• Tidak ada hasil yang ditemukan

1867, Istana Bangau yang Tenang

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 58-69)

"Kulihat kau bekerja keras seperti biasanya," kata Genji.

Emily begitu asyik dengan bacaannya sehingga dia tidak menyadari kemunculan Genji di ambang pintu. Dia yakin Genji sudah berdiri di sana untuk beberapa saat, memerhatikannya, sebelum berbicara.

"Tidak cukup keras," katanya, menggulung perkamen dengan sesantai mungkin. Intuisi perempuannya membisikinya bahwa lebih baik, setidak-ya untuk sementara waktu, dia tidak mengungkapkan perbedaan jenis perkamen yang baru tiba.

Penampilan Genji sudah mengalami sedikit perubahan selama enam tahun sejak mereka bertemu. Di samping luka-luka serius yang dideritanya dalam perang, dia merasakan tekanan besar dari kepemimpinan politik pada masa-masa krisis yang nyaris tanpa akhir, dan jaringan rumit persekongkolan kawan dan lawan yang melibatkan Kaisar di Kyoto, Shogun di Edo, dan komandan-komandan perang yang memberontak di barat dan utara Jepang. Belum lagi kemungkinan campur tangan asing yang harus dikhawatirkan, dengan angkatan laut Inggris, Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat yang selalu muncul di perairan Jepang. Jika semua itu belum cukup rumit, ada lagi yang harus

diperhitungkan, Kawakami Saemon.

Saemon adalah putra mantan musuh besar Genji, Kawakami Eiichi, yang pada saat kematiannya—di bawah pedang Genji—masih menjabat Kepala Polisi Rahasia Shogun. Saemon adalah putra sulung Kawakami, dari seorang selir yang tidak penting, bukan dari seorang istri, dan diduga membenci ayahnya. Ketika dia dan Genji bertemu tak lama setelah insiden nahas itu, dia menunjukkan setiap isyara pertemanan. Lebih jauh, dia dan Genji berada di pihak yang sama tentang restorasi. Mereka berdua. mendukung penghancuran pemerintahan Shogun dan pengembalian kekuasaan ke tangan Kaisar setelah seribu tahun mengalami keredupan politis. Genji tampaknya memercayai laki-laki itu. Emily tidak.

Dia terlalu mirip ayahnya dalam dua hal. Pertama adalah dalam penampilan. Dia tampan dan bangga akan dirinya, dan Emily sulit memercayai laki-laki ayng mementingkan penampilan secara berlebihan. Kedua, lebih banyak berbicara daripada ber- buat. Dia selalu memberi Emily kesan tidak pernah bersungguh-sungguh dalam setiap perkataannya, dan tidak pernah menyatakan maksudnya yang sebenarnya. Dia tidak berbohong. Akan tetapi, yang diberikannya lebih berupa kesan—kelicinan, kedangkalan, dan kecendeungan arah pengkhianatan—daripada fajta yang dapat dipastikan. Barangkali, hanya keadaanlah yang membuat Emily meragukannya. Dia tidak dapat mencegah dirinya bertanya-tanya mungkinkah seorang putra sungguh-sungguh memiliki perasaan simpati kepada pria yang membunuh ayahnya.

Dia membalas senyum Genji dengan senyum. Senyum Genji tampak tanpa beban seperti biasa, dan dia masih tampak seperti bangsawan yang tidak memiliki kekhawatiran di luar lokasi hiburan malam. Suatu penampilan yang telah menipu musuh-musuhnya untuk menganggap remeh dirinya, dan kesalahan itu harus dibayar mahal dengan nyawa mereka. Pertumpahan darah tampaknya terjadi dengan kekerapan meresahkan di sekitar Genji, dan menjadi satu faktor lagi yang telah meyakinkan Emily bahwa waktunya untuk meninggalkan Jepang sudah tiba.

Dia belum memberi tahu Genji tentang lamaran-lamaran pernikahan yang diterimanya, juga tidak memberikan petunjuk apa pun tentang keputusannya untuk pergi. Dia takut jika dia memberi tahu Genji sebelum waktunya, Genji akan mengatakan atau melakukan sesuatu yang akan menghancurkan tekadnya yang rapuh. Cinta memaksanya

untuk pergi, tetapi cinta pula yang dapat dengan mudah mencegahnya melakukan itu. Dia aman selama Genji tidak membalas perasaannya. Hidup ini menyakitkan, tetapi rasa sakitnya dapat dia tahan. Setidaknya; dia bersamanya.

