• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pakta Integritas: Peluang Titik Balik Pendidikan 7

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 42-46)

Dalam rangka menyambut UN tahun 2015, para kepala sekolah dan kepala Dinas Pendidikan melakukan penanda-tanganan Pakta Integritas untuk mendeklarasikan janji kejujuran. Pada hari Selasa tanggal 31 Maret 2015, Kepala Dinas Pendidikan Surabaya Ikhsan menerima penandatanganan Pakta Integritas oleh 110 kepala sekolah se-Surabaya dengan disaksikan oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Dalam hal ini, Surabaya bukanlah yang pertama mendeklarasikan komitmen kejujuran ini. Pada tahun ajaran 2009/2010, DIY menanggung akibat ketidaklulusan tertinggi (meningkat 400%) namun mendapatkan pengakuan dari BSNP sebagai provinsi dengan penyelenggaraan UN paling jujur. Sebagai satu kota yang menuju sembilan besar untuk sistem informasi inovasi pelayanan publik terbaik, sudah saatnya status Surabaya sebagai barometer bagi upaya peningkatan mutu pendidikan beranjak ke tingkat yang lebih tinggi dari sekedar capaian persentase kelulusan UN. Tantangan berikutnya adalah menembus kesemuan dan meraih capaian mutu pendidikan secara nyata dan jujur.

Alasan kejujuran dan hambatan

Kejujuran adalah landasan bagi pengembangan karakter. Sia-sialah berbagai upaya perbaikan pendidikan jika di penghujung perjalanan pada setiap jenjang, peserta didik menyaksikan atau bahkan diarahkan untuk terlibat dalam praktik kecurangan berjamaah mulai dari bocoran soal dan kunci jawaban sampai dengan guru pengawas ujian memberikan jawaban. Perusakan karakter guru dan peserta didik sudah terjadi secara masif di seluruh tanah air melalui penyelenggaraan UN selama dekade terakhir ini

Perencanaan pembangunan pendidikan membutuhkan gambaran nyata dan benar tentang kondisi pendidikan nasional dan daerah. Berbagai indikator seperti angka partisipasi sekolah dan angka kelulusan sekolah tidak akan berarti jika perolehannya ternyata merupakan kebohongan publik. Strategi pengembangan

pendidikan yang berlandaskan data-data semu juga tidak akan efektif karena tidak tepat sasaran.

Hambatan utama dalam gerakan titik balik menuju kejujuran dalam penyelenggaraan UN justru tidak berasal dari lingkungan pendidikan, melainkan dari lingkaran politik yang makin dikukuhkan di media massa. Pemanfaatan "prestasi" daerah maupun nasional berdasarkan indikator semu kelulusan UN 100% serta berbagai capaian lainnya dilakukan untuk kepentingan pencitraan kepemimpinan politik. Pencitraan ini ibarat nyala api yang mendapat bahan bakar dari pemberitaan di media massa yang sering menyoroti angka kelulusan daerah pada akhir tahun akademik.

Tekanan berlapis dari kepala daerah kepada kepala dinas yang kemudian dilanjutkan kepada pengawas dan seterusnya kepada kepala sekolah berujung pada fenomena kecurangan berjamaah yang sudah sangat gamblang dilihat oleh masyarakat. Kecurangan yang disaksikan dan bahkan ikut dilakukan oleh para anak muda yang diharapkan akan menjadi pemimpin bangsa di masa depan tentunya akan menjadi penyakit yang mematikan.

Tindakan konkret

Tampaknya, kecurangan berjamaah ini sudah mencapai titik jenuh pada berbagai kalangan. Untungnya, beberapa daerah sudah sampai pada titik kesadaran untuk berbalik ke titik nol dan mulai dari kejujuran. Tekad Walikota bersama dengan Kepala Dinas Pendidikan Surabaya dan juga beberapa daerah lain untuk menegakkan integritas dalam penyelenggaraan UN perlu diapresiasi dan didukung. Jika landasan kejujuran ini disertai kerja keras yang efektif dan ternyata bisa menghasilkan kelulusan yang tetap tinggi tentunya akan bisa menjadi sumber inspirasi daerah lain. Akan tetapi, jika kejujuran ini kemudian harus dibayar dengan harga angka ketidak-lulusan yang meningkat pada tahap awal, komitmen kejujuran harus lebih didukung dan dikukuhkan. Peserta didik, guru, kepala dinas dan bahkan kepala daerah pun tidak perlu malu dengan situasi ini. Ada banyak sekali variabel yang kemudian harus ditelaah. Melalui komunikasi publik yang jelas, masyarakat justru

