• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kastel Awan Burung Gereja

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 164-191)

Musim panas membawa duka tak bertepi bagi Lady Kiyomi, dan bencana bagi klannya. Suaminya, Lord Masamune, terperangkap oleh kekuatan musuh yang tak terduga di Tanjung Muroto dan terbunuh, bersama ayahnya, dua putranya, dan hampir semua samurai mereka. Putranya yang tersisa, Hironobu, terpaksa menjadi Bangsawan Agung Akaoka, pengangkatan terburu-buru yang harus dilakukan sebelum tindakan pertama dan terakhirnya sebagai pemimpin klan, yaitu bunuh diri ritual sebelum kedatangan musuh yang menang perang. Bagaimanapun, pemimpin musuh pasti akan membunuhnya. Dengan kematian ayah dan saudara-saudaranya, Hironobu adalah Bangsawan Agung wilayah ini, dan seorang Bangsawan Agung tidak pernah menyerah. Bahwa usianya baru enam tahun sama sekali tidak penting. Kakak-kakaknya juga baru berusia sepuluh dan delapan tahun, dan kemudaan itu tidak menyelamatkan mereka. Keduanya telah menemani ayah mereka dalam pertempuran yang semula dianggap cukup kecil guna mempelajari ilmu perang untuk pertama kalinya. Alih-alih, mereka tewas bersamanya.

Kini, Lady Kiyomi sendiri mempunyar dua tugas terakhir dalam hidupnya. Dia akan menyaksikan putra bungsunya bunuh diri—pengawalnya yang paling setia, Go, akan memenggal kepala Hironobu segera setelah belati anak itu meretas kulitnya—kemudian Kiyomi juga akan mati dengan tangannya sendiri. Dia tidak berkeinginan hidup lebih lama untuk menerima penghinaan dan siksaan penjajah. Sekalipun dia tidak menyesali nasibnya, ia tidak bisa menahan perasaan sesalnya untuk Hironobu. Usianya 27 tahun, belum menjadi seorang nenek. Namun, dia telah menjalani hidup yang memuaskan sebagai seorang kekasih, istri, dan ibu. Sementara Hironobu telah menjadi Bangsawan Agung Akaoka, tetapi berkuasa hanya dalam beberapa jam, kemudian

mati.

Akan tetapi, Hironobu tidak mati, demikian pula Kiyomi. Sesaat sebelum Hironobu menghunjamkan belati ke dalam perutnya, ribuan burung gereja tiba-tiba bangkit dari dasar sungai yang kering, kepakan sayap mereka menimbulkan suara seperti ombak berdebur di pantai. Mereka melintas di atas Hironobu seperti awan bersayap. Di bawah mereka, cahaya dan bayangan yang bergoyang-goyang menciptakan ilusi bahwa Hironobu sendirilah yang bergoyang-goyang—tidak nyata, halus, seperti bayangan hantu yang terlihat dengan sudut mata. Semua orang melihatnya. Beberapa di antara mereka menjerit. Barangkali, Lady Kiyomi termasuk di antaranya.

Itu adalah sebuah pertanda. Para dewa tidak menyetujui. Ini jelas bagi setiap orang. Jadi, Hiro- nobu tidak membunuh dirinya. Alih-alih, diputuskan bahwa dia akan memimpin beberapa gelintir samurai mereka yang tersisa untuk menghadapi musuh malam itu juga. Alih-alih mati di pinggir surgai, dia akan mati di medan perang. Sama-sama mati, tetapi kematian yang lebih berani, dan dewa perang, Hachiman, menyukai orang-orang yang berani. Go akan memastikan bahwa anak laki-laki itu tidak tertangkap hidup-hidup oleh musuh.

Berlutut untuk merapikan baju perang ukuran anak-kanak yang dikenakan Hironobu, Lady Kiyomi sama tinggi dengan putranya. Hironobu mengenakan sepatu prajuritnya yang mungil dan kepalanya di1indungi sebuah helm dengan hiasan tanduk baja.

Lady Kiyomi nyaris tak dapat menahan air matanya. Rompi pelindung mini, pedang-pedang berukuran mungil, sarung tangan dan pelindung kaki dari logam mengilap—semuanya dibuat hanya untuk keperluan upacara, bukan perang, tetapi segera akan digunakan dalam pertempuran sesungguhnya. Sorot kebanggaan di wajah Hironobu nyaris membobol pertahanannya. Dia berbicara cepat untuk menahan air matanya.