Kemudian, mawar-mawar itu mulai muncul.? Apakah artinya itu selain bahwa Genji mulai memupuk perasaan terhadapnya, perasaan serupa yang telah lama dipendamnya untuk pria itu? Nasibnya sendiri tidak dicemaskannya. Dia rela melakukan, dosa apa pun, menjalani hukuman apa pun, untuk sungguh-sungguh bersamanya, selama kehadirannya membantu Genji di jalan menuju kebenaran Kristen. Yang paling tidak diingininya adalah menjadi alat untuk melukai Genji. Jika dia mengikuti perasaannya, masalah tanpa akhir akan menimpa Genji, baik di antara masyarakatnya sendiri maupun di antara orang-orang Barat yang akan menentang gagasan seorang Timur, bangsawan atau bukan, beristrikan wanita kulit putih. Usaha Genji untuk memasukkan Jepang ke dalam keluarga bangsa- bangsa beradab akan terancam. Itu pun bisa diabaikannya, jika dia yakin bahwa semua itu adalah bagian dari harga yang harus dibayarnya untuk penyelamatan jiwa abadi Genji. Itu menjadi dilemanya. Apakah memiliki dirinya akan membantu menyelamatkan Genji, atau mendorong pria itu selangkah lagi kea rah siksaan abadi?

"Kulihat pengagum gelap itu telah membawakan mawar hariannya untukmu," kata Genji.

"Dia pasti dapat bergerak seperti siluman," kata Emily. "Tak seorang pun pernah melihatnya, dia juga tak pernah meninggalkan petunjuk samar sekalipun tentang siapa dirinya." Emily tahu dia harus berhenti di situ, tetapi dia tidak sanggup, dan menambahkan, "Perbuatannya tidak kesatria."

"Menurut pemahamanku, tanda cinta tanpa nama seperti itu dianggap sangat wajar di Barat. Apakah aku salah?"

"Tanpa nama dalam jangka waktu tertentu, barangkali. Tetapi, enam bulan agaknya dapat mengubah perasaan tersanjung menjadi terganggu."

"Bagaimana bisa demikian?"

"Orang mulai bertanya-tanya mengapa ini berlangsung begitu lama tanpa tanda-tanda identitas. Mungkinkah, barangkali, ada motivasi yang tidak sepenuhnya sehat?"

"Barangkali, untuk alasan yang baik, pengagummu tidak dapat menyatakan dirinya secara terbuka," kata Genji. "Barangkali mengagumimu, tanpa kemungkinan untuk lebih

dari itu, adalah yang paling bisa diharapkannya."

Sebelum Emily dapat menahan dirinya, dia berkata, "Jika demikian, perilakunya itu pengecut."

Genji tersenyum. "Keberanian berlebihan, dalam keadaan yang salah, di tempat yang salah, dan pada waktu yang salah, dapat menimbulkan konsekuensi yang jauh lebih buruk daripada kepengecutan."

"Kedengarannya seperti sangat bertentangan dengan apa yang akan dikatakan kebanyakan samurai," kata Emily, kemudian menambahkan dengan tekanan, "Lord Genji."

"Ya, memang begitu, bukan? Barangkali, kelak aku harus menyerahkan kedua pedangku dan ikatan rambutku."

"Tetapi tidak hari ini," kata Emily. "Tidak, tidak hari ini."

Emily berdiri dan berpura-pura mengamati langit. Jika dia mendorong Genji ke arah pernyataan terbuka, apa pun pemyataannya, jalannya akan jauh lebih jelas. Apakah cinta telah menyebabkan dia salah mengartikan apa yang tak melebihi penghormat seorang teman dari Genji? Jika demikian, krisis romantis ini hanyalah khayalan, dan ada di benak- nya sendiri.

Emily berkata, "Mungkin akan turun hujan. Kita makan siang di dalam saja?" "Terserah engkau."

Emily telah menyiapkan variasi dari roti lapis mentimun, yang baru-baru ini ditirunya untuk pertama kalinya di kedutaan Inggris. Dia mendapati kombinasi irisan sayuran, diolesi dengan saus buatanya sendiri dari kuning telur kocok dan krim, sangat menyegarkan dalam kelembapan di awal musimgugu Edo. Genji tidak seperti biasanya sa- ngat pendiam sepanjang makan malam, yang berarti bahwa dia berusaha keras agar tidak memuntahkan makanan yang ternyata menjijikkannya, atau dia masih berpikir tentang mawar tanpa nama itu. Untuk lebih amannya. Dia memutuskan menyingkirkan roti lapis mentimun dari menu pada masa mendatang.

