• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di Pegunungan Sebelah Barat Edo

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 116-120)

Biarawati Kepala

Mushindo, Jintoku, duduk berlutut di mimbar bangsal utama untuk

meditasi. Dia membungkuk rendah dan mempertahankan posisi itu selagi tamu-tamu hari ini dipandu memasuki bangsal oleh dua wanita muda yang mengenakan pakaian biarawati Buddha dari masa lalu, kepala mereka tertutup tudung dari kain cokelat kasar yang scsuai dengan jubah mereka. Biarawati Kepala berpakaian serupa, menghindari pakaian sutra yang lehih nyaman dan lebih mahal yang sebetulnya berhak disandangnya karena derajatnya. Dia dan pembantu- pembantunya memakai tudung karena mereka tidak menggunduli kepala sebagaimana biasanya biarawati Buddha. Biarawati Kepala mendapati bahwa biarawati dengan rambut lebat panjang indah menghasilkan sumbangan yang lebih sedikit ketimbang mereka yang tampak kekurangan. Karena dia sendiri tidak berhasrat mencukur kepalanya, dia tidak mau meminta pengikutnya melakukan hal itu. Metodologi-nya secara keseluruhan adalah memimphin dengan teladan. Itu satu-satunya jalan yang dengan nyata membangun ketulusan moral, dan ketulusan moral adalah dasar penting untuk otoritasnya di Biara Mushindo.

Ada 40 tamu hari ini, 41 kemarin, dan 37 kemarin lusa. Pakaian para tamu wanita merupakan campuran standar masa kini antara gaya Barat dan Jepang yang populer di kota-kota, kimono dengan topi Inggris dan sepatu Prancis, sekali-sekali dengan jas potongan Amerika sebagai pakaian luar. Para lelaki cenderung memilih satu arah, apakah sepenuhnya Barat, dari topi hingga sepatu bot, atau tetap bersikeras dengan Jepangnya, dalam kimono dan sandal kayu. Tak seorang pun memakai kain penutup gelungan rambut lagi, dan tak seorang pun membawa pedang. Keduanya dilarang. Dan, kalaupun masih diperbolehkan, siapa yang akan membawanya? Tak ada lagi samurai, dan hanya samurai yang diperbolehkan membawa pedang pada masa lalu.

BUKU KEDUA

2

mencetuskan gagasan untuk mengadakan tur terpandu keliling kuil. Untuk ini, dia perlu berterima kasih kepada pemerintahan kekaisaran baru. Lalu lintas ke kuil meningkat karena minat terhadap cara-cara kuno Jepang telah meningkat, bersamaan dengan kampanye modernisasi yang penuh semangat dari pemerintah. Sebetulnya, ini tidak seaneh awal kemunculannya. Sekalipun modernisasi berarti penerapan cara-cara Barat dalam industri, ilmu pengetahuan, perang, bentuk politik, dan pakaian, ia selalu disertai dengan kampanye yang sama gigihnya untuk mempertahankan tradisi budaya lama. Ilmu Pengetahuan Barat, Kebajikan Timur. Itulah slogan resminya. Namun, apakah semua orang tahu benar apa sebetulnya yang mewujudkan Kebajikan Timur itu?

Biarawati Kepala menyimpan keraguannya sendiri. Tradisi sejati tentunya bukan tradisi yang dijalani oleh rezim Shogun Tokugawa yang sekarang sudah digulingkan dan tidak dipercaya. Selama dua setengah abad, menurut pemerintah baru, Shogun telah membekukan masyarakat Jepang di tempat, mengarang semua aturan yang menipu untuk mempertahankan kontrol mereka, serta telah merampok, memenjara, menyiksa, memperbudak, mengasingkan, membunuh, atau menekan dan meneror mereka yang menentang. Taktik-taktik ini dinyatakan oleh pemerintah baru telah sepenuhnya dihilangkan. Tentu saja, tidak semua bentuk dan perilaku dari zaman itu dibuang begitu saja karena sebagian tradisi benar-benar terhormat dan merupakan peninggalan masa lalu yang hanya diserap dan digunakan oleh Shogun. Di samping menegosiasikan kesepakatan, membangun angkatan darat dan laut, menyita tanah dan kekayaan klan Tokugawa, dan dengan panik menulis hukum-hukum baru yang memuaskan tuntutan reformasi dari bangsa-bangsa Barat, pemerintah baru juga menentukan apa yang diakui sebagai tradisi dan apa yang tidak. Dalam pelaksanaannya, dua frasa muncul secara teratur dalam pengumumanpengumuman resmi.

Untuk selama-lamanya— Sejak dahulu kala—

Biarawati Kepala cukup tahu tentang kebohongan untuk menyadari kata-kata yang disusun dengan maksud menutupi alih-alih mencerahkan. Dia mencurigai kepura-puraan di balik pelestarian. Apakah benar lebih mudah mendapatkan kepatuhan dengan mengutip teladan leluhur ketimbang harus meyakinkan orang-orang untuk berinovasi dengan mengambil risiko? Bagaimanapun, dia bersyukur bahwa dalam mencanangkan Situs-Situs Bersejarah Nasional, pemerintah telah memasukkan Biara Mushindo. Ini tentu saja membantu membangun minat.

BUKU KEDUA

3

"Tamu-tamu yang kami hormati," kata Biarawati Kepala, "terima kasih sedalam-dalamnya kami sampaikan kepada Anda semua yang telah bersusah payah mengunjungi biara kami yang sederhana dan terpencil ini."