"Ingat, kau sekarang adalah penguasa wilayah ini. Bersikaplah sebagaimana mestinya."

"Aku akan ingat," katanya. "Bagaimana penampilanku, Ibu? Apakah aku seperti samurai sungguhan?"

"Kau adalah putra Masamune, penguasa wilayah Akaoka, yang menghancurkan suku-suku Mongol Kublai Khan di Teluk Hakata. Kau adalah samurai sejati. Dan samurai sejati tidak boleh terlalu khawatir dengan penampilan belaka."

"Ya, Ibu, aku tahu. Tetapi, semua kisah tentang pahlawan masa lalu menceritakan betapa megahnya mereka berpakaian. Baju perang mereka, bendera mereka, kimono sutra mereka, pedang mereka, kuda mereka. Dikatakan bahwa penampilan Lord Masamune yang gagah perkasa

saja sudah menghancurkan semangat musuhnya. Juga dikatakan bahwa dia sangat tampan. Semua itu penting bagi pahlawan."

"Cerita selalu mengada-ada," sahut Lady Kiyomi. "Pahlawan selalu tampan dan menang. Wanita- wanitanya selalu cantik dan setia. Begitulah cerita,

"Tetapi, Ayah memang tampan dan selalu menang," kata Hironobu, "dan Ibu sungguh cantik dan setia. Ketika mereka menceritakan kisah tentang kita, mereka tak akan mengada-ada."

Lady Kiyomi tidak mau memberitahunya bahwa semua anak kecil menganggap ayah mereka tampan dan ibu mereka cantik. Jika dia mengatakannya, dia pasti menangis.

Hironobu membusungkan dada dan memasang wajah segarang mungkin. "Apakah aku sudah kelihatan perkasa, Ibu?"

"Jangan jauh-jauh dari Go," kata Lady Kiyomi, "dan lakukan apa yang dikatakannya. Jika sudah menjadi takdirmu untuk gugur, gugurlah tanpa keraguan, tanpa ketakutan, tanpa penyesalan."

"Baik, Ibu. Tetapi, kupikir aku tidak akan mati dalam pertempuran ini." Dia menyusupkan jarinya ke bawah helm dan menggaruk-garuk. "Seratus tahun lalu, dalam Pertempuran Ichinotani, Lord Yoshitsune hanya mempunyai seratus orang prajurit untuk melawan ribuan musuh. Seperti aku. Seratus dua puluh satu melawan lima ribu. Dia menang, aku juga akan menang. Akankah mereka menyebarkan kisah tentang aku setelah aku tiada? Kupikir begitu."

Lady Kiyomi dengan cepat berbalik dan menyeka matanya dengan lengan kimono sutranya yang halus. Ketika dia kembali menghadap putranya, dia tersenyum. Dia memikirkan kata-kata yang cocok untuk sebuah dongeng, dan menyatakannya.

"Ketika engkau kembali, aku akan mencuci pedangmu dari darah musuh kita yang congkak." Wajah Hironobu menjadi cerah. Bagai ksatria dalam pertempuran, dia menjatuhkan diri berlutut dengan satu kaki dan memberikan penghormatan singkat.

"Terima kasih, Ibu."

Lady Kiyomi meletakkan tangannya di lantai di depannya dan membungkuk dalam-dalam sebagai balasannya.

"Aku tahu kau akan melakukan yang terbaik, Tuanku." "Tuanku," seru Hironobu. "Ibu memanggilku 'Tuanku'." "Bukankah kau seorang Bangsawan Penguasa Wilayah?"

Lady Kiyomi tidak berharap akan melihatnya lagi. Jika nanti seorang kurir datang mem-bawa berita kematiannya, dia akan memerintahkan pembakaratt kastel, kemudian dia akan mengiriskan mata belati pada tenggorokannya. Tidak akan ada kemenangan ala dongeng, tak ada legenda tentang kecantikan dan keberanian. Namun, mereka akan mempunyai persamaan dengan para pahlawan dan wanita dalam dongeng-dongeng itu. Mereka tidak pernah menjadi tua.

Beberapa hari kemudian, seorang kurir memang datang, tetapi dia bukan membawakan kabar kematian Hironobu, melainkan kemenangannya. Musim panas yang diawali dengan tragedi berakhir dalam kemenangan yang menakjubkan. Samurai mereka yang tinggal beberapa gelintir saja telah menghancurkan seluruh musuh dengan jumlah jauh lebih besar.

