• Tidak ada hasil yang ditemukan

1281, Kastel Awan Burung Gereja

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 48-58)

"Aku sama sekali tidak mengerti ini," kata Kiyomi, mencebik kepada suaminya. "Mengapa engkau membantu Lord dari Hakata? Bukankah dia musuh klan kita dari generasi ke generasi?"

Masamune menenangkan kuda perang tunggangannya yang tidak sabar. Dia ingin menghela napas, tetapi lima ratus anak buahnya berkumpul di sekitarnya menunggang kuda mereka masing-masing. Dia tidak bisa melakukan sesuatu yang begitu lemah di hadapan mereka. Dia seharusnya mendengarkan nasihat ayahnya untuk menikahi wanita yang lebih sederhana penampilan dan perilakunya, daripada menikahi wanita cantik yang cerewet dan keras kepala seperti Kiyomi.

"Seperti yang sudah kujelaskan berulang-ulang, tanah air kita yang suci sudah diserang bangsa Mongol."

"Engkau sudah mengatakannya berulang-ulang, Suamiku, tetapi mengatakan saja tidak menjelaskan apa-apa. Wilayah Hakata bukan tanah air kita. Mengapa kita harus peduli jika bangsa Mongol, siapa pun mereka, menyerang Hakata? Biarkan mereka menghancurkan tempat itu. Dengan demikian, musuh kita berkurang satu, bukan?"

Masamune berpaling kepada penasihatnya untuk meminta bantuan. Tetapi lelaki itu, yang dianugerahi pengalaman dan kebijaksanaan, telah memaku perhatian sepenuhnya pada pepohonan di kejauhan sejak beberapa menit lalu.

"Jika Mongol menghancurkan Hakata, hanya soal waktu sebelum mereka sampai di sini."

Kiyomi tertawa. "Aduh, seriuslah. Hakata kan di Pulau Kyushu dan kita berada di Shikoku." Dia mengatakannya seakan-akan itu menjelaskan segala hal yang perlu dipahami.

Meskipun Kiyomi sudah menjadi istrinya selama sepuluh tahun dan melahirkan tiga anak, dia masih tampak sangat muda bagi Masamune, terutama ketika dia tertawa. Masamune tidak dapat menemukan alasan untuk marah kepadanya meskipun ketidaktahuan istrinya tentang politik menjengkelkannya.

Dia membungkuk di atas pelananya. "Aku akan kembali membawa banyak kepala Mongol."

"Jika kau harus membawa pulang sesuatu dari bangsa Mongol, bawalah perhiasan Mongol," katanya. "Aku sama sekali tidak mengerti minatmu terhadap kepala."

Kali ini, betapapun kuat usahanya, Masamune menghela napas sebelum dia membelokkan kudaya ke arah gerbang kastel. "Selamat tinggal."

Sepeninggal para pria, dayang senior Lady Kiyomi berkata, "Saya mengerti mengapa Anda berperilaku seperti itu, Nyonya, tetapi apakah itu bijak? Bukankah lebih bermanfaat bagi Lord Masamune jika Anda menunjukkan kebijakan sejati Anda daripada berpura-pura bodoh seperti itu?"

Lady Kiyomi berkata, "Jika aku punya pengetahuan yang tidak dapat diperolehnya, atau jika aku dapat memberikan saran yang tidak bisa diperolehnya dari orang lain, ya, keprihatinanmu akan beralasan. Junjungan kita didampingi penasihat-penasihat yang hebat. Dia tidak membutuhkan satu penasihat lagi. Lebih baik dia berpikir aku tidak mengerti sehingga dia tidak khawatir aku akan cemas. Ketika aku muncul dalam ingatannya, dia akan tersenyum geli. Kemudian, dia akan memusatkan perhatian penuh pada tugasnya. Barangkali, dengan begitu, aku dapat membantunya."

"Tentu saja tak ada keraguan tentang itu," ujar dayangnya yang lain. "Lord Masamune adalah ksatria terhebat Shikoku."

"Shikoku hanyalah satu titik di lautan," kata Lady Kiyomi, "dan pulau-pulau lain di Jepang hanyalah titik-titik lainnya. Khan Agung Kekaisaran Mongol memimpin pasukan dalam jumlah jutaan. Dia dan leluhurnya telah menaklukkan banyak kerajaan yang beberapa kali lebih besar daripada tempat tak berarti ini. Kemungkinan junjungan kita tewas dalam peperangan lebih besar ketimbang kembali."