Mushindo memang sederhana, tetapi sebetulnya tidak lagi terpencil. Jalan raya baru antara Pantai Pasifik dan Laut Jepang melewati lembah di bawah sirna. Dan, sesungguhnya cukup mudah untuk mencapai kuil ini meskipun perjalanan ke sini dari pusat-pusat kota menimbulkan kesan ziarah yang dirasakan tamu ketika mengunjungi kuil-kuil yang lebih terkenal di dalam kota. Mengingat misi Mushindo, ini lebih menguntungkan ketimbang merugikan. Karena itu, Biarawati Kepala merasa tak ada salahnya menumbuhkan kesan keterpencilan.

"Dunia di luar sana berubah dengan cepat dan tanpa henti. Di sini, kami hidup menjauhi dunia selama enam ratus tahun, mengikuti Jalan Buddha."

Sebetulnya, Mushindo tidak terus-menerus dihuni selama kurun waktu itu, tetapi dia menganggapnya sebagai persoalan teknis saja. Sekali kuil selamanya tetap kuil.

"Di akhir tur, Anda dipersilakan bergabung bersama para biarawati untuk makan siang jika Anda mau. Makanan kami sangat sederhana yang terdiri dari bubur encer, sup kacang kedelai, dan acar sayuran."

Justru, makanan itu sama dengan makanan yang dimakan secara teratur oleh kebanyakan tamu itu pada masa yang belum lama sekali berlalu, ketika mereka pada umumnya adalah petani yang tidak punya hak, kepemilikan, atau nama keluarga. Dengan perubahan cepat, datanglah ingatan pendek.

"Anda akan dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok akan berkeliling di dalam kuil dahulu, kemudian di halaman. Kelompok kedua akan mengikuti urutan sebaliknya." Dia membungkuk lagi. "Silakan nikmati kunjungan Anda. Jika ada yang ingin Anda tanyakan, Anda bebas bertanya."

Biarawati Kepala menunggu sampai para tamu meninggalkan bangsal meditasi untuk memulai tur mereka. Kemudian, dia bangkit dan pergi ke daerah terpisah di luar benteng biara sebelah timur. Itu satu-satunya tempat di Mushindo yang benar-benar digunakan untuk praktik-praktik keagamaan, dan satu-satunya tempat yang tidak menjadi bagian tur. Biarawati Kepala membungkuk dengan hormat di pintu gerbang sebelum memasuki tempat tinggal pengurusnya.

Seperti biasa, pada waktu yang sama setiap harinya, dia sedang merawat kebunnya. Biarawati Kepala secara pribadi menyebutnya sebagai "Dia yang Suci"— awalnya sebagai gurauan,

BUKU KEDUA

4

belakangan, dengan sangat serius, yang membuatnya terkejut sendiri. Dia yang Suci sangat mudah ditebak. Dia mengikuti, tanpa penyimpangan dan tanpa kesalahan, jadwal yang disusun oleh rahib asing Jimbo lebih dari dua puluh tahun lalu.

Enam jam meditasi sebelum matahari terbit diikuti semangkuk bubur encer dan sebatang acar sayuran, nutrisi tunggalnya untuk seharian. Bagaimana seorang pria yang luar biasa besar bisa bertahan dengan makanan yang luar biasa sedikit masih merupakan misteri. Bagaimanapun, dia bertahan. Sisa pagi dia lewatkan di kebun, dan di sanalah dia sekarang, menyiangi rumput, dengan lembut menyingkirkan serangga tanpa melukai mereka, menyapu daun-daun kering dan membungkuk kepada mereka sebelum menumpahkannya pada tumpukan kompos, kemudian memetik sayur-mayur untuk dimakan dan disimpan. Setelah dua jam meditasi tengah hari di pondoknya, Dia yang Suci menghabiskan sorenya untuk membersihkan halaman biara lainnya dan memperbaiki apa pun yang perlu diperbaiki pada bangunan, benteng, dan jalan. Kemudian, sebe- lum membasuh diri pada malam hari, dia pergi ke gerbang terluar biara dan membagikan permen dan kue-kue manis yang telah dia buat sebelumnya kepada anak-anak Desa Yamanaka. Bagi anak- anak kampung tetangga itu, dia adalah orang yang paling disukai. Mereka barangkali takjub bahwa seseorang yang begitu besar bisa begitu sabar dan lembut.

Dia sabar dan lembut kepada anak-anak karena Jimbo dahulu juga sabar dan lembut kepada mereka, dan dia mengikuti teladan Jimbo dalam segala hal. Akan tetapi, Jimbo tidak membuat permen dan kue manis. Dia yang Suci telah mempelajari keterampilan itu entah bagaimana ketika dia berkeliaran selama berminggu-minggu dua puluh tahun yang lalu. Itu sebelum Biarawati Kepala menjadi Biarawati Kepala, sebelum dia menjadi Dia yang Suci, sebelum Mushindo menjadi biara, dan sebelum para bangsawan agung dari Jepang Barat menggulingkan Shogun Tokugawa.

"Kebunmu indah," kata Biarawati Kepala. Dia selalu mengajaknya bercakap-cakap kapan pun dia sempat, lebih karena kebiasaan ketimbang pengharapan bahwa Dia yang Suci akan menjawab dengan cara yang lain daripada biasanya. "Ajaib sekali sayuran dan bunga-bunga dapat tumbuh baik padahal kau begitu hati-hati agar tidak melukai hama yang merusak mereka."

Dia yang Suci mendongak memandangnya dan tersenyum, atau tepatnya, tersenyum lebih lebar karena hampir selalu ada senyum di wajahnya. Kemudian, dia mengucapkan sebuah kata, salah satu dari dua kata saja yang membentuk seluruh kosakatanya.

BUKU KEDUA

5

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 116-120)