Berita

kemenangan mustahil yang dicapai Lord Hironobu muda di Hutan Muroto menyebar

dengan sangat cepat. Orang-orang dari seluruh penjuru berdatangan ke wilayahnya untuk ikut merayakan kemenangan itu. Semua orang telah mendengar tentang pertanda dari kawanan burung gereja dan ingin melihat sendiri Bangsawan Agung muda yang beruntung itu. Kastel kecil itu, yang diberi nama baru Awan Burung Gereja, menjadi penuh sesak. Mendekati akhir perayaan sepekan itu, tampak jelas bahwa kebanyakan bangsawan samurai yang berkunjung akan segera mengalami keracunan alkohol. Saat itu terjadi perubahan arah angin yang tak terduga dan kekerapan kilat serta guntur yang tidak lazim, memberi pertanda akan datangnya badai awal musim gugur. Mereka yang sedang bersiap-siap untuk pergi, sekarang bersiap-siap untuk tetap tinggal selama beberapa waktu lagi. Kelihatannya mustahil, tetapi setiap orang menjadi semakin mabuk. Anehnya, tak ada yang mati karenanya.

Hanya Go yang tetap sadar. Dibesarkan dengan kumiss, minuman yang terbuat dari susu kuda, dia tidak menjadi penggemar sake meskipun sudah puluh tahun tinggal di Jepang. Ketika dia melewati sekumpulan orang mabuk, mereka mengelu-elukan dirinya.

"Go!"

"Tuan Jenderal!" "Lord Go!"

Memamerkan senyum yang tidak berasal dari lubuk hati, Go menerima sorakan itu. Terlalu banyak orang dalam ruangan tertutup membuatnya tidak nyaman. Jiwanya masih jiwa pengembara yang memiliki kecintaan akan ruang terbuka dan kebencian terhadap penyekapan. Berada di antara sekian banyak orang di dalam kungkungan dinding-dinding kastel membuat tenggorokannya

tercekik, napas sesak, dan keringatnya mengalir deras seolah-olah dia ter-jangkit penyakit mematikan.

Akan tetapi, keramaian dan dinding bukan penyebab utama keresahannya. Badai menambah kegalauan hatinya. Tak pernah dia menyaksikan kekuatan liar yang begitu menakutkan di langit. Tidak di padang rumput kampung halamannya, tidak di dataran luas Cina, tidak di pegunungan dan lembah-lembah Jepang. Kilat susul-menyusul cepat membakar langit, diikuti segera dengan derap tapal ribuan kuda hantu berpacu. Dalam selang tak terduga antara kilat dan guntur yang menyertainya, Go tersentak. Situasi clibuat semakin mengerikan dengan ketiadaan pergolakan di daratan yang aneh. Meskipun langit sedang murka, tak ada angin, tak ada hujan, tak ada pula dampak badai yang benar-benar menyentuh mereka. Ini sebuah pertanda. Tak ada keraguan sedi- kit pun tentangnya. Namun, pertanda apa? Tak mungkin ia mengabarkan kedatangan Tangolhun yang lain. Go adalah orang terakhir dalam garis keturunannya, dan dia hanya mempunyai satu anak, Chiaki, seorang putra. Kutukan menjadi penyihir hanya berlaku pada wanita. Istrinya telah melahirkan seorang putri sebelum Chiaki, dan dua putri sesudahnya. Go telah membunuh ketiga bayi perempuan itu begitu mereka terlahir. Istrinya menangis, tetapi dia tidak mempertanyakan tindakannya atau mencoba menghentikannya. Sebagaimana telah dijanjikannya, dia mendahulukan kebahagiaan Go ketimbang kebahagiaannya. Jadi, tidak ada penyihir Nurjhen baru yang pernah dilahirkan, atau akan terlahir. Lantas, mengapa dia merasa begitu takut dengan setiap sambaran kilat dan setiap hentakan kaki-kaki langit?