Mereka berjalan dalam kesunyian ke halaman tempat anak-anak bermain. Di sana mereka bergabung dalam permainan kanak-kanak dan tidak lagi berbicara tentang perang.

"Masamune!" Gengyo, bangsawan penguasa wilayah Hakata, terkejut melihat salah seorang musuh besarnya tiba dengan bala bantuan.

Masamune membungkuk, senyum lebar tampak di wajahnya. Ketidakberdayaan Gengyo saja sudah cukup membayar kesulitan perjalanan mereka. "Kami datang untuk membantu Anda mengusir penjajah sombong itu."

"Kami ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Anda. Sayangnya, kami belum berada pada posisi mengusir. Dengan bantuan Anda, barangkali kita dapat berharap memperlambat laju mereka hingga pasukan utama Shogun tiba."

"Omong kosong! Ketika Mongol datang tujuh tahun lalu, mereka kacau-balau dan melarikan diri begitu kita menyerang." Jika Masamune mencoba mengingat detailnya, dia akan ingat bahwa ucapannya tidak begitu tepat. Peperangan begitu sulit dan penuh genangan darah, dan kalau saja badai tidak dating mengusir kapal-kapal mereka, kemungkinan Mongol telah menguasai medan perang. Namun persepsi tentang invasi pertama sudah mengambil bentuk yang sepenuhnya berbeda, berkat penceritaan berlebihan tentang peperangan-peperangan itu.

"Kali ini jumlah mereka lebih banyak," kata Gengyo, "jauh lebih banyak."

"Apa bedanya? Mari kita serbu sekarang juga. Pasukan barbar mana yang dapat menahan gempuran habis-habisan para samurai?"

Gengyo memberi isyarat agar Masamune mengikutinya. Dia membimbingnya ke bibir bukit pertahanan yang menghadap garis pantai. "Lihat sendiri."

Teluk, Hakata dipenuhi dengan kapal, ratusan jumlahnya dan ratusan lagi muncul dari kaki langit mendekati pantai. Di daratan, pasukan Mongol itu mendirikan tenda dengan jarak yang rapi, berkelompok-kelompok di belakang bukit pertahanan mereka. Masamune memperkirakan jumlah pasukan Mongol yang dapat dilihatnya sekitar dua puluh ribu. Namun, perkemahan mereka meliputi daerah pantai hingga hilang dari pandangan di balik perbukitan sebelah barat. Jika semua pasukan yang masih berada di atas kapal telah mendarat, jumlah pasukan Mongol yang sudah berada di Jepang bisa mencapai lima puluh ribu, dengan ribuan lagi yang segera berlabuh.

"Kuda," kata Gengyo. "Anda lihat? Mereka punya kuda juga. Banyak sekali. Apa yang kita dengar tentang mereka, cara mereka menaklukkan Cina dan Korea, dan kerajaan- kerajaan tak dikenal di Timur Jauh, pasti benar. Kami telah mengalami bentrokan kecil

dengan mereka beberapa kali. Cara mereka bertempur di atas pelana sangat menakjubkan. Aku tidak ingat mereka bertempur seperti itu sebelumnya." Jelas, Gengyo juga mencoba menata ulang ingatannya. "Pelaut kami dari Wilayah Choshu dan Satsuma yang berani pernah memanjat kapal-kapal itu di malam hari dan membunuh banyak musuh. Tetapi, untuk setiap satu orang yang terbunuh, datang sepuluh penggantinya."

"Muatan apa yang sedang mereka bongkar sekarang?"

"Tabung dan silinder itu?" Gengyo tampak sangat cemas. "Aku tidak tahu. Tetapi, mereka mengarahkannya kepada kita."

"Kapan pasukan Shogun akan tiba?" tanya Masamune.

"Besok. Atau lusa. Mongol mungkin akan m nyerang secara dahsyat siang ini."

Masamune dan Gengyo mengamati pasukan Mongol untuk beberapa menit tanpa berbicara lagi. Akhimya, Masamune berkata kepada kepala pasukannya, "Singkirkan kuda- kuda ke tempat yang aman. Perintahkan pasukan maju berjalan kaki dengan busur mereka." Dia menoleh kepada Gengyo. "Mereka harus melintasi dataran terbuka yang luas untuk mencapai kita. Kami akan mematahkan serangan mereka dengan hujan panah sebelum mereka separuh jalan ke sini."