Sejauh ini, usahanya untuk memperluas diet Genji dengan memasukkan lebih banyak makanan Barat telah gagal total. Diakuinya, dia tidak lebih berhasil dalam menyesuaikan diri dengan makanan Jepang. Sebagian besar makanan itu mengandung makhluk-makhluk laut yang aneh, sering dalam keadaan mentah yang diiris langsung dari binatang. Pikiran

tentang itu saja telah menodai rasa mentimun di dalam mulutnya. Dia harus berjuang mengatasi gelombang rasa mual agar dapat menelan, dan segera mendorongnya dengan teh.

"Ada yang tidak beres?" tanya Genji.

"Tidak sama sekali," sahut Emily, meletakkan rotinya. "Aku hanya tidak begitu lapar sekarang."

"Aku juga," kata Genji, jelas sekali tampak lega mengikuti contohnya.

Mereka berdua kemudian terdiam untuk beberapa lama. Emily mencoba membayangkan apa yang mungkin dipikirkan Genji. Barangkali, laki-laki itu juga melakukan yang sama tentang dirinya. Suatu pemikiran yang membuatnya senang, dan sudah pasti hanya khayalannya. Tak ada gunanya berkhayal seperti itu. Dia mengalihkan perhatiannya pada hal lain, sesuatu yang mungkin lebih terbuka terhadap pertanyaan.

Emily berkata, "Aku punya pertanyaan tentang perkamen Suzume-no-kumo. Hanya karena ingin tahu, bukan masalah yang berhubungan dengan terjemahan. Apakah yang dianggap sebagai pertanda masa depan itu selalu disampaikan lewat mimpi?"

"Kau telah membaca ramalan-ramalan berusia beberapa ratus tahun, banyak di antaranya sudah terbukti terjadi, dan kau masih bisa menyebutnya sebagai 'anggapan'?"

"Seperti yang telah kukatakan berkali-kali, hanya para Rasul dari Perjanjian Lama— " "—yang mampu melihat masa depan," kata Genji menyelesaikan pernyataannya. "Ya, kau memang telah mengatakan itu berkali-kali. Aku tidak mengerti bagaimana kau mendamaikan kepercayaan itu dengan apa yang telah kaubaca di perkamen."

"Jika Anda memilih untuk tidak menjawab pertanyaanku, katakan saja," kata Emily, terdengar lebih kesal daripada yang dikehendakinya.

"Mengapa aku harus memilih seperti itu? Jawabannya adalah ya. Setiap kilasan masa depan selalu muncul lewat mimpi."

"Tak pernah dibawa oleh seorang pengunjung tak terduga?"

"Seorang pengunjung?" Ini mungkin pertama kalinya Emily melihat Genji tampak bingung.

"Ya," sahutnya. "Barangkali seorang pembawa pesan." "Pembawa mana yang tahu tentang masa depan?"

bagaimana diartikan secara khusus oleh sang pelihat masa depan."

"Aku telah membaca keseluruhan Suzume-no-kumo beberapa kali," kata Genji, "dan pembawa pesan tak pernah disebut-sebut."

"Anda benar, aku yakin," kata Emily. "Aku akan memeriksa lagi dengan kamus."

Langkah-langkah cepat mendekati pintu mereka. Itu selalu merupakan tanda-tanda masalah.

Kepala pengawal Genji, Hide, muncul dan membungkuk. "Tuanku, telah terjadi lagi serangan terhadap orang asing, bangsa Inggris."

"Korban tewas?"

"Tidak ada di antara orang asing. Mereka bersenjata pistol. Lima samurai Yoshino terbunuh. Bagaimanapun, Duta Besar Inggris sudah mengajukan protes resmi, baik kepada Shogun maupun Bangsawan Agung Yoshino."

"Betapa tololnya. Apakah mereka tidak pernah belajar? Kupikir, Lord Saemon telah membujuknya untuk menahan diri sampai seluruh dewan penasihat bertemu."

"Tampaknya tidak."

"Kau masih ragu bahwa Lord Saemon dapat dipercaya."

