• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dehumanisasi Pendidikan 12

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 68-72)

Dalam novelnya yang berjudul Brave New World yang ditulis tahun 1931, Aldous Huxley bercerita mengenai rekayasa genetika di masa depan jenis mulai dari Alfa Plus, Beta sampai dengan Epsilon. Dengan

kecerdasan dan kemampuan super, manusia jenis Alfa Plus menempati posisi penting dalam masyarakat dan mendapatkan berbagai privilese. Sebaliknya, manusia Epsilon bertubuh kerdil dan bodoh sehingga mereka harus puas bisa bekerja sebagai penjaga lift

atau tangga berjalan. Setiap manusia merasa puas dengan kemampuan dan peran masing-masing dalam masyarakat karena memang sudah dikondisikan demikian sejak proses penciptaan di laboratorium. Proses pembelajaran dan kondisi emosional anak dikontrol melalui mesin dan obat-obatan. Alhasil, masyarakat di dunia baru ini memang nampak teratur. Tidak ada kekacauan, kejahatan, atau bahkan protes.

Pada pelaksanaannya, pengelompokan anak berdasarkan kemampuan akademis dan finansial ini akan membawa dampak sangat serius bagi proses pendidikan anak-anak bangsa dan perubahan dalam masyarakat. Pemisahan anak berdasarkan kemampuan akademis dan kecerdasan memang tidak bisa dihindari sama sekali. Dalam era komersialisasi sekolah saat ini, fenomena segregasi yang nampak pada munculnya sekolah-sekolah ”unggulan” dan ”buangan” makin kentara seiring dengan segregasi pemukiman berdasarkan kelas sosio ekonomi dan persaingan antar peserta didik maupun antar sekolah. Namun, fakta ini tidak berarti rencana pemerintah untuk melegalkan pembagian jalur pendidikan formal bisa dibenarkan begitu saja. Di balik beberapa keuntungan yang mungkin bisa didapatkan dari kebijakan ini, pembagian jalur pendidikan formal akan mengarah pada proses dehumanisasi anak manusia seperti yang terjadi pada masyarakat distopia di Brave New World.

Pengelompokan akademis

Kebijakan dan praktik pengelompokan anak berdasarkan kemampuan akademis (ability grouping) baik di dalam kelas,

sekolah, maupun antar sekolah merupakan salah satu topik penelitian dan perbincangan kontroversial di kalangan para pendidik. Pencarian di mesin pencari Google dengan kata kunci

ability grouping menghasilkan hampir dua juta artikel dan situs. Tulisan ini menjadi relevan karena praktik pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan akademis masih terjadi di banyak sekolah. Para pendidik yang mendukung praktek ini menyebutkan kemudahan bagi para pengajar untuk mefokuskan pengajaran pada satu tingkatan kemampuan peserta didik dan menyesuaikan kecepatan pengajaran dengan kebutuhan kelompok yang homogen. Selain itu, anak-anak ”pandai” seharusnya diberikan tantangan lebih dan kesempatan untuk maju lebih cepat dari rekan-rekannya yang kurang pandai.

Kebanyakan artikel dan penelitian justru mengkritisi praktik pembagian peserta didik berdasarkan kemampuan akademis dengan beberapa alasan. Pertama, kriteria yang biasanya digunakan untuk membagi peserta didik seringkali merupakan persepsi subjektif dan pemahaman yang sempit mengenai konsep kecerdasan anak. Kedua, pengelompokan akan menimbulkan pelabelan anak (pintar, bodoh, cepat, lamban) dan kerancuan antara konsep kecepatan belajar dengan kapasitas belajar. Ketiga, penempatan anak pada kelompok atau jalur yang berbeda akan mengarah pada harapan, target, dan ekspektasi yang berbeda pula terhadap anak padahal beberapa penelitian menunjukkan bahwa motivasi dan hasil belajar anak terkait secara positif dengan ekspektasi guru dan mitra belajarnya. Sekali anak dimasukkan dalam satu kelompok tertentu, kemungkinannya sangat besar anak tersebut akan tetap tinggal di kelompok itu sampai akhir masa sekolahnya. Vonis mengenai kemampuan anak pada masa pendidikan sama dengan ramalan yang akan menjadi kenyataan. Bahkan selepas dari masa sekolah, label ini akan terus melekat dalam diri anak. Di Harvard Educational Review (1996), Welner dan Oakes mendesak agar pengadilan turun tangan dan melarang pengelompokan peserta didik berdasarkan kemampuan akademis. Mengajar di kelas yang berisi anak-anak dengan tingkat dan jenis kemampuan yang berbeda memang tidak mudah bagi guru.