"Kau!" kepala pasukan Mongol menunjuk Eroghut. "Bawa pasukanmu maju. Kau akan menyerang dengan gelombang pertama."

Eroghut berkata kepada adiknya, "Anjing Mongol, mereka mengirim kita maju untuk mati. Kemudian, dengan pengecut mereka akan menyatakan kemenangan dengan menginjak-injak tubuh kita."

"Kita tidak akan mati," kata adiknya. "Ingat apa kata ibu. Keturunan kita akan hidup lebih lama daripada keturunan Kublai si Gemuk. Setelah Mongol punah, Ordo Nurjhen akan bangkit kembali."

Eroghut tidak menyahut. Keyakinan adiknya terhadap kata-kata ibu mereka sangat menyentuh. Seperti semua orang yang tersisa dari suku Nurjhen, dia memercayai bahwa ibu mereka adalah penyihir keuturnan Tangolhun yang legendaris, sang penyihir yang dikisahkan memerintahkan Attila yang Agung untuk mengikuti matahari ke arah barat menuju tanah air yang ditakdirkan bagi kaum Hun. Legenda yang sama menyatakan hubungan darah antara Nurjhen dan bangsa Hun, musuh bebuyutan Mongol. Semuanya

omong kosong dan dongeng kanak-kanak belaka. Eroghut tidak percaya Tangolhun atau seorang Attila dengan keagungan menakjubkan seperti itu pernah ada. Mengenai kebangkitan Ordo Nurjhen sendiri—dari mana ordo ini akan bangkit? Sekarang hanya ada beberapa orang yang tidak cukup untuk disebut sebagai sebuah klan sekalipun, apalagi sebuah suku, dan sebuah ordo beranggotakan tidak kurang dari seratus suku. Tidak, Eroghut dan adiknya serta saudara-saudara mereka, kesatria Nurjhen terakhir di muka bumi, akan mati di sini, di tempat menyedihkan yang disebut Jepang. Mereka sudah kalah, dan Mongol yang dibenci sudah menang. Namun, mereka tidak akan mati sendiri.

Eroghut berkata, "Mereka akan memerintahkan kita menyerang benteng di atas bukit sana. Mereka akan mengirim suku Ouighur, Kalmuk, dan Khitan, bersama kita. Gunakan mereka untuk tameng sebisa kalian. Para Mongol akan mengikuti bayangan kita seperti anjing pemakan kotoran. Segera setelah kita mendaki bukit, berbaliklah dan bunuh Mongol."

"Tetapi, bagaimana dengan pasukan Jepang?" salah seorang sepupunya bertanya. "Begitu kita memunggungi mereka, mereka akan menyerang kita."

"Tidak akan," kata Eroghut, untuk sesaat tidak memercayai kata-katanya sendiri. "Mereka akan melihat kita adalah musuh dari musuh mereka dan berjuang bersama kita bahu-membahu."

"Eroghut, kau adalah pemimpin klan kita, dan kami akan mematuhimu," sepupunya yang lain berkata, "tetapi, bangsa liar ini pengikut setia pemimpin kejam dan tak berotak yang memuja kematian. Ketika mereka haus darah, mereka tak akan berhenti untuk berpikir. Aku setuju dengan sepupu kita. Mereka akan menyerang kita begitu kita lemah."

"Jika kalian harus mati, apakah kalian lebih suka berperang untuk pemakan bangkai Mongol," kata Eroghut, "atau melawan mereka?" Itu membungkam semua protes. Kelompok kecil sisa Ordo Nerjhen yang Perkasa itu mengencangkan lapisan pelindung pada kuda-kuda mereka, merapikan baju mereka sendiri, dan maju ke baris terdepan pasukan kavaleri bersenjata lengkap. Di belakang mereka, pasukan artileri dan pelempar roket dari Cina bersiap menembak.

Tanah bergetar oleh derap kuda pasukan kavaleri Mongol yang maju menyerang. Mereka datang dengan kecepatan tinggi, dalam barisan teratur, dengan tombak tertuju ke depan.

"Jangan menembak sampai mereka tiba di kaki bukit," seru Masamune kepada anak buahnya.