"Tidak, Tuanku, saya tidak merasa ragu sama sekali," sahut Hide. "Saya yakin dia tidak dapat dipercaya."

"Dengan dasar apa kau sampai pada kesimpulan itu?"

"Dia putra Kawakami si Mata Licik." Gerakan mulut Hide ketika menyebutkan nama itu sama seperti jika dia meludahkannya kalau bisa. "Tidak mungkin anak seorang ayah seperti itu bisa menjadi laki-laki dengan kata-kata bermakna."

"Kita harus belajar keluar dari pemikiran seperti itu," kata Genji. "Jika Jepang ingin diterima di antara para Adidaya dunia, ia harus meninggalkan penekanan berlebihan pada garis keturunan dan berkonsentrasi pada keunggulan individual. Para putra tidak boleh secara otomatis dinyatakan bersalah karena perbuatan ayah mereka."

"Baik, Tuanku," kata Hide, sama sekali tanpa keyakinan. Enam tahun lalu, dia adalah salah seorang yang berhasil selamat dari jebakan Kawakami yang berkhianat di Kuil Mushindo. Karena pelatihan dan kecederungan, Hide adalah seorang samurai yang setia terhadap tradisi. Balas dendam adalah satu-satunya motivasi yang dapat dipahaminya

benar, dan dia mengasumsikan semua samurai adalah sama—kecuali Lord Genji, yang dipandang Hide sebagai nabi yang unik dan menimbulkan ketaktziman tiada banding.

"Kita sebaiknya menemui Lord Saemon," kata Genji kepada Hide. "Kita harus bertindak cepat untuk mencegah situasi semakin tidak terkendali. Para samurai berangasan itu mungkin memutuskan sekarang adalah waktu yang tepat untuk memulai perang terhadap bangsa asing."

"Baik, Tuanku. Saya akan mengumpulkan pengawal." "Tidak perlu. Sudah cukup jika kau menemaniku."

"Tuanku," Hide mulai memprotes, tetapi Genji menghentikannya.

"Kita harus menunjukkan kepercayaan diri. Pada masa kini, tidak adanya kepercayaan diri lebih berbahaya daripada tidak ada pengawal." Genji beralih kepada Emily dan berkata dengan bahasa Inggris. "Kau mengerti?"

"Bagian-bagian yang penting, ya," sahut Emily, "Kumohon, berhati-hatilah." "Selalu," kata Genji, tersenyum. Dia membungkuk dan pergi.

Emily kembali pada perkamen baru dan menerjemahkan paragraf pembuka kata demi kata dengan kamusnya. Tak ada keraguan lagi bahwa di sana dinyatakan, Lord Narihira mengetahui dari sang pengunjung bahwa kedatangan American Beauty d Kastel Awan Burung Gereja akan mengisyarathan kemenangan akhir Klan Ohumichi. Kehadiran kata Amerikalah yang telah membangkitkan minatnya seja pertama kali membaca. Namun, setelah Genji bersikukuh bahwa pertanda hanya muncul dalam mimpi kata pengunjung menjadi lebih menarik. Mereka yang datang ke Istana Bangau yang Tenang untuk menemui Genji disebut sebagai okyahu-sama, yang berarti "tamu". Namun, penulis perkamen ini telah menggunakan h-o monsha. Emily akan menerjemahkannya sebagai "pengunjung". Namun, secara harfiah, h-o monsha berarti, "orang yang menyeru kepada yang lain."

Perbedaan lain antara kedua istilah itu tiba-tiba disadari Emily dan, untuk alasan yang tidak dapat dijelaskan, membuatnya merinding.

Seorang tamu itu diundang, atau setidaknya diharapkan. Seorang pengunjung belum tentu diundang atau diharapkan.

Sepanjang rangkaian pertemuannya dengan majelis permusyawaratan yang beranggotakan para bangsawan agung dari pelbagai wilayah, pikiran Genji se1alu tergelincir kembali kepada Emily.