Di kalangan orang-orang suku Nurjhen, badai setelah kemenangan merupakan pertanda kebesaran. Tentu saja, orang Jepang tidak melihatnya seperti itu. Bagi mereka, badai adalah kemarahan dewa halilintar. Dan, cara terbaik untuk meredakan kemarahannya adalah dengan persembahan doa-doa para rahib, hadiah makanan dari para wanita dan anak-anak, serta dengan mabuk berat bagi kaum pria. Yang terakhir ini sangat mudah diduga. Setiap peristiwa penting selalu disertai konsumsi selautan sake, arak beras yang tampaknya setiap samurai menjadi kecanduan terhadapnya sejak usia dini. Seandainya kaum Nurjhen minum alkohol sebanyak itu, mereka tak akan pernah berhasil menaklukkan padang rumput subur antara Pegunungan Es Biru dan Sungai Naga Merah. Seandainya Mongol minum sebanyak itu, mereka tidak akan pernah menaklukkan Nurjhen, dan Go masih berkuda bersama saudarasaudaranya di kebebasan padang luas Asia Tengah.

"Jenderal Agung! Ayo, kemarilah!"

"Nama Anda akan hidup di antara pahlawan-pahlawan besar Yamato selamanya!"

Mudah sekali bagi samurai itu untuk menghujaninya dengan pujian. Dia hanyalah orang asing dan selamanya tetap menjadi orang asing. Karenanya, dia bukan ancaman bagi mereka. Dia tak akan pernah berkomplot mengkhianati tuannya, tak akan pernah mengejar kekuasaan untuk dirinya, tak akan pernah memimpin pasukan ke Kyoto untuk membujuk Kaisar agar memberinya mandat Shogun. Seorang asing tidak akan pernah bisa memimpin wilayah, tak akan pernah menuntut kesetiaan bangsawan agung yang lain, tak akan pernah menjadi Shogun. Kehormatan tertinggi itu dikhususkan tidak hanya bagi samurai, tetapi juga sedikit orang yang terpilih dari keturunan Minamoto, klan Yoshitsune yang legendaris. Hironobu, melalui nenek ibunya, mempunyai hubungan jauh dengan keluarga besar itu. Barangkali, suatu hari dia akan memikirkannya. Namun, Go tidak. Dia bahkan bukan orangJepang. Jadi, para samurai tidak ragu- ragu memujinya dengan lantang dan tulus.

Go tidak tahu peringatan apa yang dibawa oleh badai ini, tetapi dia tidak optimistis. Dia ingat apa yang dikatakan orang-orang tua sukunya. Menurut mereka, terakhir kalinya halilintar yang menyerupai bunyi derap kuda menggelegar di awan, seorang tukang tenung wanita yang hebat dari Ordo Nurjhen terlahir.

Tangolhun dari masa lampau. Leluhur ibunya.

Tukang tenung yang menyuruh Attila mengikuti matahari ke arah barat. Agaknya, berabad- abad lalu, Attila yang legendaris itu melakukan tepat apa yang diperintahkan kepadanya, bangsa Hun mengikuti Attila, dan mereka menemukan negeri yang ditakdirkan untuk mereka di tepi barat dunia, tempat mereka hidup dengan ternak mereka di padang rumput subur sampai hari ini, terlindungi oleh lingkaran pegunungan, dan berkemah di kedua tepi sungai yang lebar.

Betapapun kuatnya Go bersikukuh bahwa ini hanya kisah yang dikarang-karang ibunya untuk mendukung ilmu sihir khayalannya, para orang tua itu tidak bisa diyakinkan.

Bangsa Hun pada masa lalu, kata mereka, tidak semuanya dibantai Mongol. Sebagian dari mereka yang mengikuti Attila telah berhasil melarikan diri ke balik Pegunungan Ural. Suatu hari, kaum Nurjhen juga akan pergi ke sana.

Kebenaran rahasia lama itu diketahui oleh para penenung, kata mereka, yang ruhnya menunggangi badai, kawanan kuda di atas sana. Suatu hari, mereka yang mengetahui rahasia ini

juga akan menunggangi badai.

Ramalan ibunya, kata mereka, sangat tepat, dan kekuatan mantranya tidak dapat dipungkiri. Suatu hari, seorang wanita sihir akan muncul, mantra-mantranya akan mengungkapkan semua misteri tanpa kecuali.

Go menertawakan semua itu. Ibunya hanyalah seorang wanita egois, banyak akal, pembohong, tak lebih dari itu.

Kini, di Jepang yang jauh, dengan sepuluh ribu kuda poni padang rumput yang tak kasatmata menderap di atasnya, dia tidak bisa tertawa. Sesuatu akan terjadi.

