• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan dan Kemiskinan 18

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 97-100)

Masyarakat mempunyai harapan terhadap pendidikan untuk mengatasi kemiskinan struktural bangsa. Pendidikan dianggap bisa memotong lingkaran setan kemiskinan. Pendidikan yang baik dan tepat dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan sehingga individu terdidik dapat meningkatkan taraf hidupnya melalui peningkatan produktivitas serta pemerolehan akses dan sumber daya namun gambaran masa penerimaan peserta didik baru di berbagai daerah seperti yang direkam di media massa menunjukkan ironi pendidikan dalam upaya pengentasan kemiskinan.

Pendidikan dasar gratis rupanya hanya janji belaka pada masa kampanye dan pemilihan pimpinan daerah maupun pusat. Pendidikan selalu menjadi isu kampanye yang sangat menarik dan strategi pemenangan suara yang jitu. Namun ketika pemilihan sudah usai, lain ceritanya. Anak-anak miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan dan pedalaman tetap saja kesulitan mendapatkan akses terhadap layanan pendidikan yang layak. Di perkotaan, sekolah-sekolah berlomba-lomba meningkatkan sarana dan prasarana dengan menaikkan pungutan. Sebaliknya, di pedesaan dan pedalaman, sekolah tidak mengenakan pungutan karena memang tidak ada lagi yang bisa dipungut namun peserta didik harus puas dengan kondisi sekolah yang jauh dari layak. Di pedalaman Kalimantan, NTT, dan Papua, seringkali peserta didik satu sekolah dibimbing hanya oleh satu atau dua orang guru saja. Dalam daftar, ada nama-nama sejumlah guru tapi mereka tidak hadir di sekolah. Selain itu, baik peserta didik maupun guru tidak mempunyai buku paket.

Sementara segelintir sekolah di perkotaan berlomba-lomba menjadi sekolah berstandar internasional dengan berbagai sarana dan prasarana yang mewah dan keluarga kaya tidak berkeberatan membayar jutaan rupiah per bulan, keluarga miskin kebingungan mencari sekolah layak yang terjangkau bagi anak-anak mereka. Bagi seorang pekerja dengan upah minimum, berbagai biaya yang dikenakan (mulai dari sumbangan masuk, biaya daftar ulang, biaya

kegiatan, biaya ujian, dan sebagainya) yang bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah serasa seperti vonis yang mengukuhkan keberadaan mereka dalam jurang kemiskinan. Ternyata dana BOS dan dana-dana pengentasan kemiskinan seperti Jaring Pengaman Sosial tidak mampu memotong mata rantai kemiskinan.

Dalam buku Education for 1.3 Billion, mantan Wakil Perdana Menteri China Li LanQing mengemukakan komitmen pembangunan dan reformasi pendidikan dengan menambah anggaran pendidikan dan membuat kebijakan transparansi anggaran. Anggaran pendidikan di setiap daerah dan sekolah diumumkan kepada publik serta dimonitor dan diaudit untuk mengoptimalkan penggunaan dana pendidikan dan memberantas korupsi.

Menyediakan layanan pendidikan yang bermutu adalah tanggung jawab pemerintah. Fenomena distorsi tanggung jawab secara sengaja maupun tidak sengaja tercermin pada ungkapan ”pendidikan adalah tanggung jawab kita semua.” Slogan ini seharusnya tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengurangi tanggung jawab. Demikian pula dengan menggunakan kondisi kemiskinan negara sebagai alasan untuk melemparkan tanggung jawab kepada publik dan kelompok-kelompok masyarakat untuk menanggung pembiayaan pendidikan. Justru dalam kemiskinan, pemerintah seharusnya memprioritaskan pendidikan sebagai strategi pengentasan kemiskinan jangka panjang dan pembangunan berkelanjutan. Pendidikan bermutu adalah salah satu hak dasar anak yang harus dipenuhi dan negara berkewajiban menjamin pemenuhan hak ini bagi semua anak tanpa terkecuali.

Disparitas mutu antar sekolah seolah-olah tidak dapat lagi dihindari. Ketika kompetisi pasar bebas yang melanda bidang pendidikan memungkinkan segelintir sekolah untuk mencapai keunggulan dan sebagian anak Indonesia untuk menikmati pendidikan kelas dunia, pemerintah seharusnya berbuat lebih banyak untuk menghentikan pelanggaran hak anak-anak yang telah tersisihkan dalam kompetisi melalui kebijakan pembiayaan pendidikan yang memihak pada rakyat. Menurut Konvensi Hak Anak, anak mempunyai hak atas kelangsungan hidup, perlindungan,

perkembangan, dan partisipasi. Selain itu, Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang hak setiap anak untuk memeroleh pendidikan dan perlindungan agar tidak putus sekolah.

Ada beberapa alternatif solusi. Dalam era desentralisasi pendidikan, peran pemerintah daerah sangat besar dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui pendidikan. Belajar dari pengalaman China, pemerintah pusat menaikkan gaji guru secara signifikan secara nasional dan menyediakan perumahan guru. Selanjutnya, pemerintah daerah menganggarkan pembiayaan pendidikan di tingkat lokal dan masih bisa mengajukan subsidi dari pemerintah pusat untuk berbagai program dengan syarat bersedia diaudit dan mempertanggung-jawabkan kepada publik. Selain itu, sekolah yang mendapatkan subsidi dari pemerintah dikenai plafon pungutan yang bisa ditarik dari peserta didik. Sekolah swasta yang tidak menerima subsidi diperbolehkan menarik pungutan secara bebas namun harus mengumumkan anggaran belanja dan pendapatannya kepada publik untuk menghindari komersialisasi pendidikan. Alternatif lain adalah regulasi dalam rangka pemerataan akses pendidikan bermutu kepada semua anak. Ketika dorongan untuk menjadi unggul di kalangan keluarga mampu dan sekolah favorit tidak bisa dibendung lagi dengan penetapan plafon, regulasi bisa dilandaskan pada asas ”menarik sebanyak mungkin dari yang mampu dan memberi kesempatan kepada yang tidak mampu.” Pemerintah daerah perlu menetapkan kuota agar sekolah-sekolah favorit dan mahal menyediakan sekian persen dari bangku mereka untuk anak-anak miskin secara gratis. Tentunya persentase ini bisa disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi di setiap daerah.

Akhirnya, ketika pemerintah masih belum sanggup memenuhi kewajibannya, tanggung jawab sosial dari korporasi perlu dimanfaatkan dengan baik demi kemaslahatan publik. Sumbangan dana dari korporasi memang dibutuhkan karena anggaran dari pemerintah belum mencukupi kebutuhan sementara masyarakat masih terjebak dalam kemiskinan. Namun, peran korporasi ini tidak bisa dan tidak seharusnya mengalihkan tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan.

Bab 3

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 97-100)