Tentu saja, dialah yang setiap hari meninggalkan mawar untuk Emily. Meskipun tak ada pembicaraan apa-apa, dia menduga Emily tahu bahwa dia menyadari perasaan wanita itu. Pasti Emily percaya bahwa dia hanya memiliki perasaan persahabatan terhadapnya dan tidak lebih dari itu. Semua perilakunya adalah perilaku seorang teman. Apakah dia telah menduga-duga terlalu jauh? Kalau saja Emily seorang wanita Jepang, dia akan yakin sepenuhnya dengan dugaannya. Akan tetapi, Emily sudah jelas bukan orang Jepang, jadi tidak ada yang bisa diyakininya. Yah, nyaris tidak ada. Dia tahu Emily mencintainya. Tidak seperti Genji, Emily sama sekali tak mampu menyamarkan perasaannya secara me- yakinkan.

Namun, sandiwaranya tidak bisa berlanjut terus-menerus. Hari ini, ketika mereka makan siang bersama, hasratnya telah terbangkitkan hanya oleh pemandangan Emily sedang makan-gerakan mulutnya, cara tangannya yang anggun memegang roti, bagaimana mulutnya membuka sesaat sebelum pinggiran cangkir menyentuhnya. Jika perbuatan se- biasa itu sudah sedemikian menggairahkannya sampai dia tidak bisa berbicara, jelas bahwa dia telah mencapai batas kendali dirinya.

Perasaannya, jika diketahui oleh Emily, tak urung akan membuat Emily tidak perlu lagi menahan ekspresi perasaannya sendiri. Ini akan berakhir, menurut pertanda yang telah diterimanya, pada kehancuran dini dirinya. Dalam mimpi itu, Genji telah melihat pertanda tentang kematian Emily ketika melahirkan. Wanita itu akan menjamin kelangsungan klannya, tetapi dengan melakukan itu, dia akan mati. Genji tidak bisa menerimanya. Dia menolak menganggap pertanda sebagai keniscayaan, seperti setiap pertanda yang telah diterima kakeknya, melainkan sebagai sebuah peringatan. Kakeknya telah menerima nasib tepat seperti gambaran masa depan yang dilihatnya. Genji memilih untuk meyakini per. tandanya hanya merupakan peringatan. Jadi, dia mempertimbangkan peringatan itu. Dia tidak akan membiarkan dirinya mendekati Emily lebih dari sekedar pura-pura menjadi pengagum rahasia.

Emily tak lama lagi akan menerima lamaran pernikahan, baik dari Letnan Farrington, atase angkatan laut Amerika, maupun Charles Smith, petani tebu dan peternak dari

Kerajaan Hawaii. Emily tidak tahu bahwa Genji mengetahui hal ini. Dia tidak tahu bahwa Genji mendekati kedua pria itu justru karena melihat keduanya cocok untuk menjadi suaminya. Genji tahu, pada saatnya mereka akan terpukau oleh Emily karena, dengan kedatangan orang asing yang semakin banyak, Genji telah mengetahui bahwa Emily dianggap memiliki kecantikan luar biasa oleh mereka, bertolak belakang dengan pengaruhnya terhadap orang-orang Jepang. Betapa anehnya situasi ini. Setelah Genji mencintainya tanpa peduli paras dan rupanya, justru paras dan rupanya inilah yang mampu membuat Emily melupakan cintanya kepada Genji. Pemikiran bahwa dia tak akan pernah melihat lagi Emily, sekalipun sebagai teman, menimbulkan siksaan pedih, tetapi dia akan memilih itu daripada menjadi alat untuk kematiannya.

"Apakah Anda setuju, Lord Genji?" tanya Lord Saemon.

Dia tidak mungkin mengakui bahwa dia tidak mendengar apa-apa karena itu akan sangat menghina Saemon, dan juga mempermalukan dirinya. Dia bepura-pura perlu mendengarkan lebih banyak pendapat sebelum sampai pada pendapatnya sendiri, dan dengan demikian dia berhasil menghindarkan penghinaan dan rasa malu. Sulit baginya, tetapi selama sisa pertemuan itu, dia memaksa dirinya untuk tidak lagi memikirkan Emily.

Saemon memahami bahwa Genji terganggu oleh pemikiran lain, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mengetahuinya. Ketika pertemuan itu selesai, dia berterima kasih kepada Genji untuk komentarnya yang bijaksana tentang krisis saat ini, meminta maaf atas ketidakmampuannya mengendalikan Bangsawan Agung Yoshino yang sembrono, dan segera bergerak untuk melaksanakan keputusan majelis permusyawaratan yang telah dipercayakan kepadanya.

