• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN TEORITIS

dalam pembahasannya adalah negara demokratis, berkeadilan, memiliki

2.3. Pandangan Teoritis

2.3.6. Civil Society : Kemandirian dan Pemberdayaan

Wacana Civil Society, sesungguhnya mengalami banyak polemik, terutama oleh keragaman konseptual dan interpretasi yang diberikan oleh para ahli (Cohen dan Arato: 1992). Civil society sebagai wilayah interaksi sosial yang mencakup semua kelompok sosial, melingkupi rumah tangga, perkumpulan sukarela, gerakan kemasyarakatan dan wadah-wadah komunikasi publik yang diciptakan melalui mobilitas diri secara independen, baik dalam hal kelembagaan maupun kegiatan (Culla, 2006). Andre Gorz mengartikan Civil Society sebagai jaringan hubungan sosial yang dibangun orang per-orang, di antara mereka sendiri dalam konteks kelompok atau komunitas, terlepas dari otoritas lembaga negara, yang oleh Ernes Gellner (1995) melihat sebagai institusi non-pemerintah yang cukup kuat mengimbangi negara. Relasi dibangun atas dasar kerelaan ketimbang atas dasar kewajiban yuridis (Aditjondro, 1997). Diamon (1994) mendefinisikan civil society

sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), keswadayaan (self supporting), dan kemandirian (outonomy) yang tinggi saat berhadapan dengan negara dan memiliki keterkaitan dengan norma yang dipatuhi dengan taat (Culla, 2006).

Pada sisi yang berbeda Gramsci (dalam Budiman, 1992), mendefinisikan civil society sebagai sekumpulan organisme ―privat‖ yang berbeda dengan negara yang oleh Gramsci disebut dengan political society. Civil society menurut Gramsci merupakan wilayah institusi privat yang meliputi Gereja, serikat pekerja, dan lembaga pendidikan (Gramsci, 1971 dalam Sparingga, 1997). Selanjutnyan oleh Michael van Langenberg, memaknai civil society sebagai wilayah yang terdiri dari kelompok-kelompok dan perkumpulan, pendidikan, tenaga kerja, partai politik, organisasi keagamaan, profesi, perdagangan, media, seni, komunitas lokal, keluarga, dan kumpulan kekerabatan.

Konsep civil society menggambarkan bekerjanya anggota masyarakat secara bersama-sama dalam membina ikatan-ikatan sosial di luar lembaga resmi untuk menggalang solidaritas kemanusiaan, mengejar kebaikan bersama (public good), yang dilandasi oleh prinsip-prinsip egalitarianisme inklusif yang bersifat universal. Di sana diwarnai oleh usaha membangun kreativitas serta upaya untuk mengatur dan memobilisasi diri mereka sendiri tanpa melibatkan negara secara nyata. Wacana Civil Society yang berasal dari Barat tersebut pada gilirannya merambah masuk ke Indonesia pada akhir tahun 1980-an dan akhir tahun 1990-an dalam realitas berbeda dengan negara asalnya. Kehadirannya terkadang dianggap barang jadi dan tak jarang dipahami sendiri dalam konteks ke-Indonesiaan. Wujud dari gerakan civil society di Indonesia secara historis bukanlah barang baru, hal ini tampak dalam berbagai gerakan perjuangan masyarakat yang menentang kekuasaan otoriter yang menindas rakyat pada masa-masa kerajaan dan penjajahan (Rahardjo, 1999:309), meski jika dielaborasi lebih jauh akan ditemukan variasi aksi yang berbeda.

Gerakan civil society di Indonesia pada masa pemerintahan orde baru (1966-1998) mengalami kebekuan dan kesulitan mengaktualisasikan peranannya sebagaimana mestinya, dan baru kemudian bisa mendapatkan ruang sampai berakhirnya kekuasaan orde baru dan memasuki orde reformasi. Hal ini ditandai dengan menjamurnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), partai politik dan bahkan gerakan-gerakan keagamaanpun turut hadir dalam kancah gerakan civil society. Yang paling menarik dalam kontek ini adalah adanya fenomena memunculkan wacana-wacana keagamaan dalam ruang perjuangan civil society.