Go tidak menganggap itu sebuah berkah.

"Oh." Seruan pelan diikuti sensasi tubuh lembut yang bertabrakan dengan dirinya. Dia menunduk dan melihat seorang wanita terjengkang di kakinya.

"Maafkan aku," katanya, diam-diam memaki kekikukannya. Di tempat terbuka, menunggangi seekor kuda, Go selincah penari naga yang memutar-mutar api dari unggun perkemahan Ordo. Di dalam ruangan, gerakannya lebih menyerupai banteng yang terikat. "Aku tidak memperhatikan jalanku."

Go mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Wanita itu terkesiap dan melengos malu.

Dia sangat cantik dan sangat muda. Hanya karena apa yang dirasakannya ketika tubuh mereka berbenturan, Go tahu bahwa dia seorang wanita dan bukan lagi anak perempuan. Namun, dia seorang wanita yang belum lama mekar untuk pertama kalinya. Dari model pakaian dan kehalusan gerakannya, Go tahu dia wanita berdarah ningrat, barangkali putri seorang bangsawan yang berkunjung. Banyak yang seperti dia di sini. Kemenangan Hironobu yang tak terduga tiba-tiba menjadikannya bangsawan agung berusia enam tahun yang paling diakui di daratan Inland Sea.

"Apakah Anda cedera?" tanya Go.

Tabrakan tadi tidak begitu keras. Tak ada putri ordo Nurjhen yang akan jatuh, apalagi tetap terduduk di lantai untuk begitu lama. Mereka bisa mengendarai kuda dan memanah seterampil laki-laki dan hanya seorang kesatria yang bisa mengalahkan mereka di atas kuda, dan dengan busur dan panah, berani memikat mereka. Istri dan putri bangsa Jepang sebaliknya. Mereka dipuji dalam kelembutan mereka. Bahkan, mereka selalu berpura-pura lemah dari yang sesungguhnya. Dia pernah melihat istrinya sendiri, yang waktu itu masih menjadi kesayangan Lord Masamune, ayah Hironobu, mematahkan tulang selangka seorang samurai mabuk. Laki-laki itu, anak buah

bangsawan lain, yang mengetahui siapa dirinya, telah mencengkeram pergelangan tangannya. Dia membuat gerakan cepat dengan tangannya. Sesaat kemudian, laki-laki itu terlempar menabrak pilar. Sedikit saja ke kanan lehernya akan patah.

"Bagaimana kau melakukannya?" Go bertanya kepadanya. "Melakukan apa, Lord Go?"

"Melemparkan pria itu."

"Melemparkannya? Aku?" Dia menutupi mulutnya dengan lengan kimono dan tertawa kecil. "Aku begitu kecil dan lemah, Tuanku, bagaimana mungkin aku melemparkan orang? Dia mabuk. Dia tersandung. Cuma itu."

Tidak, tidak cuma itu. Akan tetapi, dia tidak pemah mengatakan lebih banyak, bahkan setelah mereka menikah. Bahkan sekarang, sepuluh tahun berselang dan setelah kelahiran putra mereka, Chiaki, dia tidak akan pemah mengatakan apa pun tentang kejadian itu.

"Itu rahasia besar, ya?" Go pernah bertanya kepada istrinya.

Istrinya tertawa dan berkata, "Bagaimana mungkin suatu sebab akibat yang wajar dijadikan rahasia?"

Go berkata, "Jika aku mencoba melakukan sesuatu yang tidak kausukai, apakah kau akan melemparku?"

"Mustahil aku tidak menyukai apa pun yang ingin kaulakukan, Tuanku. Kau kan suamiku." "Bagaimana kalau aku hendak menyakitimu?"

"Maka, aku akan bahagia merasakan sakit."

"Bagaimana kalau penderitaanmu membuatku senang?" "Maka, penderitaan akan menjadi kesenangan, Tuanku."

Go tertawa keras. Dia tidak kuasa menahan geli. Dia tidak benar-benar percaya istrinya akan sejauh itu. Namun, kesungguhan dan kekerasannya membuat Go tidak bisa melanjutkan dengan serius.

Go berkata, "Aku menyerah. Kaumenang."

Kata istrinya, "Bagaimana aku bisa menang kalau aku menyerah kepadamu dalam setiap hal?" "Aku tidak tahu," kata Go, "tetapi entah bagaimana kau selalu menang, bukan?"