Sesaat sebelum penyerang tiba di sana, api memancar dari tabung-tabung yang dipasang pasukan Mongol di pantai, disertai asap dan raungan bagaikan angin murka, dan sesaat kemudian, tak dapat dipercaya, bintang-bintang dan konstelasi meledak di langit siang di atas mereka. Anak buahnya tetap di tempat. Sebagian samurai lain berlarian dan menjerit panik.

"Tembak!" seru Masamune.

Anak panahnya menjatuhkan banyak Mongol tetapi mereka sangat sedikit dan Mongol sangat banyak. Pertahanan samurai ditembus tanpa kesulitan Tepat ketika mereka di ambang penyerbuan, bagian kanan kavaleri Mongol yang menyerang tiba-tib berputar dan menyerang pasukan mereka sendiri Para pemberontak ini meneriakkan pekikan perang yang berbeda dengan pasukan Mongol lain, kata kata yang bagi telinga Masamune terdengar seperti "Na-lu-chi-ya-oh-ho-do-su!"

Pengkhianatan tak terduga di dalam barisan mereka sendiri ini membingungkan pasukan Mongol Meskipun mereka diuntungkan dalam jumlah dan posisi, mereka menghentikan penyerangan dan mundur. Beberapa waktu kemudian, pemberontak yang terdekat dengan Masamune menepuk dada dengan kepalan tangan.

"Mongol, tidak," katanya dalam bahasa Cina terpatah-patah, "Nurjhen, ya." Dan, sambil berkata dia menunjuk teman-temannya, yang memberikan isyarat serupa dan berkata, "Nurjhen."

Letnan pasukan Masamune berkata, "Apakah mereka sedang berusaha mengatakan bahwa mereka bukan pasukan Mongol, Tuanku?"

"Tampaknya mereka adalah"—dia berusaha menirukan suku kata rumit yang diucapkan kaum barbar itu—"Na-lu-chi-ya."

"Apa itu Na-lu-chi-ya?"

Tepat di atas mereka, bintang-bintang dan konstelasi sekali lagi meledak di langit. Para samurai berteriak dan memeluk tanah sekuat mungkin. Masamune meludahkan pasir dari mulutnya.

"Mereka musuh bangsa Mongol," katanya, "apa lagi yang harus kauketahui?"

bunyi benda tak kasatmata beterbangan membelah udara, dan beberapa saat kemudian, ledakan mengerikan terjadi di tengah-tengah mereka.

"Bangun!" teriak Gengyo. "Mereka datang lagi!"

Banyak samurai bangkit, tetapi bukan untuk kembali ke pertahanan mereka, melainkan untuk berbalik dan lari, sebuah usaha sia-sia. Hujan ledakan yang berkesinambungan menghancurkan mereka menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang berdarah tak peduli mereka tetap di tempat ataupun lari.

Serangan kedua Mongol menembus pertahanan mereka sekali lagi, dan musuh berkuda berada di tengah-tengah mereka, membunuh dengan pedang dan tombak. Di belakang pasukan berkuda, muncul para prajurit yang berjalan kaki dengan menembakkan busur aneh yang meluncurkan kilatan jarak pendek. Salah satu kilatan itu menghantam dada Masamune dan dengan mudah menembus baju besinya.

"Ah!" Ada kilatan rasa sakit sesaat, kemudian tak ada rasa sama sekali, hanya pusing seakan-akan tanpa bobot. Seorang prajurit Mongol berkuda menyerbu ke arahnya dengan tombak untuk menghabisinya. Masamune terlalu lemah untuk mengangkat pedang dan bertahan. Kemudian, Na-lu-chi-ya yang pertama berbicara menangkis jatuh tombak penyerang dan menusukkan pedang pendeknya yang berujung ganda di ketiak lawan. Darah membuncah dan penunggang kuda itu terjungkal.

Sang penolong Na-lu-chi-ya itu tersenyum kepada Masamune dan berkata, "Jangan takut. Hiduplah! Hiduplah!"

Masamune kehilangan kesadarannya. Ketika dia membuka matanya lagi, asistennya sedang merawat lukanya.

Pasukan Mongol sudah pergi. Para samurai menelusuri medan perang untuk mencari teman-teman yang terluka dan membunuh prajurit Mongol yang sudah jatuh. Samurai sudah menang, setidaknya untuk sementara waktu. Masamune melihat para Na-lu-chi-ya tewas di sekelilingnya. Tidak, penolongnya masih bernapas. Dia dapat melihat dadanya bergerak begitu pelan. Salah seorang anak buah Gengyo mendatangi tubuh tak berdaya itu dan mengangkat pedang untuk menusuknya.