Perjuangan kemandirian ekonomi dan pemberdayaan misalnya, memuncukan wacana zakat sebagai wahana pemberdayaan masyarakat lemah, dan wacana di sini kemudian diakomodir dalam berbagi level yang bukan hanya gerakan civil society, tapi juga oleh negara, dan bahkan oleh kapitalis/bisnis

48

swasta. Hingga seakan isu pemberdayaan masyarakat lemah menjadi wacana dan bahkan perebutan antara negara, civil society dan kapitalis. Konsep pemberdayaan yang sebelumnya hanya muncul dalam wacana gerakan civil society, mendadak menjadi wacana publik yang tidak asing lagi dalam ruang wilayah negara dan kapitalis, dan merupakan fenomena yang agak mengejutkan.

Gerakan civil society terkait dengan kelembagaan zakat, terlihat dari fenomena kelembagaan zakat berbasis budaya lokal dan komunitas pedesaan di bawah naungan kelembagaan surau, langgar, masjid dan pesantren. Kelembagaan semacam ini oleh masyarakat pedesaan merupakan bagian dari struktur kelembagaan desa yang terbangun dari semangat spiritualitas dan budaya. Berbasis semangat spiritualitas dan kolektifitas, tokoh agama dan adat pedesaan yang berbasis kekuasaan kharismatik, membangun sumber kekuatan ekonomi yang kemudian menjadi dasar kekuatan politik. Salah satu sumber ekonomi yang telah terbukti dalam sejarah adalah kelembagaan zakat berbasis budaya dan komunitas pedesaan.

Tabel 4 : Pertemuan Negara, Swasta dan Civil Society dalam Wacana Tatakelola Zakat

Parameter Negara Swasta Civil Society

Basis Kelembagaan Berbasis negara Berbasis Industri Berbasis Komunitas Kepentingan Penguatan Negara

& Kekuasaan

Penguatan Perusahaan & maksimalisasi Profit

Penguatan lokal dan kemadirian

masyarakat Pengetahuan Sains Modern Sains Modern Local Knowledge

Budaya Modern Modern Lokal

Justifikasi Hukum positif Rasionalitas ekonomi Norma (moral)

Belakangan tiga entitas sosial—negara, industri dan komunitas sebagai wujud civil society—ikut bicara dalam wacana pengelolaan zakat. Pemberdayaan menjadi isu penting mereka, namun bagaimana dengan basis rasionalitas yang mendasari tindakan negara, industri dan komunitas jika dikaitkan dengan kepentingan (interest). Negara karena kepentingan politik dan industri karena kepentingan ekonomi, sementara komunitas dengan penguatan lokal. Jika demikian maka zakat telah menjadi instrumen untuk mencapai tujuan. Negara mengejar kekuasaan, industri mengejar profit dan civil society mengejar penguatan lokal dan kemandirian.

Pada tabel 4 menujukkan benturan-benturan kepentingan antara negara, industri dan civil society dalam kuasa kelembagaan zakat. Negara dengan

kepentingan penguatan negara dan kekuasaan berbasis pengetahuan sains modern, budaya modern berlandaskan kekuatan hukum negara. Industri atas kepentingan profit berbasis pengetahuan modern, budaya pasar dengan rasionalitas ekonomi dan maximize ulitility. Sedangkan civil society dengan kepentingan penguatan lokal dan kemandirian komunitas berbasis tokoh, memanfaatkan pengetahuan lokal, budaya lokal dengan semangat kolektifitas berlandaskan kekuasaan kharismatik berbasis norma dan moral.

Benturan terjadi ketika negara dengan rezim pengetahuan politik modern bertemu dengan Swasta dengan rezim pengetahuan ekonomi modern. Negara dengan logika politik yang mengedepankan keamanan negara dan kekuasaan pemerintahan, bertemu dengan Swasta dengan logika ekonomi yang mengedepankan keuntungan dan penguasaan sumberdaya produktif. Negara dengan wacana pembangunan sementara swasta dengan wacana pemberdayaan. Akan lebih memuncak benturan ketika bertemu dengan wacana zakat oleh civil society, yang mengedepankan penguatan lokal dan kemandirian lokal. Dengan rezim pengetahuan lokal, komunitas mewacanakan zakat dalam logika nirlai-nilai tradisi yang cenderung diwarnai oleh oleh etika moral kebersamaan dan keadilan berbagi.