Dia tersenyum. "Maksudmu, aku menang dengan mengalah? Itu tidak masuk akal, Tuanlku. " Go ingin tahu apakah wanita muda ini juga tahu cara melempar laki-laki. Tampaknya tidak mungkin. Dia kelihatan sangat rapuh sekalipun Go tahu bahwa semua wanita di sini suka melebih-

lebihkan kerapuhannya. Wanita itu menunggunya melangkah mundur, kemudian berdiri dengan susah payah. Paha kanannya tampak cedera. Dia melangkah maju dengan ragu, tak mampu mendukung dirinya sendiri, dan mulai oleng. Go menangkapnya.

"Oh," katanya lagi, sehalus tadi.

Dia berpegangan pada lengan Go dan menyandarkan seluruh berat tubuhnya ke dadanya. Sama sekali tidak berat. Di samping sangat cantik dan sangat muda, dia juga sangat ringan. Barangkali, tidak seperti yang lain, wanita ini benar-benar serapuh pertandanya. Meskipun dia bersandar kepada Go karena memerlukannya, matanya menatap ketakutan, seakan dia ingin segera lari darinya.

Go berkata, "Jangan takut, Nona. Aku Go, kepala pengawal pribadi Lord Hironobu. Kau boleh mengandalkan aku sebagaimana kau mengandalkan beliau."

"Oh," katanya sekali lagi.

Go tersenyum. "Kau mengucapkan 'oh' dengan sangat manis, Nona. Cobalah kata lain. Mari kita lihat apakah kaubisa mengatakannya semanis itu, atau pesonamu hanya terbatas pada 'oh'."

Wanita muda itu tersenyum mendengarnya. Mendongak memandang Go dengan malu-malu, dia berkata, "Aku putri Lord Bandan, Nowaki."

Tepat saat itu, dentuman halilintar bergema lagi ke seluruh kastel. Wajah Go pasti telah menunjukkan sesuatu.

"Apakah kau takut halilintar?" Ekspresi bingung mencerahkan wajah Lady Nowaki. "Kupikir kau seorang Mongol perkasa yang tidak takut apa pun."

"Aku sama sekali bukan orang Mongol."

"Bukankah kau Go yang mendarat di Teluk Hakata dengan para penjajah itu sepuluh tahun lalu?"

"Ya. Aku seorang Nurjhen waktu itu, dan aku tetap Nurjhen sekarang." "Bukankah itu sama saja dengan orang Mongol?"

"Apakah kau sama saja dengan orang Cina?" Lady Nowaki tertawa. "Tidak, tentu saja tidak."

"Benar, tidak semua orang yang memakai sutra, meminum teh, dan menulis kanji adalah orang Cina. Demikian pula, tidak semua orang yang mengendarai kuda, menggiring ternak, dan hidup bebas adalah orang Mongol."

Karena Lady Nowaki masih berpegangan kepadanya, penghormatan itu mendekatkan kepalanya ke dadanya, mendekatkan rambutnya ke wajahnya. Wangi lembut yang menggoda menguar dari rambutnya yang lebat. Keharuman itu mengingatkan Go akan bunga-bunga padang rumput, yang sudah menghilang semusim lalu. Hanya seseorang yang begitu muda yang akan memakai wewangian musim semi pada musim gugur. Ketidakkonsistenan yang kekanak-kanakan itu menunjukkan kenaifan y,m menyegarkan.

"Mari, kuantar kau ke kamar keluargamu," kata Go.

Nowaki

, dengan kepala masih bersandar pada dada Go, dapat mendengar suara Go di atasnya, dan juga mendengarnya beresonansi di dalam tubuh lelaki itu. Dia berharap Go tidak mendengar detak jantungnya. Dia memejamkan mata dan berusaha mengatur pernapasannya. Tak ada alasan untuk merasa takut. Segalanya berjalan lancar. Dengan mudah, dia sudah melepaskan diri dari pengasuhnya. Wanita tua itu, yang semakin lelah dengan bertambahnya usia, menjadi semakin mudah diperdayai. Kalau tidak, dia tak akan pemah bisa bermain mata dengan Nobuo atau Koji pada musim panas lalu. Mereka samurai muda yang tampan, tetapi sebatas itulah mereka. Segera, pada akhirnya, mereka akan bertambah usia menjadi pria dewasa seperti ayah-ayah mereka.

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 164-191)