaris total, barulah dia mengingat waktu. Kemudian, dia akan pergi ke bangsal meditasi untuk bersemadi sebelum tidur malarn,

Hari ini, Biarawati Kepala tidak sepenuhnya terserap dalam tugas kesukaannya. Dia terus memikirkan pengunjung tampan dengan aksen aneh itu, dan memikirkannya membuat dia juga memikirkan kunjungan Lady Emily dan Lady Hanako dahulu sekali. Dalam kejadian tragis dan menyedihkan itulah reruntuhan Kuil Mushindo dijadikan Biara Mushindo. Atau dijadikan biara lagi, kalau apa yang dikatakan kedua wanita itu kepada Kimi memang benar, bahwa Mushindo pada awalnya adalah sebuah biara yang dihuni biarawati, bukan kuil rahib. Sebuah biara yang didirikan hampir enam ratus tahun lalu. Betapa janggalnya kondisi yang telah membuat biara ini berdiri dalam kedua masa itu. Sulit untuk dipercaya, tetapi benar-benar menjelaskan salah satu misteri tempat ini, atau setidaknya menjelaskan kejadiannya, kalau tepatnya bukan keadaan.

Aliran kenangan dan spekulasi yang tiada akhir seperti ini biasanya mencegahnya tergelincir ke dalam kedamaian hampa yang biasanya menyertai pekerjaannya. Pemikiran, seperti diri kita sendiri, hanyalah gelembung-gelembung dalam aliran sungai, itu benar. Akan tetapi, ketika dia membiarkan diri sepenuhnya berfokus pada gelembung, aliran sungai tak mampu menghanyutkan- nya. Terkadang, yang paling tepat adalah berhenti mencoba. Dia mengembalikan perkamen, arang, dan peluru ke tempat penyimpanan, mengumpulkan tabung yang sudah terisi, dan pergi ke bangsal meditasi. Sebelum masuk, dia berhenti di meja yang memajang cendera mata suci secara terpilah, dan meletakkan tabung-tabung pada tempatnya masing-masing.

Malam adalah masa meditasi yang sama sekali tidak wajib bagi para biarawati Mushindo. Keikutsertaan dalam meditasi pagi dan tengah hari diharuskan karena tamu-tamu dari luar sering hadir. Meditasi, sebagian, merupakan sebuah peragaan cara hidup biara. Namun, pada malam hari, tidak ada tamu sehingga kegiatan itu tidak diperlukan. Dahulu, tak ada yang bermeditasi karenanya. Setelah bertahun-tahun berselang, ini sudah berubah, dan sekarang biarawati melakukan meditasi malam pula, setidaknya sebentar. Bahkan, mereka yang mempunyai keluarga di desa bermeditasi sebelum melepaskan jubah biaranya dan pulang.

Yasukolah orang pertama yang melakukan meditasi malam.

Katanya, "Jika aku tulus dan gigih, Buddha tentunya akan mengabulkan doa-doaku dan menyembuhkan cacatku. Bukankah begitu, Biarawati Kepala?"

Yasuko adalah gadis yang dahulu mencoba gantung diri ketika menjadi tawanan penjual budak di Yokohama, dan hanya berhasil merusak lehernya. Renjana hatinya adalah untuk kembali ke kampung halaman, menikah, mempunyai anak, dan menjalani hidup normal. Namun, tak ada yang menikahi wanita dengan kepala terkulai ke satu sisi yang membuatnya tampak begitu bodoh. Itulah sebabnya, dia sanat tekun beribadah di bangsal meditasi di setiap waktu senggangnya.

Buddha tak pernah menyembuhkan leher Yasuko, tetapi barangkali dia benar-benar mendengar doanya dan mengabulkannya dengan caranya sendiri, karena pada suatu hari, tiba-tiba saja, semua penderitaan, frustrasi, kemarahan, dan rasa benci dalam diri Yasuko lenyap, dan kedamaian yang lembut menyelimutinya.

"Biarawati Kepala," katanya, "aku ingin menyatakan sumpah suci."

Biarawati Kepala melakukan apa yang dapat diingatnya dari rangkaian upacara pengambilan sumpah yang dilakukan Rahib Zengen Tua terhadap Jimbo, ketika Jimbo menjadi pengikut Buddha. Satu-satunya bagian yang diyakininya benar adalah pengulangan Empat Sumpah Agung. Jadi, dia memerintahkan Yasuko dan semua penghuni biara lainnya mengulang sumpah itu sebanyak seratus delapan kali, berikut sujud di akhir setiap pengucapan.

Hamba bersumpah untuk:

Menyelamatkan jiwa manusia yang abadi—

Tanpa henti menjauhi nafsu, kemarahan, dan pandangan keliru yang muncul tiada henti— Membuka mata untuk jalan kebenaran yang tiada batas—

Mewujudkan Jalan Buddha yang penuh kebajikan.