Metode pengajaran satu arah (ceramah, misalnya) tidak akan efektif. Tapi justru inilah tantangan bagi guru dalam proses pengembangan profesionalisme mereka untuk meningkatkan pendekatan dan metodologi pengajaran. Juga tantangan bagi birokrasi pendidikan untuk memfasilitasi guru dalam pengembangan profesionalisme mereka.

Di sisi lain, tantangan lebih yang diberikan kepada anak-anak ”pandai” seharusnya tidak hanya berupa materi lebih sulit yang akan memacu perkembangan kognisi mereka semata. Anak-anak yang dimasukkan dalam kategori ”pandai” seharusnya juga diberi kesempatan untuk mengembangkan afeksi, kesabaran, dan kedewasaan emosional untuk bisa belajar bersama dengan anak-anak dengan kapasitas dan kecepatan belajar yang berbeda.

Pengelompokan sosio-ekonomi

Pembagian jalur juga bisa dilakukan berdasarkan kemampuan finansial anak. Dampak yang akan timbul dari kebijakan ini amat serius dan membawa berbagai persoalan dalam kehidupan bermasyarakat. Anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan yang homogen. Anak-anak dari keluarga mampu akan berinteraksi dengan anak-anak lain yang setara secara sosioekonomi demikian pula dengan anak kurang mampu. Padahal seharusnya anak-anak dari berbagai latar belakang sosioekonomi bisa saling berinteraksi dan memperkaya dengan pengalaman hidup mereka masing-masing. Sempitnya lingkungan belajar selama masa sekolah akan membuat anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan empati dan solidaritas terhadap orang lain yang berbeda. Anak perlu belajar mengembangkan kemauan dan kemampuan untuk mengenal dan menghargai manusia lain sebagai seorang individu yang utuh dan bukan sebagai anggota suatu kelompok yang asing dan mengancam.

Realita di masyarakat dewasa ini, terutama di kota-kota besar, memang sudah menunjukkan pemisahan warga masyarakat berdasarkan kelas seperti yang terlihat di lingkungan pemukiman, pusat perbelanjaan, sekolah, tempat rekreasi, dan bahkan tempat ibadah. Yang seharusnya dilakukan oleh para pembuat kebijakan

pendidikan adalah mendesain model pendidikan yang bisa menyiapkan anak-anak agar nantinya mereka bisa menjadi agen perubahan dan mendobrak berbagai sekat dalam masyarakat. Jika pembagian jalur pendidikan formal standar dan mandiri ditujukan untuk memudahkan alokasi beasiswa bagi para peserta didik yang kurang mampu, solusi tambal sulam ini sangat tidak bertanggung jawab. Berbagai kebocoran dan penyelewengan dana subsidi pendidikan di berbagai tempat seharusnya ditindak-lanjuti dengan upaya penegakan hukum yang tegas, bukannya dengan kebijakan yang akan menimbulkan dampak sangat destruktif dalam proses pendidikan anak.

Di balik segala keteraturan dalam masyarakat Brave New World seperti yang dijanjikan dalam jargon mereka Komunitas, Identitas, dan Stabilitas, ada proses dehumanisasi manusia. Pembagian anak ke dalam jalur pendidikan formal standar atau mandiri di Indonesia juga akan menghasilkan komunitas anak bangsa yang tersekat-sekat, identitas sebagai hasil dari proses yang diskriminatif, dan stabilitas yang hanya menguntungkan penguasa. Di balik segala tatanan yang nampaknya teratur itu muncul suatu kegamangan karena segala upaya pengelompokan dan pengkondisian manusia sesuai label yang diciptakan penguasa telah merebut kebebasan manusia untuk menjadi dirinya sendiri dan mencapai yang terbaik yang dia bisa. Jangan sampai kecenderungan penguasa untuk melenyapkan segala sesuatu yang tidak menyenangkan mengacaukan dunia pendidikan. Setelah rumah-rumah kumuh dan para PKL digusur dan dihilangkan dari pandangan, akan dibawa kemanakah anak-anak ”miskin dan bodoh”? Tidak ada jalan pintas atau solusi tambal sulam yang akan membawa dampak efektif dalam proses pendidikan anak. Untuk mengatasi berbagai kerumitan dalam sistem pendidikan nasional, air mata juga dibutuhkan. Seperti kata Shakespeare dalam Othello,”If after every tempest came such calms, may the winds blow till they wakened death” (Jika setiap badai berakhir dengan kedamaian, semoga angin bertiup sampai membangunkan kematian).

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 68-72)