• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kastel Awu.n Burung Gereja

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 104-112)

Taro duduk di sebuah ruangan yang menghadap taman mawar di halaman tengah kastel. Para pelayan sudah menyajikan pelbagai makanan, yang sepenuhnya dia abaikan. Sibuk dengan pemikirannya, dia telah melupakan si arsitek, Tsuda, yang duduk di seberangnya, sampai dia melihat tatapan ketakutan pada wajah lelaki itu. Mereka sudah duduk dalam kebisuan selama setengah jam. Selama itu, pikiran Taro pasti telah menegaskan kekerasan alami di wajahnya.

Lebih untuk menghilangkan ketakutan lelaki itu ketimbang memberinya informasi apa pun, Taro berkata, "Lady Hanako dan Lady Emily sedang berada di menara. Kau akan menunggu mereka di sini."

Dia bangkit untuk pergi. Dia akan mengendarai kudanya ke tanjung sendirian dan mencoba menertibkan pikirannya.

"Baik, Lord Taro."

BUKU KEDUA

32

pertemuan ini diadakan. Para wanita itu dan Taro, yang ditemani sekelompok samurai, telah tiba pagi ini dengan kapal dari Edo, tanpa peringatan sama sekali. Tentu saja, reaksi pertama Tsuda adalah ketakutan. Ada alasan apa bagi seorang bangsawan tinggi seperti Taro untuk muncul begitu mendadak? Kehadiran para samurai bersamanya, dua puluh laki-laki yang sangat galak dan tanpa humor, membuatnya membayangkan serangkaian hukuman, termasuk hukuman mati. Barangkali, Lord Genji tidak senang dengan kelambatan pembangunan ini, atau biaya yang semakin besar, atau bahkan rancangannya meskipun dia sendiri telah menyetujuinya denyan antusias. Para bangsawan agung memang sangat mudah berubah, dan ketika mereka berubah, konsekuensinya jatuh pada orang lain. Taro tidak rnemberinya informasi apa pun. Meskipun terlalu beresiko untuk mengajak seorang bangsawan bercakap-cakap, Tsuda pikir sebaiknya meraba-raba sedikit dan mencoba menyaring petunjuk.

Tsuda berkata, "Apakah Lord Genji membayangkan untuk membangun ulang menara, Tuan?"

Taro mengerutkan keningnya kepada lelaki itu. Pernyataannya telah melampaui kepantasan.

"Mengapa dia melakukan itu?"

Tatapan galaknya menghancurkan saraf Tsuda yang sudah terlalu tegang. Dia mulai mengoceh bingung.

"Saya pikir, barangkali, hanya karena Lady Hanako dan Lady Emily ada di menara, Tuan, dan pembangunan yang sekarang ini diilhami oleh Lady Emily—"

Jadi—Jadi apa? Keringat panas tiba-tiba membasahi pakaian dalam Tsuda. Setidaknya, dia berharap itu keringat. Air seni menguarkan bau yang lebih jelas, dan kalau itu air seni, dan tentunya sudah terserap ke dalam tikar—Oh, Buddha Pengasih yang Agung, lindungi aku! Mengapa pula aku berbicara tadi? Dia sudah hendak pergi dan seperti orang bodoh aku berbicara. Pemikiran-pemikirannya saling bertabrakan seperti itu, tak ada kata-kata lagi yang mampu keluar dari mulutnya. Dia merasa air mata sudah menggenangi matanya. Kalau perilakunya sejauh ini belum cukup membuka rahasianya, sesaat lagi dia pasti akan menangis tanpa terkendali dan membangkitkan kecurigaan, yang akan mengarah pada interogasi, kemudian tak ayal lagi, siksaan paling menyakitkan, melumpuhkan dan merusak!

BUKU KEDUA

33

barangkali, tetapi tak lebih dari dua ryo! Dia akan mengembalikannya! Apa yang mendorongnya mengenakan biaya lebih pada Lord Genji? Dia pasti sudah gila Hanya karena Bangsawan Agung itu tidak ada di sini selama pembangunan tidak berarti mata-matanya yang banyak itu tidak mengawasinya. Akuilah sekarang!