Upacara itu menimbulkan masalah, yan terberat antara lain: menghabiskan waktu sepanjang pagi, menghilangkan suara dan menimbulkan kelelahan fisik, mendekati kadar berbahaya bagi seorang. Sejak saat itu, Biarawati Kepala memutuskan bahwa untuk, selanjutnya tiga kali pengulangan sudah cukup, dan membungkuk dapat menggantikan sujud. Bagaimanapun, bukankah yang menjadi kunci penyelamatan itu adalah ketulusan alih-alih bentuk upacaranya?

Meskipun tata caranya meragukan, upacara itu—seperti doa Yasuko—tampaknya tetap memberikan pengaruh, karena sejak saat itu, perilaku Yasuko konsisten dengan tujuan yang dinyatakannya. Dalam praktik-praktik agama, dia menjadi konsisten seperti Goro. Lambat laun, yang lain pun mengikuti teladannya.

Situasi yang sesungguhnya menggelikan ini tidak luput dari pengamatan Biarawati Kepala. Yang menjadi contoh spiritualis sejati di Mushindo adalah si idiot yang nyaris bisu dan si cacat

yang gagal membunuh diri. Namun, pada akhirnya, dia juga mulai melakukan meditasi sekalipun tidak diperlukan. demi para tamu.

Dengan diam-diam, dia mengambil tempat di antara para biarawati.

Setelah posisinya nyaman, dia memikirkan arang, peluru, dan perkamen yang tersisa, dan kapan mereka akan kehabisan cendera mata suci itu. Perkamen adalah yang paling kritis karena paling sulit menggantikannya dengan bahan baru. Secuil timah akan tampak mirip dengan timah lain, dan begitu pula kepingan arang. Akan tetapi, kesan kuno pada perkamen belum bisa ditirunya sejauh ini. Dia bertanya-tanya, bukan untuk pertama kalinya, juga bukan untuk terakhir kalinya, apakah perkamen itu benar-benar berasal dari kumpulan mantra Aki-no-Hashi, Jembatan Musim Gugur, yang ditulis oleh putri sihir, Lady Shizuka, pada masa lampau. Benar atau tidaknya bukan masalah. Yang penting adalah jumlahnya, bukan asalnya. Dan, itu bukan masalah yang harus dikhawatirkan sekarang. Mereka mendapatkan dua belas gulung perkamen pada mulanya, dan masih ada sembilan sekarang. Namun, tak ada salahnya untuk membuat perencanaan di depan. Dia memikirkan hal ini di awal meditasinya, bukan untuk mencari pemecahan, hanya mengemukakan dan kemudian mengesampingkannya.

Setelah itu, dia menyimak suara-suara Mushindo.

Ketika dia masih kecil, bunyi derak, rintihan, dan tangisan aneh membuat dia dan semua anak di desa ketakutan. Tempat ini berhantu, begitu kata mereka. Dengar. Itu adalah suara-suara jiwa dan setan yang disiksa. Ketika mereka mendengarkan, tampaknya tak ada keraguan bahwa mereka mendengarkan suara-suara supranatural. Namun, hanya jika mereka menyimak. Dan, tak peduli betapa saksama mereka mendengar, mereka tak pemah bisa memastikan apa yang dikatakan suara- suara itu. Yang tentu saja hanya menambahkan kegairahan dalam ketakutan mereka yang kekanak- kanakan. Jika mereka asyik dengan kesibukan lain, mereka tidak mendengar apa pun kecuali desir angin di pepohonan, pekikan burung-burung dan terkadang rubah, gelegak air sungai, dan suara- suara pencari kayu bakar yang saling memanggil di lembah-lembah yang jauh

Pada awal meditasinya, apa yang didengar Biarawati Kepala hanyalah bunyi-bunyian angin, binatang, air, dan suara-suara orang di kejauhan sebagaimana lazimnya, tetapi ketika napasaya melambat, dan perhatiannya menjadi terfokus, bunyi itu berubah menakutkan seperti yang dibayangkannya waktu kecil. Apakah itu hanya karena dia menyimak? Ataukah itu benar-benar suara para penghuni dunia lain yang memanggilnya, mengingatkamiyAaakan kefanaan kehidupan di dunia ini? Apakah selalu seperti itu, ataukah baru dimulai sejak kedatangan Lady Shizuka di

tempat ini, enam ratus tahun lalu? Dan jika demikian, bukankah itu berarti Lady Shizuka benar- benar seorang penenung? Atau, apakah bunyi-bunyian itu, baik nyata maupun khayalan, tak lebih dari kejanggalan tanpa arti di ambang meditasi?

Akhirnya, dia berhenti menduga-duga—apa gunanya tetap memikirkan hal-hal yang tidak mengarah pada sesuatu yang nyata?—dan terhanyut dengan mudah melalui himpitan pemikiran menuju ketenangan.

1291

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 158-164)