"Hentikan!" seru Masamune. "Dia bukan Mongol." "Dia tampak seperti Mongol."

"Tidak, Lord Masamune, sama sekali tidak." Samurai itu membungkuk. "Rawat luka-lukanya."

"Baik, Tuan, tetapi lukanya sangat parah. Bagaimanapun dia akan mati juga."

"Kalau dia mati, kita akan mendoakan agar arwahnya beristirahat dengan tenang. Tetapi, lihat dia belum mati." Na-lu-chi-ya itu telah menyelamatkan jiwanya. Masamune akan membalas budinya jika dia bisa.

Eroghut selamat, tetapi semua saudaranya mati. Adiknya dan sepupu-sepupunya serta semua saudara sedarahnya yang tersisa tewas sudah. Dia tersenyum di antara rasa sakit dan demam selagi gerobak yang membawanya berayun-ayun. Ibunya telahi memperoleh reputasi sebagai penyihir dan peramal melalui kecerdikan yang digabungkan dengan ke- beruntungan menebak-nebak dan promosi diri tanpa lelah, selalu menghilang untuk melancarkan kutukan dan berlagak kesurupan ketika seharusnya dia mengurus suami dan anak-anaknya. Sekarang, Eroghut sendirian adalah keseluruhan Ordo Nurjhen. Jika ordo itu harus bangkit lagi, dia akan bangkit dari dirinya, Eroghut, putra Tanghut, dari Nurjhen di Sungai Naga Merah dan Pegunungan Es Biru. Namun, kini tak ada lagi Sungai Naga Merah, atau Pegunungan Es Biru. Bangsa Mongol telah memberinya nama lain ketika mereka rnenaklukkan sukunya. Dan segera, tak akan ada lagi orang Nurjhen. Eroghut berharap dapat bertemu dengan ibunya sekali lagi agar dia dapat menertawakannya.

Gerobak itu membawa Eroghut ke pulau lain, yang belakangan diketahuinya bernama Shikoku. Samurai yang didampinginya dalam pertempuran, Masamune, adalah penguasa wilayah yang disebut Akaoka, dan di sanalah mereka tiba sekarang. Meskipun Masamune bersikap tak ubahnya seperti seorang khan, wilayahnya sama sekali tak cukup besar untuk memiliki nama sendiri. Bahkan, seorang Mongol—salah satu dari sekian banyak yang menurut Eroghut memiliki keterampilan berkuda sangat hebat—dapat memacu kudanya dari ujung ke ujung selama kurang dari satu hari.

Pada awalnya, Eroghut dan pimpinan barunya berbicara dalam bahasa Cina terpatah- patah.

"Namaku Masamune. Aku penguasa wilayah Akaoka. Kau?"

"Namamu?" Masamune mengulang, kebingungan tampak pada wajahnya. "Eroghut."

"Eh-ho-go-chu?" "E-ro-ghut." "Eh-lo-ku-cho?"

Orang-orang Jepang ini menyedihkan. Karena bahasa mereka begitu sederhana, mereka nyaris tidak bisa membentuk kata-kata asing, yang sederhana sekalipun.

"Ghut," kata Eroghut, memendekkan namanya seperti yang biasa dilakukan bayi. "Ah," ujar Masamune, tampak sangat puas akhirnya, "Go."

"Ya," sahut Eroghut, menyerah, "namaku Go." Dan sejak saat itu, begitulah namanya. Go mempelajari bahasa Jepang dengan sangat cepat. Tidak sulit untuk membentuk kata-kata karena hanya ada beberapa bunyi dalam bahasa mereka. Bangsa Jepang mirip bangsa Mongol di satu sisi. Mereka suka berperang. Segera setelah pasukan Mongol meninggalkan pantai-pantai Jepang, terusir oleh badai—sebagaimana pernah mereka alami dalam usaha penaklukan pertama—Masamune mulai memerangi tetangganya di sebelah timur, kemudian di sebelah utara, untuk alasan yang tidak dipahami Go. Tampaknya, kehormatanlah yang lebih terancam daripada daerah kekuasaan, budak, kuda, atau jalur perdagangan. Agaknya, tak ada alasan lain karena cara samurai bertempur—perkelahian tunggal secara massal yang aneh, ketika setiap prajurit mencari seorang lawan dengan kedudukan setara—menjamin bahwa hampir tak ada pertempuran yang menghasilkan kemenangan mutlak bagi setiap pihak. Pasukan mereka bukan pasukan yang sangat teratur menurut ukuran Nurjhen, melainkan merupakan pengerahan para kriminal liar yang berani dan tidak terkoordinasi.