"Kau berpikir terlalu banyak, Tsuda," kata Taro. "Berpikirlah ketika kau diperintahkan berpikir. Kalau tidak, lakukan saja apa yang diperintahkan kepadamu. Lady Hanako dan Lady Emily akan mengajukan pertanyaan kepadamu. Jawablah mereka. Hanya itu. Kau mengerti?"

Tsuda membenamkan wajahnya pada tikar. Untuk membungkuk lebih dalam lagi, dia harus menembus anyaman jerami itu dengan dahinya. Dia merasakan kelegaan luar bisaa, sekarang ada bahaya lebih nyata bahwa dia akan terkencing-kencing denigan spontan, kalaulah itu belum dilakukannya tadi.

"Terima kasih, Lord Taro," kata Tsuda. "Terima kasih banyak. Saya akan melaksanakannya tanpa kegagalan." Dia tidak mengangkat kepalanya sampai Taro telah lama pergi.

Sambil menunggu kedua wanita itu, dia merenungkan reaksinya dengan lebih tenang. Dia sampai pada kesimpulan bahwa dia tidak melakukan kesalahan. Hanya secara teknis, dia memang telah melakukan penipuan, yang sebagaimana semua kejahatan lain terhadap bangsawan agung, dapat dikenai hukuman dengan siksaan dan kematian. Apakah dia bersalah tidak menyukai harga rendah yang tak masuk akal dan telah dipaksakan kepadanya sampai- sampai dia nyaris terpaksa mencuri untuk mendapatkan keuntungan layak? Apakah salah bahwa dia merasakan ketakutan amat-sangat, atau apakah kesalahan ada pada dirinya, jika dia telah dibuat merasa ketakutan oleh kekuatan tak terperi yang dimiliki para bangsawan agung khususnya, dan semua samurai pada umumnya? Bagaimana Jepang akan bisa maju dan keluar dari keterbelakangan yang memerangkapnya kecuali iblis-iblis semacam itu disingkirkan? Para samurai selalu membenarkan eksistensi mereka sebagai pelindung bangsa ini. Akan tetapi, kedatangan orang asing dengan kekuatan sedikit lebih besar ketimbang sepuluh tahun lalu membuktikan kebohongannya, bukan? Para kesatria besar itu bahkan tidak bisa mengusir orang-orang Belanda atau Portugis, yang Tsuda tahu hanyalah penduduk negeri-negeri sangat kecil di Eropa. Di depan bangsa yang benar-benar kuat, seperti Inggris, Prancis, Rusia, dan Amerika, mereka menggigil dan gemetar seperti semak di tengah badai. Mereka jelas telah hidup lama melewati masa kegunaannya. Namun, bagaimana menyingkirkan mereka? Itulah

BUKU KEDUA

34

pertanyaannya. Mereka memonopoli senjata. Atau lebih tepatnya, mereka memonopoli hak membunuh tanpa hukuman.

Tsuda sendiri memiliki sebuah senjata. Senjata yang sangat modem. Senjata yang jauh lebih mematikan ketimbang sebatang pedang. Senjata yang akan memberinya peluang, kalau dia mau, untuk membunuh seorang samurai, sebelum samurai itu cukup dekat untuk mengaduk udara di sekitarnya dengan pedang kunonya. Senjatanya adalah sebuah pistol Colt Amerika kaliber 44. Enam lubang silindernya berisi enam buah peluru mematikan! Tentu saja, dia tidak membawa pistol itu sekarang. Benda itu ada di rumahnya, di bawah lantai dalam peti besi buatan Belanda miliknya. Akan tetapi, kalaupun dia membawanya, apakah dia akan berani mengeluarkannya, menodongkannya kepada seseorang seperti Lord Taro, lalu menembak? Selagi dia membayangkan adegan itu, perutnya menjawab dengan rasa mulas yang membahayakan.

Tidak, tidak, tidak! Air seni bisa disalahsangkakan dengan keringat, kalau ternyata dia benar-benar mengompol sebagaimana yang ditakutkanya. Namun, kotoran dari lambung? Tak mungkin salahsangkakan dengan apa pun! Dihukum mati karena buang air besar dalam pakaian lengkap di kastel seorang bangsawan! Tidak hanya akan memalukan secara fisik, tetapi menjadi aib yang menghancurkan pula.

