• Tidak ada hasil yang ditemukan

Melestarikan Identitas Linguistik dan Keberagaman Budaya34

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 170-174)

Bangsa Indonesia sangat bangga dengan kesatuan bangsanya melalui penggunaan bahasa nasional, bahasa Indonesia. Setiap bulan Oktober, sumpah tersebut diikrarkan dan digunakan untuk mengingatkan para pemuda dan orang tua untuk menghargai kesatuan di tengah-tengah keberagaman yang luas pada bangsa ini. Untuk mendukung kebijakan bahasa nasional, sering dikemukakan bahwa penggunaan sebuah bahasa nasional dapat mencegah perselisihan dan konflik antar warga. Perbandingan-perbandingan dengan negara-negara lain dimana kebijakan bahasa nasional berperan secara efektif telah disusun dan digunakan untuk menunjukkan fraksi-fraksi masyarakat dikarenakan perbedaan-perbedaan bahasa di antara warganya. Sementara saya pribadi masih mendukung kesatuan melalui penggunaan bahasa nasional, saya berkeinginan untuk menantang anggapan bahwa pembebanan bahasa nasional dapat mencegah perselisihan antar warga dan mendukung pentingnya pelestarian identitas linguistik dan integrasi bahasa-bahasa lokal di sistem sekolah untuk mempertahankan keberagaman budaya bangsa ini.

Pada komunitas sosiolinguistik, Indonesia sering dipuji atas pencapaian kesuksesannya dalam membangun dan mempertahankan kebijakan bahasa nasional dalam hubungan perbandingannya dengan beberapa negara tetangga seperti India, Filipina, dan Singapura (Joshua Fishman and Harold Schiffman, 1999). Pandangan orang-orang luar ini terhadap peranan Bahasa Indonesia seharusnya pada saat ini diujikan terhadap perkembangan kontemporer di daerah-daerah yang berbeda di Indonesia. Di kota-kota yang besar, peran Bahasa Indonesia yang mulai kabur tampak jelas di antara anak-anak yang berada di keluarga kaya yang memilih sekolah-sekolah internasional dimana instruksi dalam kelas diberikan dalam Bahasa Inggris atau bahasa internasional yang bergengsi lainnya seperti bahasa Putonghwa dan Arab. Terdapat laporan-laporan bahwa anak-anak tersebut tidak mampu menyanyi

34Artikel ini pernah dimuat di The Jakarta Post pada 1 Oktober 2011 dengan judul asli “Preserve Linguitic Identities and Cultural Diversity”

lagu kebangsaan Indonesia dan melafalkan Pancasila. Maka dari itu, terdapat keprihatinan-keprihatinan yang lebih besar bahwa bahasa nasional kita tergerus oleh penggunaan Bahasa Inggris di antara anak-anak kita daripada peran Bahasa Indonesia yang tidak digunakan sebagai alat pemersatu kelompok-kelompok etnis yang beraneka-ragam di daerah-daerah terpencil.

Di daerah-daerah terpencil, di sisi lain, peran Bahasa Indonesia sebagai media instruksi di sekolah-sekolah tetap tidak tergantikan. Pada hari-hari pertama sekolah, para murid diharapkan telah menguasai bahasa tersebut. Para guru menggunakan Bahasa Indonesia, dengan asumsi bahwa setiap anak seharusnya lancar berbahasa Indonesia. Dan jika mereka belum lancar berbahasa Indonesia, mereka dianggap “belum siap untuk belajar”. Para guru – yang biasanya datang dari luar daerah tersebut – memandang rendah budaya lokal peserta didik dan melihatnya sebagai sebuah rintangan atas pembelajaran dan mainstreaming. Di seluruh sistem pendidikan formal di Indonesia, para peserta didik dibentuk sedemikian rupa untuk merasa malu dengan bahasa ibu mereka dan budaya pribumi.

Kegagalan-kegagalan sekolah di antara komunitas-komunitas pribumi yang seringkali diasosiasikan dengan kekurangan-kekurangan dan cacat-cacat yang terdapat dalam komunitas-komunitas mereka sendiri. Para murid, orang tua, dan juga nilai-nilai yang ada pada komunitas-komunitas tersebut disalahkan sebagai alasan-alasan untuk tingginya jumlah peserta didik drop-out yang tinggi dan masalah-masalah lain di sekolah. Tingginya tingkat drop out di antara anak-anak Amungme dan Kamoro di daerah Mimika, Papua seharusnya menjadi sebuah keprihatinan yang meresahkan bagi para otoritas pendidikan lokal maupun nasional untuk melihat isu-isu tersebut dengan cara yang lebih manusiawi.