Ketika samurai mengisahkan pengalaman perang, mereka melebih-lebihkan tidak hanya keberanian mereka, tetapi juga keberanian musuh mereka, dan menangisi musuh yang mati di samping teman-teman sekubu. Dalam satu perang, seorang bangsawan musuh, seorang pemuda gemuk berjerawat yang berusia sekitar dua puluh tahun, mati tertindih kudanya sendiri yang rubuh ketika dia berbalik untuk lari. Ketika kisah ini diceritakan belakangan, bangsawan itu menjadi pemuda dengan kecantikan yang menyilaukan, keberaniannya cukup untuk mengisi dada ribuan laki-laki berani, kematiannya adalah tragedi yang menimbulkan kesedihan tak tertahankan. Go

memerhatikan Masamune dan samurainya minum anggur beras dan menangisi kepergian sang pahlawan. Padahal, para pria itu sangat mengenal sang bangsawan musuh, pernah bertempur dengannya dalam banyak peperangan sebelumnya, dan tahu bahwa dia tidak cantik, bahkan tidak dapat dikatakan tampan, dan keberaniannya ... yah, seberapa banyak keberanian yang diperlukan, mengingat keterampilannya, atau lebih tepat ketidak- terampilannya, untuk memutar kuda sedemikian rupa sehingga binatang itu rubuh menindih penunggangnya mematahkan lehernya?

Jadi, begitulah Go akhirnya hidup di antara orang-orang barbar yang terlalu dramatis ini meski keberanian mereka tidak diragukan. Dia bertempur bersama mereka dalam peperangan yang tidak bermakna dan tidak beralasan, minum bersama mereka, bernyanyi bersama mereka, dan akhirnya mengisahkan kebohongan konyol yang sama tentang tekad yang menggetarkan langit, kecantikan fisik yang menyilaukan, dan kematian tanpa rasa sakit Mereka hidup tanpa tujuan kecuali untuk berperang, mabuk, dan membangun mitologi tentang keberanian mereka sendiri.

Go merasa betah. Sebelum kakek Kublai si Gemuk, Genghis yang Terkutuk, mengumpulkan semua suku di padang rumput, memaksa mereka menjadi Mongol, dan memberi mereka misi menaklukkan dunia, suku Nurjhen tak jauh berbeda dengan bangsa Jepang. Barangkali, ibunya tidak terlalu salah juga. Barangkali, penduduk pulau primitif ini adalah Ordo Nurjhen yang baru. Menyenangkan juga menghibur diri dengan pemikiran itu.

Keterampilan Go berkudalah yang paling dikagumi Lord Masamune. Dengan instruksinya, samurai Wilayah Akaoka segera belajar bergerak dalam satuan-satuan yang mampu berubah-ubah denga cepat, alih-alih sendiri-sendiri secara tidak efisien, Satuan- satuan itu sendiri mampu bergabung membentuk satuan yang lebih besar, atau memecah di menjadi satuan-satuan lebih kecil. Bendera isyarat digunakan untuk menyampaikan perintah dalam jarak jauh pada siang hari. Pada malam hari, lampu dan panah api menggantikan fungsi bendera. Semua ini adalah taktik yang juga digunakan bangsa Hun selama berabad-abad ketika menguasai padang rumput Asia Timur. Taktik ini diwarisi oleh suku Nurjhen, dan taktik itu pula yang dicuri dan digunakan Mongol untuk menaklukkan mereka.

Akaoka yang dilatihnya dengan begitu baik bergerak seperti ksatria Nurjhen pada masa lalu menyerang pasuka kikuk Hojo, yang sepuluh kali lebih besar dari jumlah mereka, dan menghancurkannya dalam pembantaian besar di Pantai Shikoku, Inland Sea. Ketika mereka kembali dari medan perang, Masamune memberikan selirnya yang termuda dan tercantik kepada Go untuk diperistrinya. Pada musim gugur berikutnya, Go menjadi ayah seorang putra, dinamainya Chiaki, menggunakan huruf Cina chi; darah, untuk darah

Dalam dokumen I HANTU LORD KIYORI (Halaman 48-58)