Untuk menahan agar yang di dalam tetap di dalam, dia bertekad mengalihkan pikirannya pada uang, satu-satunya benda yang, dengan memikirannya saja, membuatnya lebih kuat dari kenyataannya. Pedagang dan bankir menguasai seluruh uang, sesuatu yang menjadi semakin penting. Tsuda, yang menjadi pedagang sekaligus bankir, berada di posisi yang baik dalam hal ini. Dia adalah orang yang kuat, bukan sebaliknya. Uang lebih kuat keimbang pedang.

Sungguhkah begitu? Pedang, dengan matanya yang begitu tajam sehingga sentuhan paling lembt pun dapat—

"Ah, Tuan Tsuda," kata Lady Emily "Senang bertemu dengan Anda lagi."

"Lady Emily," kata Tsuda, terjaga dan lamunannya. "Bahasa Jepang Anda lebih baik setiap kali saya bertemu dengan Anda. Anda pasti telah belajar dengan keras."

Dia terperanjat di dalam hati. Tak ada yang tampak pada wajahnya, kecuali kepuasan dan keinginan untuk menyenangkan orang lain, sebuah ekspresi yang sudah dikuasainya dengan latihan bertahun-tahun, dan yang terbukti paling tidak provokatif, sehingga paling aman untuk ditampilkan ketika berbisnis dengan samurai. Dia terperanjat karena dia langsung menyadari

BUKU KEDUA

35

selagi dia berbicara bahwa seharusnya dia tidak mengatakan apa yang telah dikatakannya. Dia telah menyiratkan bahwa Emily perlu belajar dengan keras untuk berbicara dengan baik dalam bahasa Jepang. Sekalipun itu kebenaran yang tidak dapat disangkal, kebenaran tidak selalu dapat digunakan untuk membela diri.

Betapa tololnya dia! Dia telah menghina Emily yang harus disebutnya, Lady Emily. Faktor- faktor misterius yang tidak dipahami sepenuhnya oleh Tsuda telah membuat wanita asing yang satu itu selalu dirujuk dengan gelar kehormatan. Dan, jika Tsuda tahu apa yang baik baginya, dia bahkan tak akan pernah berpikir tentang wanita itu tanpa menyebutkan gelarnya lebih dahulu. Menghina Lady Emily sama saja dengan menghina pelindungnya, Okumichi no kami Genji, Bangsawan Agung Akaoka, seorang pria yang memegang kekuasaan mutlak atas kehidupan dan kematian setiap orang di wilayah yang sedang diinjaknya sekarang! Bagaimana dia bisa begitu bodoh! Nyatanya, Lady Emily memang berbicara degan bahasa Jepang yang sangat baik sekarang, bahkan lebih baik ketimbang orang-orang negeri ini sendiri yang tinggal di daerah-daerah lebih jauh dan terpencil. Di sana, banyak yang lancar berbicara hanya dalam dialek mereka sendiri yang nyaris asing juga bagi orang lain. Tsuda dengan panik mencoba memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengeluarkannya dari masalah ketika Lady Hanako berbicara.

"Di mana Lord Taro?" tanyanya.

"Lord Taro pergi beberapa waktu yang lalu," sahut Tsuda. Hanako tidak riang seperti bisaanya. Garis-garis kecemasan menandai wajahnya, dan ketika dia menyebut Taro, matanya menajam.

Apakah suatu rencana makar sedang dilaksanakan? Dia merasa gugup lagi. Jika memang ada rencana makar, tak peduli siapa pun perencananya, dia akan menghadapi bahaya besar yang mengancam jiwanya. Seandainya rencana itu terungkap selagi mereka berada di kastel ini, kecurigaan akan hinggap pada semua orang di sekitarnya. Jika itu terjadi, siksaan dan hukuman mati akan menyusul tanpa ayal lagi. Orang tidak bisa membela diri dengan ketidakbersalahan- nya, sebagaimana kebenaran juga tak berarti apa-apa.