Untuk sementara ini, dia merahasiakan pemikirannya sendiri. Lagi pula, siapa lagi yang bisa dipercaya sepenuhnya, atau yang memiliki penilaian telah terbukti begitu bijak sehingga nyaris seperti dewa dari waktu ke waktu? Inilah pelajaran yang telah dikenyamnya dengan baik dari ayahnya, almarhum Lord Kawakami, laki-laki paling licik dan penuh tipu daya yang pernah memimpin organ yang paling ditakuti dari pemerintahan Shogun, polisi rahasia.

"Jangan percaya kepada siapa pun di sekitarmu," Lord Kawakami pernah berkata, "tak pedull betapa baiknya kau mengira mengenal mereka."

Dia mengharapkan ayahnya menanggapinya dengan canda, tetapi keseriusannya tak pernah tergoyahkan.

Lord Kawakami berkata, "Maka pandang dirimu dengan kewaspadaan dan kecurigaan, pertanyakan motivasi, kaji pergaulan, carilah jalan-jalan potensial untuk pengkhianatan. Jika kau menemukannya sebelum musuhmu, kau dapat menutupinya, atau lebih baik lagi, jadikan sebagai umpan jebakan, dan kau akan mendapatkan keuntungan lebih banyak dari apa yang dilihat orang lain sebagai kelemahan."

Saemon sendiri adalah jebakan hidup. Kawakami telah mengatur segalanya sehingga semua orang percaya putranya membenci dirinya. Sebagai putra sulung Saemon wajar berharap menjadi ahli waris Kawakami, dan kelak menjadi penggantinya sebagai Bangsawan Agung Hino. Sebetulnya, gelar itu tidak terlalu berarti karena Hino adalah wilayah terkecil dan paling tidak penting di antara 260 wilayah di Jepang, tetapi menjadi seorang bangsawan agung berarti memperoleh penghargaan penting berupa martabat dan kehormatan. Ini tidak akan terjadi karena Saemon dikatakan sebagai anak selir yang tidak penting, bukan istri Kawakami. Saemon dibesarkan di istana kecil di daerah pinggiran, lebih menyerupai pertanian terhormat daripada istana, dan tidak menenerima limpahan kemanjaan dan kemewahan seperti yang diperoleh saudara-saudara "tiri"-nya. di kastel utama. Anak seperti itu tentu akan membenci ayahnya.

Saemon, tentu saja, bukanlah anak selir itu, melainkan putra sulung istri Kawakami. Sejak lahir, Saemon menjadi bagian dari sebuah rencana penipuan. Dia tumbuh dan terkenal karena perasaan bencinya terhadap ayahnya. Dengan perasaan yang benar-benar wajar itu, dia dapat menjadi anggota pelbagai kelompok anti-Shogun. Rencana itu sangat pintar, barangkali bahkan cemerlang, sesuai dengan gaya khas ayahnya. Satu-satunya cacatnya adalah kebencian pura-pura Saemon mencapai kesempur naan yang tidak diantisipasi Kawakami.

Sang putra sungguh-sungguh membenci ayahnya. Dan alasan untuk ini, juga benar- benar wajar.

Akibat rencana licik jangka panjang yang di dalamnya dia memainkan peran utama di luar kehendaknya, Saemon tidak dibesarkan oleh ibunya yan berdarah bangsawan, berhati mulia dan penuh kasih di istana yang seharusnya dia warisi. Alih-alih, di diserahkan ke tangan seorang selir yang secara fisik sangat cantik tetapi malas, tak acuh, dan sama sekali

tidak tertarik kepadanya. Untuk membungkam tangisan si anak, wanita itu menghukumnya dengan perlakuan-perlakuan seksual yang paling menyimpang, yang dalam pandangan Saemon kelak, menjadi penghancur perilaku normalnya untuk selamanya.

Pada usia enam belas tahun, dia meracuni wanita itu dengan racun Cina yang bereaksi lambat dan sangat menyakitkan. Menurutnya, hukuman itu sama sekali tidak setimpal, meskipun dari waktu ke waktu, dia masih mengenangnya dengan kepuasan bagaimana wanita itu perlu waktu sebulan penuh untuk mati, pada bulan yang disinari purnama sem- purna musim gugur, dan dalam usia dua puluh tahun yang singkat. Pada akhirna, tak ada sebersit pun kecantikannya tersisa, dan apa yang menjadi cirinya yang paling menarik, keharuman seksualnya yang memabukkan, telah membusuk menjadi bau yang begitu

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 58-69)