Sistem pendidikan formal di Indonesia menggunakan sebuah model penggabungan yang berdasarkan paradigma mengapung atau tenggelam dimana anak-anak dengan kemampuan linguistik yang terbatas dengan bahasa ibu yang memiliki status rendah dipaksa untuk menerima instruksi melalui media bahasa nasional. Diskontinuitas di antara budaya murid di rumah dan budaya sekolah adalah perjalanan spiral menurun dari masalah-masalah sekolah dan

kemudian kegagalan-kegagalan dalam kehidupan di masa mendatang. Model penggabungan ini bagi para anak-anak pribumi di daerah-daerah terpencil sesuai dengan definisi dari PBB bisa dianggap sebagai genosida linguistik. Ketika PBB melakukan pekerjaan-pekerjaan persiapan untuk apa yang nanti kemudian menjadi Konvensi Internasional untuk Pencegahan dan Hukuman Tindakan Kriminal Pembantaian (E 793, 1948), genosida linguistik dan budaya didiskusikan bersama dengan pembantaian secara fisik dan dilihat sebagai tindakan kriminal serius menentang kemanusiaan (lihat Capotorti 1979).

Genosida linguistik didefinisikan sebagai “pelarangan penggunaan bahasa dari suatu kelompok tertentu dalam percakapan sehari-hari ataupun di sekolah-sekolah, atau dalam bentuk cetak dan sirkulasi dari publikasi-publikasi bahasa dari kelompok tersebut” (Art 3, 1). Pelarangan dapat, tentu saja, menjadi terang-terangan dan langsung (contohnya, kriminalisasi penggunaan bahasa ibu, seperti di negara Turki yang berhadapan dengan suku Kurdi) atau tersembunyi dan tidak langsung, dilakukan melalui cara-cara ideologis dan struktural. Jika bahasa minoritas tidak digunakan sebagai media utama pendidikan dan pengasuhan anak, penggunaan bahasa minoritas secara tidak langsung dilarang pada hubungan sehari-hari atau di sekolah-sekolah, itulah yang kemudian disebut dengan masalah genosida linguistik. Maka, merampas anak-anak muda Amungme dan Kamoro dari komunitas-komunitas rumah mereka dan menempatkan mereka di Jakarta untuk meraih pencapaian akademik demi nama penghargaan bergaya olimpiade jelas dapat dikategorikan sebagai genosida linguistik.

Diperkirakan bahwa di seluruh dunia, satu bahasa mati setiap minggunya. Ketika sebuah bahasa mati, budaya-budaya arif yang telah membentuk bahasa tersebut juga hilang karena setiap bahasa terdiri atas kekayaan dan nuansa-nuansa yang generasi-generasi sebelumnya telah bangun selama berabad-abad. Melestarikan identitas linguistik dan keberagaman budaya di antara komunitas-komunitas pribumi di seluruh Indonesia dapat dan seharusnya dilaksanakan di dalam kerangka sistem pendidikan nasional kita. Pengaruh televisi yang dapat menembus daerah-daerah secara otomatis menguntungkan penyebaran dan pelestarian Bahasa

Indonesia di seluruh negara. Keprihatinan-keprihatinan akan tingginya potensi bahasa-bahasa etnis yang hilang dan akan kegagalan-kegagalan sekolah dikarenakan diskontinuitas antara budaya peserta didik di rumah dan norma-norma di sekolah adalah lebih mendasar dan harus segera ditangani. Anak-anak dari komunitas-komunitas pribumi dengan bahasa ibu yang memiliki status rendah seharusnya diberikan kesempatan untuk dididik selama setidaknya masa taman kanak-kanak dan tiga tahun pertama sekolah dasar dengan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar. Akibatnya, permintaan akan para guru yang bisa dwibahasa akan meningkat. Pemerintah nasional dan otoritas pendidikan lokal seharusnya bekerja keras untuk mempersiapkan para guru yang bersedia untuk mendidik anak-anak dari komunitas-komunitas pribumi dan menghargai budaya-budaya lokal mereka. Pelatihan etnografis seharusnya menjadi sebuah bagian penting dari program-program pengembangan profesionalisme baik pre-service maupun

in-service. Semua usaha ini pasti akan membutuhkan banyak biaya tapi sangat berharga dalam penyelesaian masalah-masalah sekolah yang berada di komunitas-komunitas pribumi.

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 170-174)