Oh, tidak! Baru saja keadaan menjadi lebih menjanjikan! Dan, bagaimana dia selama ini, kalau bukan sepenuhnya setia—kepada Lord Genji, kepada Lord Taro, dan kepada suami Lady Hanako yang sangat berpengaruh, Lord Hide. Tak peduli siapa pun yang berhasil dalam makar

BUKU KEDUA

36

melawan makar ini—atau gagal; yang mungkin saja terjadi jika memang ada di antara mereka yang terlibat, yang tentu saja dia tidak bisa mengetahuinya—dia tentunya tidak bersalah! Namun, tubuhnya yang hancurlah yang akan ditancapkan pada sebatang kayu! Dirinyalah yang akan mati menjerit-jerit dalam penyiksaan! Setiap anggota keluarganya juga akan dihukum mati dan semua harta bendanya disita. Betapa tidak adilnya! Apakah tak ada batas dalam kekejaman dan keserakahan samurai ini?

"Terima kasih telah datang menemui kami," kata Lady Emily "Aku yakin Anda sangat sibuk dengan pembangunan kastel."

"Saya tak pernah terlalu sibuk untuk melayani Anda, Lady Emily. Dan tentu saja, Anda juga, Lady Hanako. Maksud saya, karena dengan melayani, kalau memang saya harus membuktikan diri saya berguna—"

"Terima kasih, Tsuda," kata Hanako. Dia tahu Tsuda akan terus berbicara tanpa makna jika dia tidak menyelanya. Rakyat jelata pada umumnya bercakap menjilat dan gugup di hadapan bangsawan, tetapi tidak ada yang lebih parah ketimbang mereka yang berurusan dengan uang, seperti Tsuda. Ini karena hampir semua samurai, dan terutama para bangsawan agung, berutang besar kepada mereka. Dan para bangsawan agung sekali-sekali menghapus utang mereka dengan cara "menghapus" pedagang dan pemberi piutang yang bersangkutan dengan alasan apa pun. Bahkan, Shogun sendiri telah melakukan praktik itu lebih dari sekali.

Kegugupan Tsuda terutama diperkuat karena dia memanipulasi catatan keuangan sedemikian rupa sehingga dia menarik bayaran sekitar sepuluh persen lebih tinggi untuk semua pekerjaan di bawah pengawasannya. Lelaki malang itu tidak tahu bahwa, melalui pengaturan rumit perwakilan, perwakilan yang mewakili perwakilan, perwakilan yang mewakili perwakilan dari perwakilan, dan seterusnya dan seterusnya, dia bukan pemilik utama banknya sebagaimana yang dia kira, tetapi merupakan pengelola saja. Pemilik yang sebenarnya, tentu saja, Lord Genji.

Berkat leluhur yang dapat melihat masa depan, klan Okumichi mendapatkan pemahaman tentang uang sejak dahulu sekali, ketika klan lain masih berpikir dalam satuan luas sawah sebagai ukuran kekayaan. Hanako tahu ini karena dia telah ditugasi Genji untuk membantu kepala rumah tangga mengurusi keuangan klan, dan telah melakukannya selama lima tahun berselang.

BUKU KEDUA

37

dibutuhkan. Hanya beberapa pertanyaan, tentang sebuah peti penuh berisi perkamen yang baru-baru ini dikirimkan kepada Lady Emily di Edo."

"Ah ya, Lady Hanako, Lady Emily" Tsuda membungkuk kepada keduanya secara bergantian, tidak sepenuhnya yakin siapa yang harus diajaknya berbicara. "Saya percaya benda itu tiba dalam keadaan seperti ketika saya menemukannya, maksud saya, tidak terbuka?"

Di satu pihak, Lady Hanako sudah berbicara. Di pihak lain, Lady Emilylah yang tampak- nya ingin mengajukan pertanyaan. Kemudian, ada fakta bahwa Lady Hanako adalah wanita Jepang sejati, istri jenderal senior klan ini—lelaki yang paling suram dan menakutkan, yang bahkan lebih mengintimidasi ketimbang Lord Taro—sementara Lady Emily, meskipun disebut "lady", tetap saja orang asing. Namun, ada fakta lain yang harus dipertimbangkan: Lady Emily adalah teman dekat Bangsawan Agung wilayah ini—barangkali teman yang sangat dekat, paling dekat dari yang ada, jika gunjingan itu harus diperayai, yang tentunya, sedikit pun dia tidak memerpercayai atau memikirkannya—