akan merasa bangga terhadap kepala daerah yang berani bersikap jujur, menanggung risiko kejujurannya, dan menentang arus demi pembentukan karakter mulia para orang muda. Dunia pendidikan mencatat keberanian Kepala Dinas Pendidikan DIY Prof. Suwarsih Madya yang menanggung risiko kemerosotan angka kelulusan pada tahun ajaran 2009/2010 sebagai harga dari suatu kejujuran. Kepercayaan publik terhadap pimpinan perlu dibangun di atas fondasi kejujuran. Masyarakat sudah makin cerdas dan tidak lagi mudah dibohongi.

Komitmen kejujuran tidak cukup hanya pada penanda-tanganan pakta integritas. Komitmen ini perlu dijaga dengan langkah-langkah konkret dan serius. Pertama-tama, segala kemungkinan terjadinya ketidak-jujuran harus dipikirkan dan diakhiri. Pengalaman bertahun-tahun dalam penyelenggaraan UN seharusnya sudah bisa menjadi bekal untuk upaya pencegahan kecurangan UN mulai dari penggandaan soal, distribusi, administrasi, koreksi, sampai dengan pelaporan.

Kedua, pelanggaran dalam UN tidak semestinya ditolerir dengan label ekses dan oknum. Ini bukan persoalan persentase dalam statistik. Dalam pendidikan, rasio kecurangan yang sangat kecil pun sudah menjadi persoalan sangat serius karena akan sangat merusak karakter anak dan bangsa. Nila setitik rusak susu sebelanga. Setelah pakta integritas, tindakan sangat tegas perlu diberlakukan untuk memberikan efek jera. Skandal kecurangan guru dalam ujian ternyata juga terjadi di Amerika Serikat. Juri memutuskan kepala dinas pendidikan beserta 35 pimpinan sekolah dan guru bersalah atas manipulasi nilai ujian di negara bagian Atlanta pada akhir Maret 2013. Kepala Dinas, Dr. Beverly Hall yang pernah dinobatkan sebagai Kepala Dinas teladan pada 2009 diancam hukuman penjara 45 tahun. Sistem pendidikan Atlanta telah menghabiskan $2,5 juta untuk investigasi pelanggaran ini.

Ketiga, refleksi atas fenomena perlu ditindak-lanjuti dengan perbaikan sistem. Temuan paling penting dalam skandal di Atlanta adalah bahwa sistem imbalan bagi guru dan pejabat yang berhasil menaikkan nilai ujian dan hukuman bagi yang tidak justru telah

memicu pelanggaran kode etik pendidik. Maka dari itu, sistem UN di negara ini seyogyanya harus diinvestigasi dan ditinjau ulang.

Akhirnya, kejujuran tidak berarti kebodohan dan kegagalan. Kemerosotan drastis angka kelulusan UN di DI Yogyakarta hanya terjadi di tahun awal gerakan kejujuran dihidupkan. Dengan kerja keras, kinerja pendidikan di provinsi ini menjadi lebih baik dari tahun ke tahun bukan hanya dari statistik melainkan juga dari motivasi dan moral para insan pendidikan di dalamnya. Seorang pengawas sekolah dari Kabupaten Sleman, Yulia Sri Prihartini, membanggakan kinerja pendidikan di provinsinya dan melakukan tugasnya mendampingi sekolah dan para guru dengan sepenuh hati karena dia tidak ditekan untuk melakukan pekerjaan manipulasi yang bertentangan dengan nuraninya. Kebanggaan dan kegembiraan seorang pendidik dalam melakukan tugas merupakan modal dasar yang tidak dicatat dalam statistik namun akan mengantar anak muda menjadi pemimpin yang berkarakter dan cerdas.

Dalam dokumen Pendidikan: antara kebijakan dan praksis (Halaman 42-46)