Emily berkata, "Kami ingin tahu di bagian mana di dalam kastel ini peti itu ditemukan." "Ah, maafkan saya jika surat penjelasan saya atau kurir saya menciptakan kesan bahwa peti itu dtemukan di dalam kastel. Kenyataannya, benda itu ditemukan di tempat yang paling aneh dan secara aneh pula." Kedua wanita itu saling bertukar pandangan yang tampaknya penuh makna. Makna apa yang terkandung di dalamnya tidak jelas baginya. Itu masalah untuk dikhawatirkan belakangan, ketika dia mempunyai waktu untuk mengingat-ingat pertemuan ini dengan santai. "Atau barangkali, saya harus mengatakan, di tempat yang paling mujur dan secara kebetulan. Sungguh saya tidak bisa menggambarkan—"

"Di mana benda itu ditemukan?" tanya Hanako.

Tsuda sulit mengikuti kedua wanita itu. Dia tidak terbisaa menunggang kuda. Meskipun dia mampu membeli seekor kuda—atau sepuluh kalau perlu—dia jarang sekali menunggang kuda. Dia tidak ingin kelihatan lancang. Bisaanya, kuda hanya ditunggangi samurai, tak pernah petani, dan samurai di wilayah ini justru terkenal selama berabad-abad sebagai kesatria berkuda. Dia dapat memahami benar kepahitan yang mungkin dirasakan seorang samurai, terutama yang berjalan kaki, melihat dirinya di atas kuda. Dan, jika samurai itu juga kebetulan berutang kepadanya, kepahitan itu dapat dengan mudah berubah menjadi kemarahan dengan nafsu

BUKU KEDUA

38

membunuh. Juga, ada pertimbangan duniawi yang kurang menakutkan, tetapi melelahkan. Setiap kali dia kebetulan melewati seorang samurai, dia harus turun dari kuda dan membungkuk karena secara fisik dia tidak boleh berada di atas seseorang dengan kedudukan sosial lebih tinggi ketimbang dirinya. Lebih mudah melakukan apa yang harus dilakukan jika dia sudah berdiri di atas tanah.

Kedua wanita itu sudah berganti pakaian menyerupai celana yang disebut hakama, dan menunggangi kuda mereka seperti samurai alih-alih duduk menyamping seperti wanita bangsawan. Ketika mereka meninggalkan gerbang kastel, mereka mendapati Lord Taro dan beberapa samurai berkuda lainnya menunggu untuk mengawal mereka. Bagaimana Lord Taro tahu mereka akan meninggalkan kastel? Tsuda tidak tahu. Cara samurai mengantisipasi segalanya sungguh-sungguh menakutkan.

Ketika mereka mendekati lokasi pembangunan di bukit di atas Lembah Apel, Tsuda mulai berkeringat lagi. Dia tidak mengkhawatirkannya kali ini. Betapapun basahnya pakaiannya, oleh sebab apapun, dia bisa menyalahkan kuda yang ditungganginya. Kuda adalah binatang yang bisaa berbau dan berkeringat. Namun, akankah mereka menemukan kesalahan pada pekerjaan yang dilakukannya sejauh ini? Apakah kemajuannya tidak cukup cepat? Apakah dia telah membangun di lokasi yang salah? Apakah bangunannya menghadap arah yang tidak sesuai dengan keinginan mereka? Apakah dia telah salah membaca rancangan bangunan itu? Apakah dia telah menebang terlalu banyak pohon? Terlalu sedikit?

Seorang samurai menderap kudanya di sampingnya dan berkata dengan gusar, "Kau! Berhentilah bersantai-santai! Kau membuang-buang waktu yang berharga!" Tampangnya menunjukkan seolah-olah dengan senang hati dia akan memenggal kepala Tsuda di tempat.

"Ya, Tuan, maafkan saya, Tuan, saya tidak terbisaa menunggang kuda, kuda tidak pantas bagi orang rendah—"

Samurai itu menjangkau ke arahnya, merebut tali kekang dari tangannya, mendepak kudanya agar berlari kencang, dan membimbingnya ke atas bukit tempat rombongan menunggu. Pada saat mereka sampai di sana, Tsuda yakin bagian tubuh kelelakiannya telah menderita tumbukan begitu bertubi-tubi dengan pelana keras sehingga dia tidak akan pernah bisa lagi berhubungan intim dengan geisha.

BUKU KEDUA

39

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 104-112)